Kisah Tragedi Idi Cut, Aceh: Petaka Usai Dakwah Agama (1)

Konten Media Partner
6 Februari 2020 9:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Aksi mengenang 21 tahun Tragedi Arakundo, di Simpang Lima, Banda Aceh, 3 Februari 2020. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Aksi mengenang 21 tahun Tragedi Arakundo, di Simpang Lima, Banda Aceh, 3 Februari 2020. Foto: Suparta/acehkini
Ali Raban (47 tahun) masih ingat betul tragedi yang menumpahkan darah puluhan warga di Idi Cut, Aceh Timur, pada 21 tahun silam. Selama sepekan setelah kasus itu terjadi, 3 Februari 1999, jurnalis senior di Aceh itu, ikut serta merekam proses pencarian mayat korban yang dibuang ke Krueng (Sungai) Arakundo. Peristiwa ini juga disebut sebagai Tragedi Arakundo.
ADVERTISEMENT
“Saya ikut serta mengabadikan proses pencarian mayat oleh ribuan warga di Krueng Arakundo, merekam tangis dan kesedihan warga tentang keluarganya yang meninggal,” kata Ali kepada saya, Rabu (5/2/2020).
Saat itu, peristiwa penembakan brutal oleh aparat keamanan terhadap kerumunan warga sepulang menghadiri dakwah agama, yang terjadi pada Rabu dini hari (3/2/1999) itu, langsung membuat heboh. Beberapa jurnalis yang berdomisili di Lhokseumawe dan Banda Aceh terjun ke lokasi. Pencarian mayat berlangsung mulai Rabu pagi, sampai seminggu kemudian. “Mayat banyak didapat setelah penyelam dari PT Arun dilibatkan dalam pencarian,” katanya.
“Peristiwa itu masih menghantui saya hingga kini, melihat mayat-mayat yang ditemukan di sungai dalam dan berarus deras itu. Saya masih ingat komandan aparat yang bertugas di sana saat kejadian,” sambung Ali, sambil menyebut sebuah nama.
ADVERTISEMENT
Tepat 21 tahun tragedi Idi Cut, pada 3 Februari 2020, aktivis dan mahasiswa Aceh mengatasnamakan dirinya Daulat Rakyat Aceh untuk Arakundo (#DarahArakundo) menggelar aksi di empat kota, Banda Aceh, Lhokseumawe, Padang, dan Yokyakarta guna mengingatkan kembali dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Tragedi Arakundo adalah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM Indonesia, khususnya di Aceh, yang masih terbengkalai,” kata Mardhatillah, koordinator aksi di Banda Aceh.
Mardhatillah menyebutkan, sudah 21 tahun Tragedi Idi Cut berlalu begitu saja, menjadi sejarah kelam berdarah yang sampai saat ini terus menggenangi sungai Arakundo. Belum ada proses pengungkapan dan pengusutan para pelakunya hingga kini.
Bagaimana tragedi itu sebenarnya terjadi?
Cover buku fakta bicara: Akmal Van Roem/Dok. Koalisi NGO HAM Aceh

