Eks GAM Saat Konflik Aceh: Logistik Putus, Cara Agar Tak Lapar (4)

Konten Media Partner
12 Agustus 2019 20:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Barang-barang milik GAM yang ditemukan TNI, usai kontak senjata. Dok. Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Barang-barang milik GAM yang ditemukan TNI, usai kontak senjata. Dok. Adi Warsidi
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak status Darurat Militer diterapkan di Aceh pada 19 Mei 2003, pasukan GAM kembali masuk hutan, bergerilya. Kontak senjata terjadi hampir saban hari, mereka digempur habis-habisan oleh TNI/Polri yang ramai-ramai dikirim ke Aceh.
ADVERTISEMENT
Satu hal paling sulit yang dirasakan adalah terputusnya sebagian jalur logistik, makanan sulit didapat. “Akses ke perkampungan makin payah, warga kampung sekitar hutan takut membantu, TNI di mana-mana,” kisah Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, mantan Juru Bicara GAM Aceh Rayeuk.
Ia menceritakan pengalamannya kepada saya, dalam beberapa kesempatan setelah damai hadir di bumi Serambi Makkah. Irwansyah dan anggotanya yang bermarkas di kawasan perbukitan Cot Keueng, Aceh Besar, memutar otak demi menemukan cara agar tak lapar. Agar sambil bertahan, masih dapat melakukan serangan serta bagaimana mundur ketika sudah terdesak.
“Dengan makanan yang kurang, taktik tak dapat dipikirkan maksimal,” katanya.
Beban itu semakin hari semakin berat, sejak jalur logistik dari warga macet. Alasannya, masyarakat khawatir untuk memasok makanan ke markas mereka, intelijen aparat ada di mana-mana. Irwansyah selalu menekankan kepada anggota agar tidak mencari makanan dengan cara-cara merampok harta rakyat. “Kami pun mencoba peruntungan lain,” kisahnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa dari mereka punya keahlian kerajinan tangan, lalu mencoba memanfaatkan hasil alam di hutan untuk dijual. Rotan-rotan dikumpulkan, ada yang dijual belum jadi, ada yang dibuat untuk alat-alat dapur, seperti tudung saji makanan yang antik. Harga jualnya mencapai Rp 250 ribu per unit. Satu hari, terkadang kami bisa menghasilkan 17 tudung saji. Dikerjakan di markas sambil siaga.
Irwansyah yang paham pertukangan, juga membuat meja makan kecil pendek yang sering dinamakan meja ‘Oshin’. Harga meja ini dapat mencapai Rp 1,5 juta per unit, memakai kayu-kayu bekas di hutan. Dia ikut mengajarkan pasukan membuat barang-barang itu. Ada juga sendok-sendok makan berukir, yang dibuat dari tempurung kepala.
Semua jenis kerajinan dipasarkan ke warga secara diam-diam, hingga banyak yang memesannya. Ada juga masyarakat yang menukarnya dengan beras. Irwansyah dan personelnya perlahan menikmati kerja sambil berjuang. Semua membuat kerajinan saat tak bertugas jaga mengintai lawan. Bagaimanapun, siaga dan waspada selalu nomor satu di medan perang.
ADVERTISEMENT
Banyak hasil hutan lainnya yang dimanfaatkan tanpa memotong kayu. Ada anggota pasukan yang ahli dalam mengambil madu lebah, kemudian dijual ke masyarakat. Apa pun yang halal dijadikan sebagai sumber penghasilan. Aktivitas karya tangan membuat pasukan semakin bersemangat dan bahkan dapat mengirimkan uang kepada anggota keluarganya.
Pernah dalam sebuah pengepungan, Irwansyah ketinggalan tas berisi aneka kerajinan tangan. TNI menemukannya dan mencoba melacaknya dengan anggapan, jika ada bekas kayu kecil yang dipotong-potong, maka di situ pernah dilalui kombatan.
Prinsip perjuangan sambil bekerja didapat Irwansyah dari para guru dan diteruskan kepada anggota. “Berjuang dengan ikhlas, tidak memeras dan memberatkan rakyat. Karena dukungan rakyat mustahil didapat jika pejuang GAM malah menjadi perampok,” katanya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, dia mengakui masih ada saja juga oknum yang menggunakan perjuangan dengan memperkaya diri sendiri. Golongan mereka ini yang merusak nama GAM, tidak akan dibela dan disukai warga, bahkan dimusuhi. [bersambung]
Reporter: Adi Warsidi