Hikayat Listrik dan Nasib Jembatan Roboh di Lembah Leuser, Aceh [2]

Konten Media Partner
25 September 2020 11:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Lesten, sebuah desa di kawasan hutan Leuser, Aceh masih terisolir hingga kini. Sarana pembangunan minim, jaringan telekomunikasi nihil. Dalam serba keterbatasan, mereka berjuang menjaga alam dan lingkungannya, menolak PLTA.
Kampung Lesten di kawasan Hutan Leuser, Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
Jarum jam nyaris menyentuh angka 5 pada Selasa sore (14/9). Saya terbangun dari tidur. Di teras rumah Edwir Z, obrolan masih berlangsung panjang lebar. Sesekali diselingi tawa terbahak-bahak. Di pelosok Aceh ini, orang-orang begitu tenggelam dalam interaksi dunia nyata dan sama sekali tak menatap layar telepon seluler. Termasuk kami.
ADVERTISEMENT
Sebabnya adalah sinyal telepon seluler yang belum menjangkau Kampung (desa) Lesten. Sama sekali nihil. Kawasan ini benar-benar terisolir dari dunia luar. Anak-anak muda belum tersentuh permainan gim daring dan orang-orang belum duduk menunduk menatap layar kecil di genggamannya.
Tanpa sinyal, di kondisi tertentu membuat warga Lesten harus menempuh jalur tanjakan yang terjal untuk sekadar mencari informasi dunia luar ke pusat Kecamatan Pining atau ke Blangkejeren, ibu kota kabupaten. "Dulu di sini ada handy talkie yang terhubung ke Pining, untuk keperluan mendesak. Sekarang tak ada lagi," ujar Usman.
Bincang-bincang di teras rumah mereda saat Edwir menuntun kami pergi ke sungai Lesten. Jaraknya sekitar 500 meter ke arah utara perumahan. Saya membawa handuk dan sabun karena berniat mandi di sungai yang bermuara ke Selat Malaka itu.
ADVERTISEMENT
Sungai yang membelah Kampung Lesten berlatar Hutan Leuser. Foto: HAkA
Dari rumah, kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju sungai. Di tengah perjalanan kami disapa warga Lesten yang menyadari kehadiran "orang baru" di desa mereka. Rumah mereka dibangun berderet-deret persis di sisi kiri-kanan jalan. Meski ada bangunan semi permanen, sebagian besar rumah adalah berbahan kayu.
Sepuluh menit melangkah, kami tiba di turunan bukit. Aliran sungai sudah kelihatan dari sini. Hutan rimbun menjadi pembatas aliran air di tebing sungai. Airnya tampak keruh berwarna kecokelatan. Ini karena hujan saban hari mengguyur kawasan hulu sungai di jantung hutan Leuser.
Di tepi sungai, Edwir menunjukkan sesuatu, jembatan roboh. Lantai Bailey bridge atau jembatan bailey sepanjang 110 meter ini, sudah tenggelam ke dasar sungai. Ke permukaan hanya tampak besi pagar sampingnya saja. Lokasinya pun bergeser sekitar 20 meter dari tempat semula karena tergerus arus.
ADVERTISEMENT
Di posisi awal hanya tersisa satu tiang penyangga berkelir hitam yang bertahan di tengah sungai. Menurut penuturan Edwir, jembatan ini roboh setalah dihantam air sungai yang tinggi dan arusnya kencang pada Juli 2020. "Karena posisi jembatan terlalu rendah dan arus sungai besar," katanya.
Sejatinya, jembatan ini disebut menjadi penghubung jalan Kecamatan Pining di Gayo Lues menuju Pulo Tiga, Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang. Ini seperti disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, saat meresmikan pembangunan jembatan pada Senin (19/8/2019).
"Dengan adanya jembatan bailey ini nantinya jarak tempuh ke Medan melalui Aceh Tamiang akan lebih singkat," ujar Nova, sebagaimana dikutip dari laman resmi Humas Pemerintah Aceh. Selain itu, Nova menyebutkan pemerintah di dua kabupaten akan melanjutkan pembangunan jalan lintas begitu jembatan selesai.
