Jejak Perang di Masjid Tuha: Ramai Saat Merdeka, Mati Suri Kala Konflik GAM (2)

Konten Media Partner
16 April 2021 18:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Di masjid itu, Pahlawan Nasional Teungku Chik Di Tiro menyusun strategi melawan kolonial Belanda. Dari sana pula, semangat perang dikobarkan para ulama sambil menegakkan syiar Islam. Generasi penerus menjaganya sebagai warisan sejarah.
Bagian dalam Masjid Tuha Teungku Chin Di Tiro. Foto: Suparta/acehkini
Beberapa tahun setelah perang Aceh melawan Belanda berakhir, Dayah Tiro menjadi tempat berkumpul ulama seluruh Aceh untuk menyatakan diri bergabung dengan Indonesia. Menurut Maimun, peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1948 di Masjid Tuha Teungku Chik di Tiro. "Ulama Aceh mendeklarasi dukungannya untuk kemerdekaan Indonesia," kata Maimun.
ADVERTISEMENT
Lebih dari dua dekade kemudian atau pada 1976, keturunan Teungku Chik di Tiro, Teungku Hasan Muhammad di Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka atau lebih dikenal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunung Tjokkan Tiro. Perang kembali meletus di Aceh dan Tiro kembali menjadi kawasan penting dalam medan perang.
Dampak konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia ini membuat aktivitas Dayah Tiro terhenti. Apalagi lokasinya di samping markas polisi. Asrama santri dayah tersebut juga dibongkar supaya tidak ditempati pihak yang lagi bertikai. "Dayah Tiro benar-benar mati sekitar 1990-an, saya dulu menjadi santri di sini," ujar Maimun.
Bekas balai pengajian. Foto: Habil Razali/acehkini
Saat ini di lokasi Dayah Tiro tersisa sebuah balai pengajian yang lapuk dan nyaris roboh. Tidak jauh dari sana terdapat fondasi beton yang telah diselimuti semak belukar. Menurut Maimun, Dayah Tiro terakhir dipimpin Teungku Ubaidillah, anak Teungku Umar Tiro, cucu Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.
ADVERTISEMENT
Makam Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut berjarak sekitar 200 meter dari Dayah Tiro di Dusun Dayah Blang, Desa Meunasah Mancang, Kecamatan Tiro. Di sana terdapat sebuah balai tua yang masih digunakan untuk belajar ilmu agama.
Sementara Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman dimakamkan di Gampong Manggra, Meureue, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. Beliau kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional sesuai Surat Keputusan Presiden Nomor 087/TK/Tahun 1973 tertanggal 6 November 1973.
Makam pahlawan nasional Teungku Chik Di Tiro di Aceh Besar. Foto: acehkini

Renovasi Masjid Pertama

Pertengahan 2019, Masjid Teungku Chik di Tiro ramai diberitakan karena kondisinya rusak parah. Atap tingkat paling atas miring. Dinding dan tiang penyangga sudah lapuk dimakan rayap. Beberapa lembaga peduli sejarah kemudian membuka donasi untuk memperbaikinya.
ADVERTISEMENT
Di tengah riuh rendah tersebut, masyarakat Tiro menggelar rapat di kantor camat, persis di depan masjid. Persamuhan itu menyepakati bahwa masyarakat Tiro akan merenovasi masjid tanpa menunggu anggaran pemerintah atau donasi dari luar terkumpul.
Maimun tidak tenang ketika mengisahkan tentang itu. Dia mondar-mandir. Bola matanya merah dan kelihatan sembab. "Kami masyarakat Tiro merasa malu masjid bersejarah ini dikenal orang karena terbengkalai," ujar Maimun, dengan nada berat. Bibirnya gemetar.
Masjid Tuha Tgk Chik Di Tiro sebelum direnovasi, Oktober 2019. Dok. Haikal Afifa
Kondisi masjid setelah direnovasi, Aril 2021. Foto: Suparta/acehkini
Tidak butuh waktu lama untuk mengumpulkan sumbangan masyarakat. Perbaikan masjid dimulai pada 2020. Seingat Maimun, ini adalah renovasi pertama dan besar-besaran masjid tersebut. Semua kayu lapuk diganti dengan yang baru. Termasuk tiga dari empat tiang penyangga utama bagian dalam masjid diganti. Dinding dengan bilah-bilah kayu berbentuk jerjak juga disusun ulang.
ADVERTISEMENT
"Bentuk bangunan tidak berubah, ukiran sama persis semua. Sekarang posisinya saja lebih tinggi sekitar satu meter," tutur Maimun. "Uang yang habis lebih dari Rp200 juta."
Untuk memasuki ke dalam masjid kita harus menapaki tiga anak tangga kayu dan melangkahi kayu yang menyambung ke dinding samping. Lebar pintu satu-satunya itu sekitar 50 sentimeter. Sekali lagi, kita kembali harus menuruni tiga anak sebelum akhirnya menyentuh lantai dalam masjid yang terpasang keramik.
Di bagian tengah masjid, empat tiang kayu penyangga utama menjulang tinggi menopang atap. Ini menjadi titik tengah bagi tiang bagian dinding dan kayu lain berpasak. Di sebelah barat masjid tergeletak sebuah mimbar setinggi sekitar 2 meter dan lebar 1 meter. Posisinya tidak lagi lurus. Bagian atasnya menjulang sebilah kayu berukiran dan ada pahatan kalimat tauhid dalam bahasa Arab. Semua kayu mimbar ini belum ada yang diganti.
Bagian dalam masjid dengan kayu-kayu kokoh. Foto: Suparta/acehkini
Seingat Maimun, masjid ini dulunya berada di tengah-tengah tujuh balai pengajian dan asrama santri Dayah Cut atau Dayah Tiro. Santri dari berbagai daerah datang belajar agama Islam di Dayah Tiro.
ADVERTISEMENT
"Masjid baru dan sekolah itu dulu masuk dalam kawasan dayah," katanya sembari menunjuk Masjid Babussalam, terpaut 50 meter dari masjid lama.
Kini, ketika semua perang telah usai dan Aceh sudah damai, Dayah Tiro menjadi sunyi. Dayah Tiro saat ini tidak lagi menjadi tempat orang-orang menimba ilmu agama. Karena yang tersisa adalah semak belukar.
"Masjid ini sekarang hanya digunakan untuk orang melepas nazar atau salat hajat," ujar Maimun. []