Ketua DPRA: Hukum Adat Laut Aceh Sejalan dengan UNCLOS

Konten Media Partner
28 Juni 2022 22:00 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Saiful Bahri saat memberi sambutan pada seminar internasional bertema "Rescue of Refugees at Sea: Loopholes Between Indonesian Law and Adat Aceh" di Banda Aceh, Selasa (28/6/2022). Foto: Dok. DPRA
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Saiful Bahri saat memberi sambutan pada seminar internasional bertema "Rescue of Refugees at Sea: Loopholes Between Indonesian Law and Adat Aceh" di Banda Aceh, Selasa (28/6/2022). Foto: Dok. DPRA
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Saiful Bahri menyatakan bahwa hukum adat laut Aceh sangatlah sejalan dengan hukum laut internasional (UNCLOS). Hal tersebut disampaikannya saat memberi sambutan pada seminar internasional bertema “Rescue of Refugees at Sea: Loopholes Between Indonesian Law and Adat Aceh” yang digelar Yayasan Geutanyoe di Banda Aceh, Selasa (28/6/2022).
ADVERTISEMENT
“Aksi penyelamatan pengungsi yang dilakukan nelayan Aceh selama ini sesuai dengan hukum adat nelayan Aceh mewajibkan nelayan Aceh untuk menolong siapa pun yang membutuhkan bantuan di laut. Itu sangatlah sejalan dengan hukum laut internasional (UNCLOS),” kata Saiful.
Menurut pria yang akrab disapa Pon Yaya itu, Aceh sebagai daerah terdepan yang terlibat dalam penyelamatan pengungsi di Indonesia. “Para nelayan tetap harus menjaga kedaulatan negara, selain itu kemanusiaan juga harus kita selamatkan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Saiful Bahri saat memberi sambutan pada seminar internasional bertema "Rescue of Refugees at Sea: Loopholes Between Indonesian Law and Adat Aceh" di Banda Aceh, Selasa (28/6/2022). Foto: Dok. DPRA
Ia menambahkan, melalui seminar internasional tentang penyelamatan di laut, dapat menghasilkan rekomendasi yang dapat dipadukan antara hukum internasional, hukum nasional dan hukum adat dalam upaya penanganan pengungsi sehingga bisa menjadi produk hukum yang memberikan perlindungan bagi penyelamat berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Pon Yaya juga mengatakan, selain permasalahan pengungsi rohingya, Aceh juga ada masalah besar tentang sengketa empat pulau dengan Provinsi Sumatera Utara. Menurutnya sengketa tersebut bisa mengarahkan bentrok fisik antara nelayan Aceh dengan nelayan Sumut, dan apabila tidak diantisipasi dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
Ia menyebutkan, permasalahan batas Aceh menjadi poin penting salah satu perjanjian damai Aceh terkhusus poin 1.1.4 tentang perbatasan Aceh dan poin 1.3.3 tentang teritorial laut Aceh yang tercantum dalam MoU Helsinki.
“DPR Aceh berharap kepada pemerintah pusat dan juga pemerintah Aceh agar segera menyelesaikan sengketa empat pulau tersebut, sebelum potensi konflik itu terjadi,” ujarnya.
Menurut Ketua DPR Aceh, pemerintah pusat telah memutuskan sepihak dan tidak merujuk ke peta 1 Juli 1956 sehingga dirinya menyebutkan keputusan tersebut cacat hukum.
ADVERTISEMENT
“Permasalahan Aceh tidak hanya persoalan sektoral umum saja, tetapi harus dikaitkan dengan MoU Helsinki yang sudah menjadi semacam konstitusi baru bagi Aceh,” tutup Pon Yaya. []