Kisah Siswa di Aceh Seberangi Sungai untuk Sekolah
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, sebuah jembatan gantung menjadi urat nadi yang menghubungkan desa terpencil itu ke daerah lain. Tapi sejak 17 tahun silam, jembatan gantung itu telah ambruk diterjang banjir.
“Sejak itu, semua warga Panca Kubu yang keluar harus menyeberangi sungai. Itu pun jika debit airnya normal. Jika musim hujan dan meluap, warga terkurung di sana,” ujar Abdullah, Sekretaris Gampong Panca, Jumat (22/1/2021).
Secercah harapan muncul di tahun 2008, ketika Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh saat itu, berkunjung ke Gampong Panca. Tujuannya untuk melihat bantuan kambing untuk warga.
“Sampai di sini, begitu tahu ada warga yang terisolir akibat jembatan putus, beliau langsung menelepon kepala dinasnya. Tak lama, jembatan rangka baja pun dibuat, di akhir tahun hanya selesai setengah. Sampai kini kondisinya masih seperti itu. Jembatannya masih setengah,” jelas Abdullah.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Panca Kubu merupakan desa yang dulunya ditinggali lebih 300 kepala keluarga (KK) warga transmigrasi, yang dikirim melalui program pemerataan penduduk masa pemerintahan Presiden Seoharto. Saat konflik berkecamuk di Aceh, banyak antara mereka kembali ke Pulau Jawa, setelah menjual tanah dan kebunnya.
Ia menambahkan, kini Panca Kubu didiami sekitar 90 KK, atau kurang lebih 400 jiwa. Semua warga berprofesi sebagai petani. Rambutan, langsat, coklat, pinang, pisang, serta kemiri merupakan tanaman yang banyak ditanami warga di sana.
“Saat panen, warga harus mengeluarkan biaya lebih sebagai ongkos angkut menyeberangi sungai,” kata Abdullah.
Fitri, seorang tenaga pendidik di Gampong Panca, khawatir terhadap anak didiknya yang harus menyeberangi sungai saat pulang-pergi ke sekolah.
ADVERTISEMENT
“Jika musim hujan mereka terpaksa tidak sekolah , sebab tidak bisa menyeberang. Bahkan pernah saat ujian naik kelas mereka tidak bisa datang ke sekolah akibat sungai yang meluap,” ujarnya. []