Kisah Cut Nyak Dhien Ditangkap Belanda: Cabut Rencong Hendak Tikam Panglima (9)

Konten Media Partner
29 Oktober 2021 17:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pahlawan nasional asal Aceh, Cut Nyak Dhien dikenal sebagai perempuan yang mendedikasikan hidupnya untuk perang melawan kolonial Belanda. Rencong tak pernah lepas darinya dalam perjuangan, bahkan sampai ditangkap penjajah.
Cut Nyak Dhien (tengah) dan pasukannya sesaat setelah ditawan Belanda. Dok. KITLV
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kesultanan Aceh (sekitar kawasan Lampisang, Aceh Besar sekarang-red) pada 1848 dari keluarga bangsawan. Ia puteri dari Teuku Nanta Setia, seorang Uleebalang VI Mukim, sedangkan, ibunya adalah puteri dari Uleebalang Lampagar. Dia menikah di usia belasan tahun dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari Uleebalang Lamnga.
ADVERTISEMENT
Pada 26 Maret 1873, Belanda mengumumkan perang dengan Aceh. Ibrahim ikut berjuang mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Dia meninggal pada 29 Juni 1878, karena tertembak dalam sebuah pertempuran di Gle Tarum, Aceh Besar. Sejak itu, Cut Nyak Dhien bersumpah akan membalaskan dendamnya.
Dua tahun kemudian, Cut Nyak Dhien menerima lamatan Teuku Umar dengan syarat, ia diizinkan ikut bersama suaminya berperang melawan Belanda. Permohonan diterima, mereka kemudian terlibat banyak bersama melawan kolonial Belanda.
Dalam perjuangannya, Teuku Umar pernah berpura-pura bekerja sama dengan Belanda pada 1883 sebagai taktik perdagangan, dia memanfaatkan kapal-kapal pengangkutan Belanda dan negara lain untuk menjual hasil panen lada. Perannya berbalik pada 14 Juni 1986. Hal ini berawal saat Teuku Umar menyerang sebuah kapal kecil ‘Hok Canton’ yang sedang memuat lada di Teluk Rigaih. Sejumlah awak kapal terbunuh, sejumlah awak lainnya disandera dengan tembusan. Teuku Umar kemudian menjadi buron.
ADVERTISEMENT
Teuku Umar (tengah) bersama pasukannya, memakai rencong dan siwah. Dok. KITLV
Tahun 1891, terjadi banyak kekacauan perang di Aceh, Belanda semakin kesusahan. Teuku Umar menawarkan diri kepada Belanda untuk mengamankan beberapa wilayah, asal Belanda mengampuninya, dan memberikan materi, seperti yang diberikan kepada uleebalang yang setia kepada Belanda di luar lini konsentrasi.
Setelah melakukan beberapa tindakan membantu Belanda, baru mereka yakin terhadap sikap Teuku Umar. Pada 30 September 1893, Teuku Umar resmi ditetapkan sebagai Panglima Berang Perang Kompeni dalam sebuah upacara militer di Kuraraja (Banda Aceh), di digelar Toekoe Djohan Pahlawan. Ikut serta belasan panglima perangnya.
Semasa pembelotan kedua, Istrinya Cut Nyak Dhien terus berjuang melawan Belanda. Hingga pada 30 Maret 1896, Teuku Umar bergabung lagi dengan para pejuang, setelah mendapat sejumlah bekal persenjataan dari Belanda. Dia bersama Cut Nyak terus merepotkan penjajah, di kawasan Aceh Besar dan Aceh Barat.
ADVERTISEMENT
Belanda yang marah sempat menguasai Lampisang, membakar rumah Cut Nyak Dhien di kawasan Lampisang, Aceh Besar. yang tersisa hanya sumurnya saja. Teuku Umar meninggal dalam sebuah pertempuran sengit di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, Aceh Barat, pada 11 Februari 1899. Beliau dimakamkan di Gampong Desa Mugo Rayuek, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat, atau sekitar 32 kilometer dari Kota Meulaboh.
Sebagai istri, dendam Cut Nyak Dhien semakin mambara. Dia terus berjuang bersama anaknya Cut Gambang, menerapkan strategi perang gerilya, dari hutan ke hutan.
Enam tahun kemudian, kesehatan Cut Nyak Dhien menurun. Beliau menderita encok dan matanya rabun. Panglima pasukannya sendiri, Panglima Laot Ali, dengan rasa kasihan, datang menjemput patroli Belanda, menawarkan sejumlah syarat. Memberi tahu lokasi persembunyian Cut Nyak Dhien, tetapi Belanda harus merawat dan mengobatinya.
ADVERTISEMENT
Tugu jejak perjuangan Cut Nyak Dhien di Aceh Barat. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Sejarawan Aceh, Aboebakar, memberikan catatan dalam terjemahan De Atjeh-Oorlog karya Paul van’t Veer (1969), tentang kisah penangkapan pada 4 November 1905.
Saat itu, Letnan van Vuuren dari Kolonne Veltman, yang amat fasih berbahasa Aceh, datang menjemput Cut Nyak Dhien. Beliau memaki Belanda dan tak sudi ditangkap, bahkan dengan sisa tenaganya mencabut rencong berniat hendak menikam panglimanya, tapi keadaannya sangat lemah dan tidak berdaya melakukan perlawanan.
Cut Nyak Dhien kemudian dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan wafat di sana pada 6 November 1908. Makamnya terawat baik hingga kini, namanya masih dikenang sebagai pejuang di Aceh dan Indonesia.
Atas jasanya, pemerintah mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/1964 tanggal 2 Mei 1964.
ADVERTISEMENT
Barbara Leigh dalam Tangan-tangan Trampil, Seni Kerajinan Aceh (1989), berdasarkan wawancara dengan ahli senjata (tradisional) Indonesia, Moebirman, menyebutkan rencong yang pernah digunakan Cut Nyak Dhien dalam perang melawan tentara Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz (Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh) akhir abad ke-19 saat ini masih tersimpan di (museum) Kota Den Haag, Belanda. []