Jejak Rohingya di Aceh: Usai Terusir dari Tanah Lahir (1)

Konten Media Partner
28 Juli 2022 18:28 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik panjang di Myanmar membuat etnis Rohingya terusir. Mereka kerap terdampar di Aceh sejak 2009. Setidaknya tercatat 20 kali pengungsi Rohingya diselamatkan nelayan Aceh dan aparat keamanan. Serambi Makkah bukan tujuan para pencari suaka, Indonesia tidak termasuk negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 yang disetujui Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 28 Juli 1951, tepat 71 tahun silam.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jejak pengungsi Rohingya di Aceh? acehkini menayangkan beberapa laporan untuk menggambarkan suka duka warga dan relawan dalam menyelematkan mereka.
Pengungsi Rohingya diselamatkan nelayan di kawasan Lancok, Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
Sebuah kapal kayu terombang-ambing di perairan Pulo Rondo, sekitar 20 mil dari bibir pantai Sabang, Pulau Weh, 7 Januari 2009. Meski tak bermesin, kapal itu dijubeli 197 penumpang. Angkatan Laut Indonesia menolong dan membawanya ke daratan.
Nasib mereka mengenaskan: dehidrasi akut karena kekurangan cairan akibat 10 hari terombang-ambing di laut, tanpa makanan dan minuman. Orang-orang itu merupakan pengungsi Rohingya yang terusir dari tanah lahir di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Dari kamp pengungsian di Bangladesh, mereka mengarungi laut lepas demi hidup yang baik. Tujuan mereka adalah Malaysia. Namun, kapal gagal berlabuh di sana sebab lebih dulu ditangkap Angkatan Laut Thailand. Mereka lalu didorong lagi ke laut lepas.
ADVERTISEMENT
Haluan kapal kini berubah. Arah angin jadi penentu ke mana kapal akan berlabuh. Sepuluh hari sejak didorong otoritas laut Thailand, kapal mendekati daratan Aceh. Di ujung barat Indonesia itulah mereka disambut dengan tangan terbuka. Arah angin barangkali membawa kapal mereka kepada orang yang tepat.
Kedatangan kapal itu ke Sabang jadi tanda mula Rohingya terdampar di Aceh. Tahun-tahun berikutnya, kapal-kapal lain memuat pengungsi beragama Islam itu datang silih berganti. Setelah 2009 hingga sekarang, negeri Serambi Makkah ini jadi tempat orang Rohingya transit sebelum mencapai negara tujuan. Barangkali Aceh telah menjadi serambi bagi pengungsi Rohingya menuju tanah harapan.
Catatan teranyar kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh, ketika buku ini disusun, terjadi pada 6 Maret 2022. Satu kapal kayu berpenumpang 114 orang terdampar di pantai Kuala Raya, Kabupaten Bireuen. Saat ditemukan nelayan setempat, pengungsi Rohingya telah turun ke darat. Warga membawa mereka ke meunasah Gampong Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Bireuen.
ADVERTISEMENT
Pengungsi Rohingya menempati tenda pengungsian sekitar dua pekan di Alue Buya Pasie. Warga setempat menyumbang semua kebutuhan: makanan, minuman, hingga pakaian. Selanjutnya mereka dipindahkan ke gedung serbaguna kantor camat Jangka. Terakhir direlokasi ke tempat penampungan yang lebih layak di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, pada 17 dan 19 Mei 2022.
***
Pengungsi Rohingya melaksanakan salat di kamp Aceh Utara, setelah terdampar pada Juli 2015. Foto: dok. Yayasan Geutanyoe
Dalam rentang 2009-Juni 2022, gelombang kedatangan pengungsi Rohingya terbesar ke Aceh terjadi pada 2015. Jumlahnya lebih dari 1.000 orang, berbaur dengan imigran Bangladesh. Dunia menyorot arus pengungsi ini. Media menyebut mereka dengan istilah 'manusia perahu'.
Kamp-kamp penampungan sementara didirikan di beberapa titik, seperti Aceh Utara, Langsa, dan Aceh Timur. Situasi di Aceh ini mendorong Indonesia melahirkan regulasi menampung pengungsi dalam keadaan darurat baik di laut dan darat. Diteken setahun setelahnya, regulasi itu adalah Peraturan Presiden No 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
ADVERTISEMENT
Regulasi tersebut sampai sekarang menjadi dasar menolong pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di perairan Indonesia, meski hukum adat laut nelayan Aceh telah menerapkan aturan itu sejak dulu.
Indonesia hingga kini memang belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Karena itu, pengungsi luar negeri di Indonesia, termasuk Rohingya, ditampung sementara saja sebelum dikirim ke negara ketiga yang menjadi tanah harapan.

