Jalan Panjang Jamblang, Jejak Peradaban Kuno India-Aceh (3)

Konten Media Partner
12 Juli 2019 11:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Lokasi Lamreh kawasan Krueng Raya, Aceh Besar, tempat situs Lamuri berada. Foto: Dok. Ahmad Ariska.
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi Lamreh kawasan Krueng Raya, Aceh Besar, tempat situs Lamuri berada. Foto: Dok. Ahmad Ariska.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lamuri merupakan situs kerajaan kuno di Lamreh, Aceh Besar, atau kerap disebut wilayah Krueng Raya. Eskavasi arkeologi yang dilakukan sejak 10 tahun terakhir, ditemukan puluhan nisan kuno dalam 17 komplek pemakaman di Lamreh. Di area tersebut juga ditemukan Benteng Indrapatra, lalu ada pula Benteng Lam Berdiri Inong Balee, sebuah situs sejarah yang ditemukan di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Catatan pertama tentang jejak Kerajaan Lamuri dan wilayah lain ditemukan di prasasti Tanjaroe pada tahun 1030. Isinya bercerita tentang keberhasilan Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola, menaklukan Sriwijaya dan 14 daerah yang berdaulat di bawahnya.
Jejak peninggalan Kerajaan Chola ditemukan di sekitar Pantai Koromandel, India selatan, yang sekarang daerah Tamil Nadu, India.
“Prasasti ini yang paling tua yang pernah membicarakan Aceh kuno, kontak pertama dengan dunia luar yang pernah tertulis,” ujar Dedi Satria, Arkeolog Aceh.
Disebutkan bahwa Ilam muri (Lamuri) desham merupakan salah satu yang berhasil ditaklukkan.
Desham penyebutan untuk kampung atau pemukiman,” jelas Dedi.
Sebuah nisan yang ditemukan di situ Lamuri, Aceh Besar. Foto: Dok. Ahmad Ariska
Dinasti Chola merupakan salah satu kerajaan yang paling lama memerintah di dunia. Fakta tentang Kerajaan Tamil ini, tertulis dalam prasasti abad ke-3 sebelum masehi.
ADVERTISEMENT
Prasasti ini ditinggalkan oleh Raja Asoka dari Kerajaan Maurya. Dinasti ini memerintah hingga awal abad ke-13. Pada masa kejayaannya, kerajaan ini mewakili kekuatan penguasa laut India.
Catatan lainnya menyebutkan tentang Lamni (merujuk ke Lamuri). Penyebutan ini berdasarkan naskah rute geografi laut yang ditulis oleh seorang geografi Arab bernama Ibnu Khordadbeh pada 850 Masehi.
Abul Qasim Ubaidullah bin Abdullah bin Khurdadzbih menulis buku berjudul Kitabul Masalik wal Mamalik atau buku tentang jalan-jalan dan kerajaan-kerajaan. Di dalam buku itu ia menulis tentang jarak antara negara yang dilewati jalur perdagangan. Penulisan buku tersebut ditugaskan oleh Khalifah Dinasti Abbasyiah, Al-Ma’mun.
“Aceh itu sangat strategis dalam segi geografi, istilahnya terhindar dari ramainya Selat Malaka tapi penting buat laut, navigasinya aman buat badai dan strategis untuk pelayaran,” ungkap Dedi Satria.
ADVERTISEMENT
Aceh berada di persimpangan. Ke arah selatan ada Barus, tempat penghasil bahan baku parfum. Ke arah Timur ada Kedah (Malaysia) dan sebelah utara ada Andaman (India).
Prasasti Neusu di Museum Aceh. Foto: Khiththati/acehkini
Selepas itu tidak ada lagi catatan yang ditemukan tentang Lamuri. Hingga tahun 1991 ditemukan prasasti Neusu, berisikan tulisan Tamil. Inskripsinya tertulis tentang sistem jual beli yang adil dalam berdagang emas. Meski begitu, banyak tulisan yang sudah aus. Tugu kecil ini ditemukan sebagai tempat pijakan kaki di sebuah surau kala itu. Diprediksi dibuat pada abad-13.
