Kisah Perempuan Korban Perang Aceh dalam Catatan Relawan Muda

Konten Media Partner
23 Juli 2020 18:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buku Catatan Relawan Muda RPUK Aceh. Dok. acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Buku Catatan Relawan Muda RPUK Aceh. Dok. acehkini
ADVERTISEMENT
Dampak konflik Aceh sebelum damai lahir pada 15 Agustus 2005 silam, paling dirasakan perempuan. Banyak dari mereka yang mengalami kekerasan, seperti pemukulan, hinaan, intimidasi bahkan kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Pengalaman yang dikisahkan para perempuan korban dan terimbas perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan aparat TNI/Polri inilah, yang dituliskan dua mahasiswa; Irmawati (24 tahun) dan Siti Aisyah (24 tahun) dalam bukunya berjudul ‘Catatan Relawan Muda’. Buku berisikan pengalaman mereka dalam mendampingi perempuan para korban konflik Aceh di kawasan Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara, salah satu wilayah paling kelam dulunya.
Diinisiasi oleh Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPUK) Aceh dan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA), buku diluncurkan lewat diskusi online, Kamis (23/7/2020). Diskusi, selain menghadirkan Irmawati, juga Teuku Kemal Fasya (Akademsi dari Universitas Malikussaleh), Sicillia Leiwakabessy (Cahaya Guru Foundation) dan Azriana Manalu (Mantan Ketua Komnas Perempuan).
Sekretaris Eksekutif RPUK Aceh, Laila Juari, mengatakan catatan dua relawan muda tersebut merupakan secuil kisah yang dialami oleh para perempuan di masa konflik. “Buku ini setidaknya akan mengisi ruang publik, memperkaya referensi terkait kondisi perempuan Aceh masa lalu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, catatan tersebut merupakan pengalaman mereka sendiri yang selama 3 tahun terakhir dilibatkan dalam kerja pengorganisasian yang dilakukan oleh RPUK di Kecamatan Nisam Antara. “Mereka merefleksikan pengalaman melalui karya tulis agar menjadi mengetahuan bagi anak-anak muda lainnya,” kata Laila, sambil mengajak mereka dan anak muda lainnya terus menulis dan tak melupakan kisah konflik sebagai bagian sejarah Aceh.
Diskusi buku lewat zoom. Foto: Desy
Salah seorang penulis, Irmawati, menuturkan saat konflik Aceh terjadi masih terlalu kanak-kanak dan baru 9 tahun saat damai diraih. Kisah konflik Aceh baru didengar detil selama 3 tahun terakhir saat tertarik bergabung sebagai relawan RPUK.
Banyak kendala yang dilalui saat menulis kisah para perempuan korban konflik tersebut. “Kami dianggap anak-anak awalnya, dinilai tidak mengerti sampai mereka enggan menceritakan berbagai pengalaman masa lalu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan yang dilakukan selama 3 tahun dibantu para relawan senior seperti Badriah A Thaleb, Laila Juari, Desy Setiawaty, dan Erni, para anak muda ini akhirnya mampu menerbitkan bukunya. “Saya akan terus mencoba menulis, setelah pengalaman pertama ini,” katanya.
Pengalaman tersebut sangat berharga buat Irmawati. Dia menemukan banyak perempuan yang merasa perdamaian Aceh belum membawa keadilan buat mereka. Sebagian dari korban bahkan menangis dan sedih saat mengisahkan kembali kekerasan yang pernah mereka alami.
Teuku Kemal Fasya menilai apa yang dilakukan dua anak muda itu adalah prestasi yang jarang. “Terus bimbing dan jangan tinggalkan mereka, dorong mereka untuk terus menulis,” katanya.
Dalam diskusi tersebut, Kemal ikut memaparkan kondisi rekonsiliasi pascakonflik di Aceh saat ini. “Rekonsiliasi di Aceh masih jauh dari harapan, saat ini yang kita (semua) lakukan hanya sebuah semangat meraih cita-cita rekonsiliasi tersebut,” katanya.
ADVERTISEMENT
Mengutip Teolog asal Afrika Selatan, Desmond Tutu, kata Kemal, rekonsiliasi bukan berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja, seperti apa adanya. Bukan juga salin menuding satu sama lain di belakang panggung dan menutup mata terhadap orang yang bersalah. “Rekonsiliasi adalah membuka tabir kesalahan, penyiksaan, perasaan sakit dan kebenaran,” jelasnya.
Di akhir presentasinya, Kemal mengingatkan bahwa hari ini, pada 21 tahun lalu atau 23 Juli 1999, telah terjadi pembantaian terhadap Tgk Bantaqiyah dan santrinya, di Beutong Ateuh, Nagan Raya.
Pembantaian itu menjadi catatan kelam, sebuah tragedi kemanusian masa konflik Aceh. Kisahnya dapat dibaca pada artikel yang kami tulis tahun lalu, sebagai berikut: