Dua Pasal Kekerasan Seksual Terhadap Anak dalam Qanun Cambuk Diminta Dicabut

Konten Media Partner
19 Oktober 2021 19:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi hukum cambuk. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukum cambuk. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Elemen sipil di Aceh yang selama ini konsen terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak meminta 2 pasal tentang kekerasan seksual terhadap anak di Aceh dicabut dari Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun tersebut memuat hukuman cambuk bagi pelaku kejahatan.
ADVERTISEMENT
Hal itu mencuat dalam Focus Group Discussion (FGD) multipihak yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Flower Aceh, KontraS Aceh, Solidaritas Perempuan Aceh dan Tim Revisi Qanun (Reqan), dengan tema "Urgensi Revisi Qanun Jinayat untuk Perlindungan Anak di Aceh" yang diadakan di Hotel Ayani, Senin kemarin.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, mengatakan dalam Qanun Jinayat tidak ada aspek yang mengupayakan hukuman yang jera untuk pelaku, tidak ada upaya pemulihan terhadap korban dan tidak melakukan pencegahan terhadap pelaku. "Kita minta dicabut pasal 47 dan 50, Ini bukan untuk melemahkan Qanun tapi ini untuk memperkuat Qanun Jinayat, agar makin kuat, tidak dianggap sebagai kebijakan yang tidak memiliki perspektif anak," kata Syahrul dalam keterangan tertulisnya kepada media, Selasa (19/10/2021).
ADVERTISEMENT
Pasal 47 Qanun Jinayat berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan.”
Dan pasal Pasal 50 Qanun Jinayat berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap anak-diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua ratus) bulan.”
ADVERTISEMENT
Menurut Syahrul, di Aceh terdapat dua aturan hukum terkait dengan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pertama diatur melalui pasal 47 dan 50 Qanun Jinayat.
Kedua, melalui Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). "Di Aceh dominan menggunakan Qanun Jinayat. Ternyata berdasarkan pengalaman selama ini, Qanun Jinayat lebih lemah ketimbang UUPA," ungkap Syahrul.
Salah satu kelemahannya, dalam Qanun Jinayat tidak ada aspek mengupayakan pemulihan terhadap korban dan melakukan pencegahan terhadap pelaku. Di Qanun tidak ada ancaman pidana terhadap seseorang yang membujuk rayu anak untuk melakukan kekerasan seksual. "Sedangkan UUPA, baru bujuk rayu saja sudah dianggap upaya melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan bisa diancam pidana," ujar Syahrul.
Syahrul menyebutkan ada tiga rujukan hukuman yang diajukan oleh Qanun Jinayat, hukum cambuk, hukum bayar denda dan kurungan. Ketiganya tidak bisa diakumulasi sehingga hakim wajib memilih salah satu diantara ketiga itu. "Sedangkan di UUPA, hakim bisa menghukum pelaku, baik pidana kurungan, bayar denda dan restitusi terhadap korban," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Masalahnya adalah jika kemudian hakim memutuskan perkara itu dengan cara menghukum pelaku dengan hukuman cambuk. Kemudian setelah dicambuk, pelaku kembali ke lingkungan masyarakat. "Kalau korban berada di lingkungan yang sama, bagaiman nasib korban? yang tidak ada perintah pemulihan terhadap anak dalam Qanun. Artinya, ketika pelaku kembali ke lingkungan dan berhadapan lagi dengan korban dia beresiko menjadi korban ganda," tambahnya.
FGD tentang revisi Qanun Jinayat Aceh.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Darwati A. Gani, mengatakan saat ini masalah kekerasan seksual sudah sangat mengkhawatirkan. Untuk itu, DPRA sedang berusaha agar bisa masuk dalam revisi qanun dan bisa masuk Program Legislasi Daerah (Prolegda) prioritas yang akan dibahas tahun 2022. "Saat ini ada 13 tim inisiator untuk penguatan Qanun Jinayah, kita akan terus melakukan pengawalan dan mohon dukungan semua pihak," tegas Darwati.
ADVERTISEMENT
Hal sama diungkapkan Wakil Ketua II DPRA, Hendra Budian. Menurutnya, angka kekerasan seksual terhadap anak yang tinggi tidak diikuti oleh anggaran yang tinggi terhadap Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A). "Kita harus beri perlindungan kepada anak. Penganggaran yang ada saat ini hanya Rp18,9 miliar, ini menjadi kewajiban oleh Pemerintah Aceh dalam melindungi anak melalui proses penganggaran, itu penting untuk itu dilakukan," sebutnya.
Direktur Flower Aceh, Riswati, mengapresiasi komitmen DPRA untuk melakukan penguatan Qanun Jinayah, dengan melakukan revisi pasal-pasal yang belum berpihak kepada Anak. "Proses pengawalan kita semua harus terus berlanjut untuk memastikan agar proses pembahasan dan kebijakan yang diputuskan tersebut memberikan perlindungan komprehensif kepada Anak korban kekerasan seksual sebagaimana yang kita harapkan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Advokat LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyebutkan pihaknya bersama komunitas revisi qanun saat ini telah meyelesaikan hasil kajian terkait revisi Qanun Jinayat untuk segera disampaikan kepada DPR Aceh. []