Jembatan roboh setelah beberapa bulan dibangun. Foto: Habil Razali/acehkini
Tapi, itu dulu. Berselang beberapa bulan, jembatan sudah roboh ke dasar sungai. Edwir mengatakan, sebelum ambruk, jembatan ini digunakan warga Lesten untuk berkebun di seberang sungai. "Sekarang sulit, hasil panen susah dibawa pulang," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini warga Lesten yang berkebun di seberang sungai harus menggunakan perahu kecil atau menguji nyali dengan memanjat besi jembatan yang sebagiannya sudah jatuh ke dalam aliran air. "Menyeberang langsung tidak mungkin, karena air sungai sangat dalam, sekitar dua meter," kata Edwir.
Edwir menyebutkan, sungai inilah yang hendak dibendung untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur di Kampung Lesten. Namun rencana ini dipastikan batal setelah Mahkamah Agung menolak kasasi Pemerintah Aceh terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang digugat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh bekerja sama dengan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Listrik Padam Hal Biasa

Di pinggir sungai, air langit mulai turun tetes demi tetes menyentuh kulit. Langit menghitam. Di atas hulu sungai, pegunungan hijau kini sudah memutih tertutup hujan. Agenda mandi pun diurungkan. Kami akhirnya bergegas pulang. Di tengah perjalanan, hujan gerimis berubah deras. Kami basah karena tiada tempat berlindung.
ADVERTISEMENT
Hari perlahan mulai gelap setiba di rumah Edwir. Di sana Usman tengah berbincang dengan beberapa warga. Kami meriung di teras. Tak lama, sang empunya rumah lalu menyilakan kami mandi di kamar kecil di belakang. Saya mendapat giliran pertama dan kemudian disusul yang lain secara bergantian.
Azan magrib berkumandang dari pengeras suara musala. Suara serangga malam mulai terdengar. Edwir menyalakan lampu rumahnya. "Baru malam ini listrik menyala lagi setelah dua malam padam," katanya. "Arus listriknya dari PLN (Perusahaan Listrik Negara)."
Warga Kampung Lesten menjemur kakao hasil kebun. Foto: Habil Razali/acehkini
Listrik padam di Lesten bukanlah kejadian baru. Ini sudah dari lama terjadi. Hikayat listrik di Lesten, menurut Usman, sangat panjang. Dulu rumah-rumah di Lesten awalnya sama sekali belum tersambung dengan listrik. Titik terang kemudian datang ketika pemerintah kabupaten memberikan bantuan panel surya untuk tiap-tiap rumah.
ADVERTISEMENT
Saat itu, pemilik rumah bertanggung jawab untuk aliran listrik rumahnya masing-masing. Belakangan, satu per satu panel surya di rumah warga mati karena kurang perawatan. Setelah fase itu, pemerintah kemudian membangun panel surya induk yang mencakup semua rumah di Lesten. Kali ini, panel surya hanya ditempatkan di satu tempat.
Dari sana, arus listrik kemudian mengalir ke rumah-rumah warga. Di setiap rumah terpasang meteran listrik. "Warga menggunakannya secara gratis," ujar Usman.
Namun, listrik tenaga matahari ini membuat warga terkadang harus dalam kondisi gelap-gelapan saat malam hari karena kekurangan sumber daya. Terutama saat musim hujan melanda desa penyangga hutan Leuser ini. Setelah itu, barulah listrik PLN masuk ke Lesten dalam dua tahun terakhir. "Tepatnya tahun 2018," kata Usman.
ADVERTISEMENT
Sebelum PLN masuk ke Lesten, pada 2017, Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-I di Lesten. Mega proyek itu merancang Kampung Lesten sebagai titik bendungan air.
"Apakah mungkin Lesten yang saat itu belum tersambung listrik tapi dapat menerangi seluruh Aceh?" tanya Usman. [bersambung]