“Di dalamnya disebutkan sebuah mandala, perkumpulan kampung-kampung yang dipimpin seorang raja bukan lagi Desham,” kata Dedi Saputra. Sumber histori ini langsung dari India. Perkumpulan pedagang ini sudah menganut sistem perdagangan yang persis dengan ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
“Misalnya larangan tertentu yang mengarah ke riba,” katanya.
Tugu ini menguatkan bahwa di masa lalu, Aceh kaya akan emas. Para petinggi di asosiasi dagang ini adalah orang Hindu Tamil yang biasa dipanggil Nana.
Benteng Indrapatra, jejak India dan Hindu di Aceh. Foto: Dok. Ahmad Ariska
Menurut Dedi, ada catatan lain yang ditemukan di Pasai yang juga menguatkan hal ini pada sebuah makam yang ditemukan di Kuta Makmur, Aceh Utara. Isinya tentang agen-agen dagang perdagangan di Pasai yang dipanggil Nana, datang dan memberikan hadiah kepada sebuah kuil Hindu di India Selatan.
Inskripsinya sendiri ada di India, namun jarak antara inskripsi ini dengan keberadaan makam ada 100 tahun," paparnya.
“Pada studi artefak yang dilakukan bahwa Campay (India), Aceh, Pasai (Aceh Utara) dan Barus (Sumatera Utara), disebutkan para petinggi yang menjadi hakim untuk memutuskan masalah dagang adalah orang-orang Tamil, dan mereka lebih memihak kepada muslim,” jelas Dedi.
ADVERTISEMENT
Penggalian arkeologi di sepanjang pesisir Lamreh, juga ditemukan banyak barang yang berasal dari India Selatan, seperti belanga merah (red ware), belanga hitam (black ware). Berdasarkan analisa bahwa peralatan dapur itu berasal dari awal abad ke 13. Benda-benda ini tidak dibuat di Aceh, tapi dibawa langsung dari Tamil serta diperdagangkan secara terbatas di komunitas mereka.
Penemuan lainnya yang dianggap penting adalah tembikar Northen Gray Ware dari kawasan India Timur yang diperkirakan berasal dari 200 tahun SM sampai 200 masehi. Gerabah ini ditemukan oleh Tim penelitian Geohazard pada tahun 2017 di tambak warga kawasan dusun Cot A Jalil, Krueng Raya.
Menurut catatan singkat Edward McKinnon, Arkeolog asal Inggris, bahwa pecahan berusia lebih dari 1800 tahun lalu itu membuktikan adanya kemungkinan pemukiman purba di lokasi tersebut. Berada sekitar satu atau dua meter di bawah permukaan tanah sekarang. Lebih spesifik yang dapat dilihat adalah kaca-kaca seperti pecahan cangkir dan teko. Di antaranya ada yang berwarna biru laut, digunakan untuk menikmati teh atau kopi. Selain itu juga ada beberapa pecahan botol-botol.
ADVERTISEMENT
“Mereka meninggalkan arca-arca yang ada kaitannya dengan tanaman, simbol banyak kaitannya dengan Dewa Siwa, dan batu berbentuk tugu silindris yang saya percaya sebagai sedelinggam, atapnya bertingkat dan tidak permanen serta khas India Selatan,” jelas Dedi.
Selain itu ditemukan juga perhiasan, manik-manik dan jimat yang warnanya merah. Penemuan ini biasanya berada di pinggiran laut, sepanjang jalur perdagangan hingga ke China. Orang-orang Hindu di India hingga sekarang masih menggunakan tali merah ini sebagai pelindung.
Tali merah yang dipakai warga di India sebagai jimat. Foto: Khiththati/acehkini
Manik-manik Indo-Pasifik disebut mutisala, juga menjadi penemuan penting di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, ada sampah-sampah mirip serpihan jimat di dapur kecil yang ditemukan, membuktikan bahwa barang ini diproduksi untuk diperdagangkan.