Data kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh

Data terdamparnya pengungsi ke Aceh. Grafis: Edi IP

Kisah Lawas dari Arakan

Maungdaw dan Buthidaung, dua daerah yang punya sejarah panjang mengirim pengungsi sejak dulu. Dua kota tersebut berada di utara negara bagian Rakhine atau juga disebut Arakan yang kini menjadi wilayah Burma atau Myanmar. Daerah itu adalah tanah air etnis muslim Rohingya. Sejak akhir abad 18, dua daerah setingkat kabupaten itu menjadi titik kerusuhan. Itu sebabnya, arus pengungsi dari sana tidak pernah terputus-putus hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Orang-orang etnis muslim Rohingya harus pergi dari tanah airnya ke tempat yang kini disebut Bangladesh, berbatasan langsung dengan Maungdaw dan Buthidaung. Sejak abad 18, ada empat gelombang besar migrasi Rohingya: akhir 1700-an, awal 1800-an, 1940-an, dan akhir 1978. Setelah periode itu, arus pengungsi tidak berhenti dan terus mengalir sampai hari ini. Bahkan mereka mengarungi laut lepas sehingga terdampar di Aceh, provinsi paling barat Indonesia.
Pemicu itu semua karena imbas konflik etnis dan agama, serta perjuangan politik yang lebih luas. Sejarah arus pengungsi tersebut tidak terlepas dari keterkaitan etnis Rohingya dan Arakan, juga hubungannya dengan daerah yang kini disebut Myanmar.
Dikutip dari Burmas Path to Genocide yang dirilis United States Holocaust Memorial Museum (USHMM) pada tahun 2000, disebutkan Rohingya dulunya bagian Kerajaan Mrauk-U (Mrohaung) di Arakan yang berdiri independen. Pedagang muslim datang ke daerah itu pada abad ke-8. Kedatangan mereka bertambah banyak ke Arakan pada abad ke-12 dan 13. Sebagian dari mereka berasal dari Kesultanan Bengal, kerajaan Islam berdekatan dengan Arakan.
ADVERTISEMENT
Tahun 1400-an, Mrauk-U diserang pasukan Kerajaan Burma yang berpusat di Kota Ava atau Inn Wa. Raja Narameikhla ketika itu meminta bantuan dari Kesultanan Bengal sehingga Mrauk-U melawan Burma dengan bantuan tentara muslim. Setelah bantuan itu hubungan dua kerajaan makin baik. Raja Mrauk-U yang beragama Buddha ketika itu mengizinkan pelaksanaan pengadilan muslim, dengan memberi peranan penting pada pejabat muslim.
Tahun 1784, Kerajaan Burma kembali menginvasi Arakan dan menjadikan daerah itu bagian dari wilayahnya. Mereka yang menolak takluk akhirnya mengungsi ke tempat yang sekarang disebut Cox's Bazar di selatan Chittagong, dulu dikuasai Inggris tapi kini bagian dari Bangladesh. Cox's Bazar diambil dari nama letnan Inggris yang membantu pengungsi di sana.
