Kisah Sedih Kematian Letnan de Bruyn Ditebas Pedang, Gagal Jadi Pengantin (14)

Konten Media Partner
19 November 2021 11:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pedang, kelewang dan rencong selalu menjadi senjata pejuang Aceh dalam perang jarak dekat melawan kolonial Belanda. Banyak kematian tragis yang tercatat sejarah menimpa marsose, salah satunya yang menimpa Letnan HP de Bruyn (Bruijn), mati menjelang pesta pernikahannya.
Letnan HP de Bruyn. Foto repro dari buku The Dutch Colonial War in Aceh
Baju pengantin untuk calon istri sudah dipesan dari Jawa. Tapi dari Seunagan, Nagan Raya, Letnan de Bruyn kembali ke Kutaraja (Banda Aceh) bukan untuk bersanding di pelaminan, melainkan untuk dikuburkan di Kerkhof Peucut. Nisannya masih tegak hingga kini.
ADVERTISEMENT
De Bruyn merupakan perwira kepercayaan Gubernur Sipil dan Militer Kolonial Belanda di Aceh, Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Malah, calon istrinya tinggal di rumah van Heutsz (pendopo Gubernur Aceh sekarang), setelah ayah sang calon istri yang juga perwira tinggi Belanda di Aceh tewas dalam peperangan sebelumnya.
Bagi calon istri de Bruyn, ini adalah luka mendalam. Duka akibat kematian ayahnya dan kini duka dari kematian calon suaminya. Dua orang yang dicintainya itu sama-sama mati dalam perang Aceh. Ibu dan adiknya telah kembali ke Belanda membawa duka kematian ayahnya. Kini ia juga harus mengirim kabar ke sana, bahwa calon menantu yang diidam-idamkan ibunya itu juga telah mati di Aceh.
Kisah kematian de Bruyn pada Juli 1902 ditulis dalam beberapa buku sejarah kolonial Belanda di Aceh, selain oleh HC Zentgraaff, juga ditulis oleh Tjoetje, mantan pegawai kolonial Belanda di kantor Bestuurs Meulaboh.
ADVERTISEMENT
Tjoetje (1972) mengutip kisah de Bruyn dari majalah angkatan darat Belanda, Ons Leger edisi Maret 1972, serta dari buku Generaal Swart Pacificator van Atjeh yang ditulis Du Croo dan Schmidt. Bahan bacaan itu diperoleh dari kiriman kawannya JHJ Brendgen dan D Toekamp Lammers di Haarlen dan Beverwijk, Belanda. Keduanya pernah bertugas dia Aceh.
Letnan de Bruyn tewas akibat perang jarak dekat dengan pejuang Aceh. Tubuhnya ditebas sabetan pedang. Sebelum mati ia, sempat berpesan kepada bawahanya, “zag aan mijn moeder, dat ik mijn best heb gedaan.” (katakan kepada ibuku, bahwa aku telah melakukan yang terbaik).
Kuburan HP de Bruyn (Bruijn) di Kerkhof Peucut, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Dalam The Dutch Colonial War in Aceh, pada bagian Personalities, Monuments and Cemeteris yang berisi foto-foto perwira Belanda yang tewas di Aceh, dijelaskan Letnan de Bruyn tewas karena perutnya tembus ditombak pejuang Aceh, sekujur badannya juga terdapat 15 luka tebasan pedang, akibat pertempuran jarak dekat dengan pejuang Aceh di Gampong Leumo, Jeuram.
ADVERTISEMENT
Zentgraaff dalam bukunya Atjeh (1938) menulis kematiannya dengan sangat detil dan menyentuh, sebegai berikut: Letnan de Bruyn melakukan operasi dengan satu pasukan infantri di antara Meulaboh dan Teunom. Sedangkan perkawinan de Bruyn, sudah ditetapkan, akan berlangsung pada hari Minggu depan, sehari setelah kepulangannya dari operasi itu.
Pada detik-detik akhir itu, datanglah sebuah berita, mengenai kegiatan gerombolan Pang Anu (pejuang Aceh). Kabar itu dianggap dapat dipercaya, sehingga akan terbayanglah kesempatan memukul lawan dengan membawa sukses besar.
Jenderal van Heutsz menyetujui pasukan de Bruyn untuk melakukan operasi ke sana. Karena itu, perkawinan Letnan de Bruyn akan ditunda seminggu. Ketika pasukan de Bruyn sampai di sungai kecil yang lebar dan dalam, pasukan harus menyeberang satu-satu melalui jembatan pohon pinang.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, belum sampai seluruh pasukan berkumpul di seberang sungai. Di jalan setapak yang melingkar alang-alang setinggi orang dewasa, menggelegar bunyi letusan senapan dari hutan sebelah kanan. Secara refleks semua serdadu menolah ke kanan, dan mendadak dari arah kiri 60 orang Aceh menyergap pasukan itu. Rupanya, kabar adanya musuh kemarin itu hanya pancingan agar pasukan kompeni datang ke sungai tersebut.
Kelewang dan Pedang Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Pertarungan itu merupakan pertempuran jarak dekat, satu lawan satu, di mana pihak lawan berada dalam posisi lebih menguntungkan. Pihak Belanda tahu betul, betapa orang-orang Aceh cekatan benar dalam memanfaatkan medan dan serangan. Serdadu marsose yang masih di seberang sungai tak bisa menembak, karena campur aduknya kawan dan lawan. Mereka berusaha melewati jembatan untuk membantu. Hal ini merupakan kehancuran mereka. Di seberang, satu per satu mereka disongsong lawan.
ADVERTISEMENT
Letnan de Bruyn gugur bersama serdadu lainnya. Sementara orang-orang Aceh itu mengangkut kawan-kawannya yang terluka dan merampas semua senapan dan karaben.
Mayat de Bruyn dan pasukannya diangkut dengan kapal putih ke Kutaraja. Seorang Nyonya Kapten menelepon Jenderal van Heutsz memberitahu kapal itu masuk dengan bendera setengah tiang. Ketika ditanyakan siapa yang tewas, Nyonya Kapten itu menjawab “de Bruyn” dan dari ujung telepon di seberang sana terdengar ucapan “Ya Tuhan.”
Jenderal Van Heutsz harus menyampaikan kepada calon istri de Bruyn, bahwa tunangannya sudah tiba, tetapi tidak untuk bersanding di pelaminan pengantin, melainkan untuk dikuburkan di Peucut. Belakangan, Van Heutsz mengakui, itulah tugas menyampaikan pesan yang paling meresahkan yang pernah dilakukannya. []
ADVERTISEMENT
Penyumbang bahan: Is Norman