Mengenal Batoq, Makanan dari Sagu di Simuelue Kala Ekonomi Sulit

Konten Media Partner
18 Juli 2021 10:43 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Simeulu sedang membuat batoq, makanan dari sagu. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Warga Simeulu sedang membuat batoq, makanan dari sagu. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
ADVERTISEMENT
Sagu bukanlah makanan pokok warga di wilayah Aceh, seperti layaknya di kawasan pesisir Maluku dan Papua. Tapi, banyak kuliner berbahan sagu menjadi penganan enak disantap. Di Kabupaten Simeulue, sagu punya kisah lain sebagai pengganti nasi kala masa sulit.
ADVERTISEMENT
Simeuleu adalah wilayah kepulauan yang berbatas langsung Samudera Hindia, dikenal dengan keindahan alam dan spot untuk para penakluk ombak alias pencinta surfing. Kawasan itu banyak ditumbuhi rumbia atau pohon sagu.
Saat ini, warga memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan bahkan menjadi oleh-oleh bagi pengunjung. Dikenal dengan nama batoq. “Dibuat dengan bahan sagu yang dikeringkan, dicampur kelapa lalu digongseng,” kata Ahmadi (47 tahun), seorang warga Simeulue, Minggu (18/7/2021).
Kata Ahmadi, batoq kerap dimakan dengan ikan panggang. “Di masa sulit, ini menjadi makanan pokok,” jelasnya.
Ahmadi ingat semasa kecil, saat masih di Sekolah Dasar. Ketika ekonomi keluarganya sulit, batoq kerap menjadi makanan sarapan pagi dan bekal pengganti jajan. “Dulu yang sering dibuat mamak batoq tabbaha (mirip martabak), jadi pengganti jajan, sebab gak ada duit jajan,” kenangnya.
Pesona ombak di Simeulue, Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Sagu sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh warga Simeulue, pernah berlaku kala penjajahan Belanda dan Jepang. Kala itu ekonomi warga sulit, warga tak sempat menanam padi, dan warga sibuk berperang. Sementara pasokan beras dari daratan juga susah ke wilayah yang terpencil di masa itu.
ADVERTISEMENT
Batoq kemudian menjadi andalan warga, juga ubi kayu, dikarenakan pohon itu tak perlu ditanam dan dirawat, tumbuh liar di hampir seluruh rawa-rawa dan dekat pantai.
“Sekarang, batoq masih terus dibuat warga sebagai oleh-oleh bagi pengunjung atau kue penganan, berupa lapek batoq, tabbaha (mirip martabak). Mungkin kalau ekonomi semakin sulit di tengah pandemi COVID-19 atau beras sulit didapat, akan menjadi makanan pokok lagi,” kata Ahmadi.
Batoq sempat menjadi makanan pokok warga Simeulue saat ekonomi sulit. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
Soal sagu sebagai makanan pokok warga Simeulue kala penjajahan Belanda dan Jepang, pernah dikisahkan Nek Rukiah kepada saya saat menjumpainya pada Maret 2013 silam. Dia adalah saksi hidup peristiwa bencana tsunami pada 4 Januari 1907 yang melanda Simeulue.
Dalam bahasa Simeulue, tsunami disebut Smong. Peristiwa itu kemudian melahirkan sebuah kearifan lokal tentang mitigasi bencana tsunami di sana, yang masih dijalani warga hingga kini.
ADVERTISEMENT
Baca artikel berikut:
Saat bertemu Nek Rukiah, beliau masih sanggup mengingat merananya kehidupan warga Simeulue di bawah kekuasaan Belanda dan Jepang. “Saat itu kami masih makan sagu,” ujarnya. []