Salah satu kelompok Rohingya yang jadi pengungsi di Chittagong tetap melawan Burma. Karena perlawanan itu, ada pasukan Burma mengejar Rohingya ke wilayah yang dikuasai Inggris. Hal itu menimbulkan ketegangan antara Burma dan Inggris.
ADVERTISEMENT
Tahun 1811, etnis Rohingya kembali merebut sebagian besar Arakan dari Burma. Chin Bya, pemimpin kelompok itu meminta perlindungan Inggris, tapi ditolak. Alhasil, Burma kembali mengusir etnis Rohingya ke Bengal. Sebagian besar Rohingya yang kabur pada periode itu tidak lagi kembali ke Arakan. Mereka menetap di Cox's Bazar.
Belakangan, Inggris memperluas wilayah jajahan ke Burma melalui serangkaian perang sejak 1824. Selama jajahan Inggris hingga 1942, Burma jadi provinsi di bawah India. Periode inilah banyak etnis Rohingya di Chittagong kembali ke Arakan. Migrasi itu dianggap sebagai perpindahan penduduk secara internal.
Namun, Burma menganggap perpindahan selama jajahan Inggris itu ilegal. Atas dasar inilah hingga sekarang, pemerintah Burma atau Myanmar menolak mengakui kewarganegaraan mayoritas muslim Rohingya. Meski etnis itu sudah menempati Arakan sejak berabad-abad lalu.
ADVERTISEMENT
Selama masa Perang Dunia II, 1942-1945, Jepang menginvasi Burma yang dikuasai Inggris. Orang-orang Burma mendukung Jepang, tapi etnis muslim Rohingya berada di pihak Inggris. Periode ini arus pengungsi ke Bengal kembali meningkat. Wilayah Burma berada di bawah kendali Jepang hingga 1945, sebelum Inggris mengusirnya dan kembali menguasai Burma. Inggris kala itu didukung penduduk Burma.
Pada Januari 1947, Burma menandatangani perjanjian dengan Inggris yang menjamin kemerdekaan penuh Burma dalam waktu satu tahun. Jenderal Aung San terpilih sebagai pemimpin pemerintahan transisi. Rohingya turut dipilih sebagai anggota badan pemerintahan Burma, Majelis Konstituante. Namun, Jenderal Aung San dan enam menteri dibunuh pada Juli 1947 karena persaingan politik.
Anak-anak pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh. Foto: Zikri M untuk acehkini
Januari 1948, Burma merdeka dari Inggris. Undang-undang baru mengakui semua warga negara sama, termasuk Rohingya. Setahun kemudian, pemerintah Burma mengeluarkan kartu registrasi penduduk yang juga diberikan bagi Rohingya. Dalam rentang 1951-1960, Burma mengadakan tiga pemilihan umum. Semua warga, termasuk Rohingya, memiliki hak memilih. Bahkan ada warga Rohingya menjadi anggota parlemen.
ADVERTISEMENT