Kesaksian Pertama

Tragedi itu terjadi di Simpang Kuala, Kecamatan Idi Cut, Kabupaten Aceh Timur, Rabu dini hari, 3 Februari 1999, persis di depan Markas Komandan Rayon Militer (Koramil) dan Kantor Polisi Sektor (Polsek) setempat.
ADVERTISEMENT
Selasa, 2 Februari 1999, warga Desa Matang Ulim, Idi Cut, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur, bergotong royong untuk menyiapkan pentas kegiatan, sebuah dakwah agama akan digelar di lapangan Idi Cut. Sekitar pukul 16.00 WIB datang beberapa tentara dengan membawa senjata laras panjang, mereka diperkirakan oleh para penduduk sebagai anggota di Koramil setempat.
Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik pentas yang sedang dikerjakan serta menganiaya beberapa orang yang pada saat itu berdiri di sekitar tempat pembuatan pentas. Nama-nama korban pemukulan adalah Rusli, Zakaria, Bahrum, Muhammad balia, Jasmin, Martunis, Syukri, Usman, Saiful, Mukhlis, dan M. Nasir. Mereka semuanya berumur antara 16 sampai 27 tahun.
Tidak lama setelah itu, masyarakat kembali bergotong royong melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda. Sebelum acara dimulai pada pukul 20.30. WIB, massa sudah berkumpul sejak sore harinya serta membanjiri lapangan Simpang Kuala, Idi Cut, sampai ke sisi jalan Medan - Banda Aceh. Massa yang hadir pada saat dakwah tersebut diperkirakan sekitar 5.000 orang dari berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Setelah acara selesai pukul 00.30 WIB dini hari, massa kemudian bubar dan sempat tertahan lama di simpang jalan Kuala Idi Cut karena banyaknya kendaraan yang akan keluar dan jalan tersebut.
Sekitar pukul 00.45 WIB, masyarakat yang mendengar ceramah pulang ke rumah masing-masing, sebagian berjalan kaki, menggunakan sepeda motor, dan sebagian lagi menggunakan mobil bak terbuka. Mereka melewati kantor Koramil Idi Cut. Suasana gelap, tidak ada satu lampu pun yang menyala. Pada saat itu massa menjadi kacau karena banyak kendaraan yang diberhentikan oleh aparat negara.
Pukul 01.00 WIB dini hari, terdengar suara tembakan dari arah Barat kantor Koramil, sudah ada beberapa truk aparat di sana. Menurut korban, ada tiga atau empat truk. Setelah suara letusan pertama, dilanjutkan dengan penembakan ke arah massa yang ramai.
ADVERTISEMENT
Seorang saksi mata, Husaini, mengisahkan secara kebetulan pada saat penembakan brutal itu terjadi baru kembali dari Kota Langsa dengan sedan merah miliknya. Dia dihentikan beberapa meter setelah lewat di depan kantor Koramil. Malam itu, dia bersama istrinya, Cut. Mobilnya terpaksa berhenti karena diadang oleh truk dari arah berlawanan.
Ada tiga truk militer mengadang dari arah berlawanan. Di depan mobilnya juga ada truk umum bermuatan tong-tong fiber glass, biasa digunakan untuk mengangkut ikan atau udang. Ban mobil tersebut kempes karena ditembaki. Di depan truk, satu mobil pikap Chevrolet dipenuhi warga yang baru pulang dari ceramah agama. Menurut Husaini, pikap itulah mobil yang pertama sekali diadang. Karena ia tidak melihat ada mobil lain di depan Chevrolet tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari mobil Chevrolet itulah, ia melihat orang-orang berhamburan meloncat ke jalan. Keadaan cukup panik saat itu. Husaini mendengar suara tembakan, kemudian jelas ia mendengar suara-suara teriakan kesakitan.
Dia dan istrinya keluar dari mobil dan tiarap. Karena panik, ia tidak sempat menutup pintu dan lampu mobilnya masih menyala. Tentara marah karena adanya penerangan dari mobil Husaini. Tentara hendak menghancurkan kaca mobilnya.
Tiba-tiba Husaini berdiri dan mengatakan pada tentara itu bahwa ia keluarga tentara dan tinggal di asrama tentara. Anaknya juga seorang tentara. “Enak saja kamu. Anak saya saja yang melatih kamu tidak sekejam itu,” bentak Husaini.
Mendengar suaranya yang membentak keras, tentara lain menghampiri dan bertanya siapa Husaini dan anaknya. Kemudian Husaini mengatakan nama anaknya, pangkat dan tempat tugasnya. Mendengar itu, mereka menjadi lunak dan menyuruh Husaini dan istri untuk tiarap. Ia juga sempat menanyakan mereka berasal dari kesatuan mana. Tentara tersebut menjawab “cepek”. Karena itu Husaini tahu, mereka berasal dari Linud 100.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu orang-orang ditembaki. Setelah rubuh, dicampakkan ke dalam truk tentara. Husaini juga mendengar perkataan dan aparat yang melakukan penembakan. “Kamu yang membunuh tentara, habis semua. Kamu potong leher. Kamu campak ke sungai.”
Sebanyak 58 korban yang telah tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat. Baik yang sudah tewas maupun yang sekadar luka-luka. Tapi ada beberapa korban yang terluka tidak terangkut, karena bersembunyi di selokan-selokan samping jalan.
Pukul 03.00 WIB truk aparat yang di dalamnya terdapat korban-korban penembakan, bergerak menuju jembatan Arakundo. Di markas Koramil tampak beberapa truk lain yang masih kosong.
Pencarian mayat di Krueng Arakundo. Dok. Koalisi NGO HAM Aceh
Sebelum dicampakkan ke dalam truk dan kemudian diangkut untuk dibuang ke sungai, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di seluruh tubuhnya. Dimasukkan ke dalam goni milik masing-masing aparat yang bertuliskan nama pelakunya.
ADVERTISEMENT
Goni-goni yang telah berisi korban itu kemudian diberi batu pemberat, dan terakhir dilemparkan ke Krueng Arakundo. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan temuan mayat-mayat korban dalam pencarian 7 hari setelah insiden berdarah itu. [bersambung]