Kisah Tarmizi, Perawat Harta Warisan Aceh

Konten Media Partner
3 April 2021 9:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kegiatan merawat naskah kuno harta warisan Aceh di rumah Tarmizi. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan merawat naskah kuno harta warisan Aceh di rumah Tarmizi. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Ruang tamu rumah Tarmizi Abdul Hamid (56 tahun) bak pustaka yang sedang ramai pengunjung, pada akhir Maret 2021 lalu. Buku-buku tua berupa naskah kuno sebagai harta warisan masa silam bertumpukan di meja, lantai dan sofa. Di sekelilingya, para ahli dari Tim Pelestarian Pusat Preservasi Naskah Kuno dan Alih Media Perpustakaan Nasional Indonesia sedang bekerja.
ADVERTISEMENT
Mereka memperbaiki naskah-naskah kuno yang rusak untuk melestarikannya. Sebagian dialih-mediakan, hampir sepekan mereka bergelut dengan materi berharga di rumah itu, yang difungsikan sebagai kantor Rumoh Manuskrib Aceh di kawasan Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh.
Lalu bagaimana naskah-naskah itu ada di rumah Tarmizi atau kerap disapa Cek Midi?
Berawal dari 1995, Tarmizi mengaku punya hobby aneh, memburu dan mengoleksi manuskrip. Padahal kala itu, kegemaran itu tak berhubungan dengan pekerjaannya sebagai pegawai di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh.
Tarmizi Abdul Hamid. Foto: Suparta/acehkini
Saat itu, dia mendapat tugas ke Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia dari kantornya. Di sana, mengisi waktu luang, Tarmizi mengunjungi museum. Di tempat itu, Cek Midi menyaksikan banyak sekali naskah kuno yang berasal dari Aceh. Dia penasaran, kenapa di Aceh sulit ditemui usaha untuk menyelamatkan naskah atau masyarakat sendiri menjual manuskrip lama itu ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Sekembalinya ke Aceh, mulailah dia berburu naskah kuno. Impiannya hanya mengumpulkan naskah agar bisa tetap berada di Aceh, tak dibawa ke luar. “Ini demi pendidikan bagi generasi ke depan,” ujarnya.
Manuskrip pertama yang dia peroleh yaitu Sir al Salikin, karangan Syeikh Abdul Samad Palembani. Kitab ini diperoleh dari seorang warga di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, pada pertengahan 1995. Ia juga berburu hingga ke Riau.
Usahanya memburu naskah seorang diri. Berbagai cara digunakan untuk memperoleh literatur kuno yang sarat dengan ilmu pengetahuan itu. Kadangkala, ia menukar naskah dengan Alquran cetakan masa kini. Di lain waktu, ia melakukan barter: naskah ditukar dengan beras atau padi. “Kalau diminta beli dalam harga tinggi, saya juga tak punya dana.”
ADVERTISEMENT
Tak sedikit uang yang dikeluarkan Tarmizi, dia ingat persis berapa jumlahnya. Beberapa petak sawah ludes. Tapi keluarnya mendukung usahanya. “Istri dan anak saya selalu memberi semangat, mereka mendukung. Kadang gaji istri saya juga disumbangkan untuk mencari naskah,” ujarnya.
Karena Aceh dulu pusat peradaban islam di Nusantara, Tarmizi memperkirakan banyak sekali naskah yang ada di masyarakat yang harus segera diselamatkan. Kalau tidak, bisa saja naskah itu dijual ke luar Aceh. Tarmizi tak kuasa dengan sekadar abakadabra, butuh dana yang besar.
“Saya berharap ada donatur yang kuat untuk membeli naskah-naskah itu. Kalau ada uang, naskah yang diluar pun bisa dibawa pulang. Saya ingin museum naskah ada di Aceh,” sambungnya.
Tarmizi hanya menyimpan naskah-naskah itu di rumahnya, di lemari dan di kamar. Kadang terongok di ruang tamu saat dia dan kawannya sedang mempelajari naskah-naskah. Tarmizi merawat manuskrip itu dengan cara menaburinya dengan kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkeh. Biar jauh dari rayap.
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 2008, sebuah lembaga swadaya masyarakat bekerja sama dengan Pemerintah Jepang, datang ke tempat Tarmizi. Dia mendapat bantuan untuk restorasi naskah yang rusak dan dimakan rayab. Kertas restorasi itu harganya mahal.
Saat itulah, dia mendapat wejangan dari Prof Arai, ahli kertas Jepang yang mengatakan kertas-kertas naskah kuno tersebut sesuai dengan kondisi suhu di Aceh dan dapat disimpan berabad-abad. “Artinya tidak terlalu butuh sebuah ruangan yang dijaga suhunya,” kata Tarmizi.
“Saya akan terus berusaha mengumpulkan naskah-naskah untuk bisa diwariskan dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Bukan bangga soal kejayaan lama, tapi untuk ilmu pengetahuan,” kata Tarmizi pada akhirnya.
Naskah kuno milih Tarmizi. Foto: Suparta/acehkini

Naskah Berisi Ilmu Pengetahuan

Tarmizi mengaku saat ini punya sekitar 158 naskah kuno. Kitab-kitab itu berisi ragam materi, seperti; ilmu pengetahuan, soal tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum fiqh Islam, termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq. Juga ilmu pengobatan dan hikayat-hikayat.
ADVERTISEMENT
Manuskrip itu beraksara Arab-Jawi, umumnya memakai bahasa melayu, sedikit saja yang ditulis dalam bahasa Aceh. Oleh karenanya, Tarmizi punya impian mengalihaksarakan naskah itu ke bahasa Indonesia, agar bisa dibaca semua kalangan saat ini. Alih aksara, sebagian kecil telah dilakukan dengan bantuan rekan-rekannya.
Impian Tarmizi lainnya, ingin mempunyai ruangan layak di rumahnya, untuk menyimpan naskah-naskah itu bertahan lama sebagai kekayaan Aceh, hingga berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan. []