Rohingya Kehilangan Warga Negara

Pemerintahan Burma berubah pada 1962. Militer yang dipimpin Jenderal Ne Win mengudeta pemerintah terpilih, lalu mendirikan pemerintahan militer. Pada 1974, junta militer menerapkan konstitusi baru dengan partai tunggal. Akhir tahun itu, parlemen mengesahkan Undang-Undang Imigrasi Darurat yang membatasi hak-hak individu yang dianggap orang asing dari Bangladesh, Cina, dan India. Pihak berwenang mulai menyita kartu registrasi nasional Rohingya.
Arus pengungsi Rohingya ke Bangladesh kemudian semakin meningkat seiring eskalasi pengusiran oleh negara kian tinggi. Tahun 1978, pihak berwenang Burma meluncurkan Operasi Naga Min, atau "Raja Naga," untuk memverifikasi status warga negara dan orang-orang yang dipandang sebagai "orang asing." Tentara menyerang dan meneror Rohingya. Lebih dari 200.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh ketika itu sebagai penanda awal mula Rohingya berstatus penduduk ilegal di Burma.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi terhadap Rohingya dilanjutkan junta militer Burma pada 1982 setelah parlemen mengesahkan undang-undang baru yang mendasarkan kewarganegaraan pada etnisitas. Undang-undang tersebut menjadi awal kewarganegaraan Rohingya secara resmi dilucuti Burma. Sebagai populasi tanpa kewarganegaraan, warga Rohingya tidak mendapatkan hak dan perlindungan dasar dan sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan berbasis seksual, gender, dan pelecehan.
Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa mereka yang sudah memiliki kartu registrasi kewarganegaraan tidak akan kehilangan status warga negara. Namun, yang terjadi adalah banyak orang Rohingya tidak lagi memiliki bukti kewarganegaraan karena pihak berwenang menyita kartu identitas mereka pada tahun 1970-an. Warga Rohingya yang sama ini diberi tahu bahwa tanpa kartu identitas, mereka harus mengidentifikasi diri sebagai “Bengali,” atau imigran dari Bangladesh.
ADVERTISEMENT
Protes prodemokrasi merebak di seluruh Burma pada 1988, termasuk di negara bagian Rakhine, tanah air bagi Rohingya. Militer menanggapi protes itu dengan kekerasan. Setahun kemudian, pemerintah mewajibkan setiap orang mengajukan kartu identitas baru, yang disebut Citizenship Scrutiny Cards atau Kartu Pengawasan Kewarganegaraan. Rohingya tidak pernah menerima kartu baru.
Pengungsi Rohingya yang terdampar di Pulau Idaman, Aceh Timur, menunjukkan kartu identitas dari UNHCR, Juni 2021. Foto: dok. Yayasan Geutanyoe
Dua tahun protes berlangsung, pada 1990, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi memenangkan pemilihan nasional Burma. Aung San Suu Kyi, putri Jenderal Aung San, adalah pemimpin partai. Militer menolak untuk mengakui hasil dan tetap berkuasa. Pada 1991, Aung San Suu Kyi menerima penghargaan Nobel Perdamaian karena perjuangannya memajukan demokrasi di negaranya tanpa menggunakan kekerasan dalam menentang kekuasaan rezim militer.
Pada tahun Aung San Suu Kyi menerima Nobel, etnis Rohingya justru memperoleh kekerasan dari militer Burma setelah Operasi Pyi Thaya atau “Negara Bersih dan Indah”, diluncurkan. Ratusan ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Tahun berikutnya, pemerintah membentuk pasukan keamanan perbatasan khusus bernama NaSaKa untuk mengganggu dan menganiaya Rohingya.
ADVERTISEMENT
Burma menolak mengeluarkan akta kelahiran anak-anak Rohingya yang lahir di negara itu sejak 1994. Sementara bagi etnis Rohingya dewasa, Burma mengeluarkan bentuk identifikasi baru, dikenal kartu pendaftaran sementara atau “kartu putih" pada 1995. Kartu itu tidak berfungsi sebagai bukti kewarganegaraan.

