Jejak Bangsa Besar Dunia di Fort Kochi, Keberagaman India

Konten Media Partner
23 Februari 2019 22:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Laut di kawasan Fort Kochi, India, tempat bangsa-bangsa besar pernah menanamkan pengaruhnya. Foto: Khiththati/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Laut di kawasan Fort Kochi, India, tempat bangsa-bangsa besar pernah menanamkan pengaruhnya. Foto: Khiththati/acehkini
ADVERTISEMENT
“Jika ingin melihat kota tua datang saja ke Fort Kochi,” saran Mathew pemilik penginapan Boat Jetty. Dia memberi petunjuk, dari tempatnya harus membeli tiket kapal, sampai di sana ada banyak auto rickshaw (sejenis bajaj) yang menunggu.
ADVERTISEMENT
“Ingat, jangan membayar lebih dari 250 rupee. Nanti akan diajak ke toko souvenir sesekali ikut saja tapi kalau nggak mau jangan beli,” sambungnya kepada Acehkini saat berada di Fort Kochi, awal Februari 2019.
Menjelang siang kami mengantri kapal di Boat Jetty. Tiketnya 4 ruppe atau seribu rupiah. Setelah 15 menit, kapal melempar jangkar dan berhenti. Beberapa pengemudi auto menunggu. Abdul Manaf menghampiri dengan menawarkan tarif 200 rupee untuk keliling.
Salah satu kawasan pemukiman di Fort Kochi. Foto: Khiththati/acehkini
“Nanti saya juga akan membawa ke beberapa toko cindera mata walaupun kalian tidak membeli, tapi tolong masuk dengan begitu saya akan mendapat kupon untuk isi minyak,” katanya.
Fort Kochi adalah pulau kecil. Dulunya daerah ini hutan bakau. Tebing dan pasir yang naik ke permukaan membuatnya seperti sekarang. Kota ini pernah mengalami tsunami besar sekitar tahun 1341. “Waktu tsunami (Aceh) Desember 2004, air juga sempat naik tapi tidak ada korban jiwa. Lautnya menjadi sedikit lebih dekat,” tutur Manaf selama perjalanan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, banyak muslim yang tinggal di Fort Kochi, perempuan berhijab dimana-mana. “Masjid ada, tapi yang bersejarah agak jauh dari sini jadi yang pertama kita datangi gereja terkenal di sini.”
Bagian luar gereja Santacruz Basillica, Fort Kochi. Foto: Khiththati/acehkini
Santacruz Basillica, gereja itu. Portugis membangunnya tahun 1558, selanjutnya dihancurkan Inggris saat perang. Gereja ini dibangun kembali tahun 1887 dengan Arsitektur khas Eropa. Setiap harinya puluhan turis datang kemari. Gereja hanya ditutup untuk umum saat peribadatan.
Bagian dalam gereja Santacruz Basillica, Fort Kochi, India. Foto: Khiththati/acehkini
Perjalananan selanjutnya ke laut, lokasi yang menurut Manaf terdampak tsunami Aceh 14 tahun lalu. Siang yang panas, namun kawasan terus dipadati pengunjung. Dari kejauhan terlihat kapan yang sedang bongkar muatan. Tempat ini berhadapan langsung dengan Laut Arab.
Belasan abad lalu, pedagang Arab datang ke sana untuk membeli rempah seperti lada, kayu manis, kapulaga, cengkeh, kayu cendana lainnya. Mereka membawanya ke pasar Eropa Perdagangan itu yang membentuk keberagaman di tempat ini. Tak lama kemudian pasar rempah Kochi juga kemudian menarik minat China dan Eropa. Portugis datang pertama kali diikuti oleh Belanda dan Inggris kemudian.
Aneka rempah-rempah dan kacang-kacangan di Fort Kochi, India. Foto: Khiththati/acehkini
“Ada yang bilang nama Cochin itu artinya seperti China karena banyaknya Cheena Vala di sini” terang Manaf sambil memacu autonya.
ADVERTISEMENT
Chinese Fishing Net berjajar di tepi pantai, teknik menangkap ikan yang dikenalkan penjelajah China abad ke-14, terus dipraktikkan hingga kini. Beberapa ikan dijejerkan, sebagian pengunjung menikmati makan siangnya di sini.
Chinese fishing net di fort kochi, India. Foto: Khiththati/acehkini
Perjalanan berikutnya ke St Francis Church. Portugis membangunnya pada 1503 sebagai gereja katolik. Beberapa rumah peninggalan portugis, Belanda dan Inggris tampak sepanjang jalan. Dulunya Vasco da Gama seorang penjelajah dari Eropa dikuburkan di dalam gereja ini.
Nama Fort diambil dari benteng yang dibangun oleh Portugis. Benteng Emanuel itu direstui pembangunan oleh Rajah Kochi setelah pasukan Afonso de Albuquerque ini membantunya. Benteng dibangun untuk melindungi kepentinggan komersial Portugis, termasuk komplek perumahan.
Bagian dalam St Francis Church, Fort Kochi, India. Foto: Khiththati/acehkini
Selama 160 tahun Portugis menduduki wilayah itu sampai akhirnya direbut Belanda pada 1683. Selamat perebutan itu mereka membakar benteng dan bangunan lainnya. Kejayaan belanda selama 122 tahun berakhir setelah direbut Inggris tahun 1795.
ADVERTISEMENT
Perjalanan selanjutnya melewati penjara tempat tahanan politik dikurung oleh pemerintah Inggris. Ada kuburan Belanda dan Istana Pemerintah Belanda sepanjang tujuan ke Mattancherry. Kota ini juga dikenal sebagai kota Yahudi. Di kanan kiri, toko-toko dimiliki pedangang dari Kashmir yang menjual syal dan penduduk Kerala yang berjualan rempah-rempah.
Jalan menuju Paradesi Synagogue melewati beberapa toko. Kenderaan dilarang masuk. Tempat peribadatan itu terletak di ujung. Melewati satu toko yang menjual peralatan doa, seorang perempuan terlihat sibuk menjahit penutup kepala. Kamera tidak diperbolehkan di lokasi peribadatan.
Sinagog Paradesi dibangun pada tahun 1567. Yang tertua di negara-negara persemakmuran. Raja Kochi memberi tanah kepada komunitas Malabarian Yahudi. Tak heran bangunan ini berbagi tembok dengan Kuil Istana Mattancerry.
Salah satu lokasi di Fort Kochi, kota keberagaman di India. Foto: Khiththati/acehkini
Seperti janjinya Manaf juga mengajak ke beberapa toko sovenir. Ia sangat senang memperkenalkan kotanya. “Kami hidup damai dari dulu sampai sekarang,” katanya tersenyum. Azan baru saja bekumandang bersahutan tanda waktu Ashar tiba, ketika Manaf memutar autonya menuju pelabuhan kecil.
ADVERTISEMENT
“Kapal ke Ernakulam ada setiap 30 menit,” kata Manaf. “kapan-kapan datang lagi” teriaknya sambil melambaikan tangan. Anda tertarik ke sana?
Reporter: Khiththati (India)