Lamuri terkenal sebagai penghasil cengkeh, bunga lawang, dan lada liar yang menarik minat para saudagar pemburu rempah. Kongsi perdagangan ini umumnya dimiliki para Nana dari Tamil. Kata cengkeh dalam bahasa hindu adalah laung.
ADVERTISEMENT
Selain itu ada juga tradisi lainnya, seperti menanam beberapa pohon obat di sekeliling perkampungan untuk mencegah wabah tertentu.
“Kalau kita lihat masih ada yang menanam bak beum di sekitar kampung untuk mencegah malaria, nah pohon ini bahasa latinnya adalah Indika,” kata Dedi.
Tanda lain hubungan peradaban India-Aceh adalah penamaan gampong-gampong yang masih bertahan sampai sekarang. Di kawasan Lambada Lhok ada beberapa desa yang menyematkan kata Kleng.
Kleng atau Keling adalah penyebutan untuk orang India bagian selatan, walaupun kampung-kampung ini baru ada ketika Kesultanan Aceh Darussalam,” ungkap Dedi.
Upacara Taipusam oleh para keturunan Hindu Tamil di Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Walaupun tidak disukai oleh banyak orang India Selatan sekarang, namun sebutan kleng itu sudah lama ada. Orang-orang Melayu paling menyenangi mereka setelah orang Arab, karena pandai membuat relasi.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof Antony Reid, Sejarawan Asia Tenggara, sebutan 'keling' itu berasal dari Kerajaan Kalinga yang berada di Orissa dan sekarang menjadi wilayah negara bagian Tamil Nadu.
“Konsensus ilmiah, saya percaya bahwa istilah kleng berasal dari kerajaan India selatan kuno,” katanya.
Panggilan ini terus melekat dan digunakan untuk menyebutkan orang-orang yang datang dari India Selatan.
“Hubungan Aceh dan India di masa lalu itu dekat sekali, selain hubungan dagang masih banyak hubungan lainnya,” sambung dosen Australia Nasional Unversity ini.
Masalahnya, kata Reid, selama ini kurang dilakukan penelitian terkait hubungan India-Aceh.
Penjual jamblang di jalanan Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Tumbuhan jamblang atau jambe kleng, juga bagian dari jalur perdagangan. Menurut Dedi Satria, pepohonan dan istilah kleng, persebarannya juga berada di sekitar kampung-kampung yang dulunya pernah dihuni atau disinggahi warga-warga dari India. Penyebutan keling atau kleng tidak hanya untuk Tamil tetapi juga Kerala hingga ke teluk Bengala.
ADVERTISEMENT
“Sepanjang laut dari teluk Bengala hingga Cambay, merupakan daerah yang penting bagi Aceh di masa lalu," ujar Dedi.
Perilaku pedagang buah jamblang di India pun sama dengan Aceh, menggelar dagangan di pasar-pasar dan jalanan, lalu mengganti dengan buah lainnya sehabis musim.
Amatan acehkini di Pasar Sarojini Nagar, Delhi dan Pasar Ahmedabad, Gujarat, kala musim buah bael atau buah batok terakhir di India, para pedagang mengganti lapak mereka dengan Jamun atau jamblang. Mereka menjualnya sepanjang hari, menggulung lapak menjelang magrib.
Jamblang yang dijual di Delhi, India. Foto: Khiththati/acehkini
Di Sarojini Nagar, acehkini mencoba membeli jamblang satu bungkus, seharga 10 rupee. Pedagang menggunakan timbangan untuk menakar, sudah ada garam campur sedikit masala sebagai cocolan. Rasanya lebih manis dan padat, dibandingkan dengan jamblang dari Krueng Raya, Aceh Besar.
ADVERTISEMENT
Di trotoar Darusaalam, Aceh, Nek Aisyah menjual jamblang yang tumbuh subur di kawasan Kreung Raya. Puluhan pedagang lainnya juga berlaku sama di pasar dan jalanan ramai dalam Kota Banda Aceh. Sekarang lagi musim jamblang, kami menyebutnya jambe kleng, riwayatnya sungguh panjang. []
Reporter: Khiththati