Di Bawah Bayang-bayang Kekerasan

Memasuki abad ke-21, eskalasi kekerasan terhadap etnis Rohingya meningkat. Menurut, United United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) atau Badan PBB untuk Pengungsi, memasuki tahun 2000-an hingga sekarang etnis Rohingya terus mengungsi ke Bangladesh dan sejumlah negara sekitar lainnya.
Pada puncak krisis, ribuan orang harus menyeberang batas negara setiap hari. Lebih dari satu juta pengungsi Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar dalam gelombang perpindahan berturut-turut sejak awal 1990-an.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar mereka harus berjalan selama berhari-hari melalui hutan dan pegunungan, atau menerjang perjalanan laut yang berbahaya melintasi Teluk Benggala. Mereka tiba dalam keadaan lelah, lapar, dan sakit sehingga membutuhkan perlindungan internasional dan bantuan kemanusiaan.
Sebagian mereka yang menempuh jalur laut berujung terdampar di pantai Aceh yang mengarah ke Selat Malaka. PBB menggambarkan Rohingya sebagai “minoritas yang paling teraniaya di dunia.”
Pada 2017, Dewan Hak Asasi Manusia PBB membentuk Tim Pencari Fakta terkait Rohingya di Myanmar. Tim tersebut diketuai Marzuki Darusman (Indonesia), serta Radhika Coomaraswamy (Sri Lanka) dan Christopher Sidoti (Australia) sebagai anggota. Tim fokus pada situasi di negara bagian Kachin, Rakhine, dan Shan.
Tim memeriksa pelanggaran kebebasan fundamental, termasuk hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai, dan soal ujaran kebencian. Tim menemukan bahwa ada pola yang konsisten dari pelanggaran hak asasi manusia yang serius di negara bagian Kachin, Rakhine dan Shan.
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap Rohingya dilakukan oleh militer Myanmar. Operasi militer dilakukan dengan tidak menghormati hukum internasional, termasuk dengan sengaja menargetkan etnis Rohingya yang merupakan warga sipil. Tim menemukan bahwa pelanggar hak asasi manusia tersebut memiliki impunitas sehingga desakan agar ada akuntabilitas harus dilakukan pihak internasional.
Pengungsi Rohingya di Aceh telah dipindahkan ke Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Pemindahan dilakukan dalam dua gelombang, 17 dan 19 Mei 2022. Foto: Dok. IOM Indonesia
Tim membuat rekomendasi konkret untuk tujuan itu, termasuk jenderal-jenderal senior militer Myanmar harus diselidiki dan diadili di pengadilan internasional dalam kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Laporan tim pencari fakta itu diungkap di Jenewa, 27 Agustus 2018 di Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB.
Pada 2012, kekerasan terhadap Rohingya bukan saja dilakukan militer, tapi juga oleh umat Buddha di Rakhine. Penyerangan terhadap Rohingya tersebut didukung oleh negara. Beberapa warga dan biksu Buddha mendirikan “The 969”, sebuah gerakan nasionalis Buddhis. Gerakan ini kemudian dilarang karena mendorong kekerasan terhadap muslim di negara itu.
ADVERTISEMENT
Pada 2014, biksu ultra-nasionalis juga membentuk MaBaTa, gerakan sosial dan keagamaan bertujuan untuk melestarikan dan melindungi nilai-nilai Buddhis. Ini menjadi organisasi antimuslim dan anti-Rohingya yang paling menonjol di Burma. April 2014, sensus nasional untuk pertama kali digelar di negara itu dalam 30 tahun terakhir. Namun, pemerintah mengecualikan Rohingya dalam sensus.
Setahun setelahnya, 2015, Burma membatalkan kartu putih Rohingya, satu-satunya bentuk identifikasi mereka. Mereka diharuskan mendapatkan kartu verifikasi nasional. Kartu-kartu ini mengidentifikasi Rohingya sebagai imigran dari Bangladesh. Sebagian besar Rohingya menolak kartu baru itu.
Tahun 2015, gelombang pengungsi Rohingya mendarat di Aceh setelah menempuh jalur laut yang berbahaya dengan perahu sarat penumpang. Ini adalah kedatangan terbesar pengungsi Rohingya di Aceh, hampir mencapai seribu orang. Itu bukanlah kedatangan awal Rohingya di Serambi Makkah, melainkan kesekian kali setelah terdampar pertama sekali di Pulau Weh, Sabang, pada 2009.
ADVERTISEMENT
Di Aceh, mereka tidak menetap lama karena memang bukan tujuannya. Sebagian besar mereka melanjutkan pelarian ke Malaysia dan sejumlah negara lain. [bersambung]
ADVERTISEMENT
Note: Sebagian materi tulisan telah dibukukan dengan judul ‘Aceh Muliakan Rohingya’ ditulis oleh jurnalis acehkini, difasilitasi Yayasan Geutanyoe.