MoU Helsinki: Ketika Delegasi GAM Diminta Meninggalkan Ruang Pertemuan

Konten Media Partner
15 Agustus 2021 14:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemimpin delegasi RI, Hamid Awaluddin (kiri), Pimpinan CMI Martti Ahtisaari (tengah) dan Pimpinan delegasi GAM, Tgk Malik Mahmud usai penandatanganan kesepakatan damai Aceh di Helsinki, Finlandia. Foto: Dok. CMI
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin delegasi RI, Hamid Awaluddin (kiri), Pimpinan CMI Martti Ahtisaari (tengah) dan Pimpinan delegasi GAM, Tgk Malik Mahmud usai penandatanganan kesepakatan damai Aceh di Helsinki, Finlandia. Foto: Dok. CMI
ADVERTISEMENT
Hari ini, 16 tahun lalu, sebuah sejarah tercipta di kota dingin Helsinki, Finlandia. Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani MoU Helsinki, sebuah kesepakatan damai yang mengakhiri konflik bersenjata lebih 30 tahun di Aceh. Sejak 15 Agustus 2005, perdamaian resmi hadir di bumi Serambi Mekkah yang dirundung malang.
ADVERTISEMENT
Seperti kita tahu, MoU Helsinki tidak dicapai dengan mudah. Delegasi Pemerintah Indonesia yang dipimpin Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM saat itu) dan GAM yang diketuai Malik Mahmud, Perdana Menteri, mesti berunding hingga lima putaran untuk mencapai kata sepakat. Perbedaan pandangan dalam melihat solusi penyelesaian konflik Aceh, membuat perundingan berjalan alot dan panas.
Sejumlah isu krusial seperti self government, bendera dan lambang, dan partai lokal, nyaris membuat perundingan gagal. Namun, sikap dewasa dan kebijaksanaan kedua belah pihak yang ingin mengakhiri penderitaan rakyat Aceh usai dihantam gempa dan tsunami, mampu meredam perbedaan yang ada. Ketegasan dan kewibawaan Martti Ahtisaari, fasilitator perundingan, turut mempercepat kesepakatan damai dicapai.
Seremonial upacara penyerahan senjata GAM terakhir ke Tim AMM, 21 Desember 2005. Foto: Adi Warsidi
Tidak mudah mencairkan suasana batin para perunding dari kedua belah pihak, terutama setelah apa yang terjadi lebih setahun sebelumnya ketika Tokyo Meeting gagal dan berujung pada penerapan Darurat Militer (DM) di Aceh. Gerilyawan GAM diburu di mana-mana. Kepercayaan para perunding GAM kepada delegasi RI juga belum sepenuhnya pulih, setelah sejumlah juru runding GAM ditangkap ketika Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) bubar. Ada rasa canggung ketika akhirnya kedua belah bertemu kembali di meja perundingan.
ADVERTISEMENT
Mantan Presiden Martti Ahtisaari sebagai fasilitator perundingan sadar dengan kondisi tersebut. Makanya, ketika mengumpulkan para delegasi RI dan GAM di Helsinki, ia mengajukan tiga pertanyaan. Pertama, apakah pihak RI menjamin orang-orang GAM tidak akan diperlakukan semena-mena? Ia mewanti-wanti agar kejadian seperti CoHA tidak terulang di mana para perunding GAM ditangkap.
Kedua, siapa gerangan yang berhak mengawasi janji dan komitmen yang Anda tawarkan telah dilaksanakan atau tidak? Dan, ketiga, bagaimana Anda mengatur pengintegrasian orang-orang GAM ke dalam sistem politik Indonesia? Pertanyaan dari Martti Ahtisaari ini dapat ditemui dalam buku Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki yang ditulis oleh Hamid Awaluddin.
Dari pertanyaan Martti ini dapat dipahami ke mana arah perundingan Helsinki akan bermuara. Sangat kecil peluang GAM membawa wacana Aceh merdeka dan referendum ke meja perundingan. Penyelesaian Aceh dalam bayangan mantan presiden Finlandia itu tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan otonomi khusus adalah titik awal pembicaraan. Konon, hal ini sudah dikunci oleh Martti dalam undangan yang dikirim kepada kedua delegasi, RI dan GAM.
ADVERTISEMENT
GAM Masih Wacanakan Isu Merdeka
Sebelum MoU Helsinki diteken pada 15 Agustus 2005, GAM masih berharap Aceh diberikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi penyelesaian konflik Aceh secara permanen. Solusi tersebut tentu saja bertolak belakang dengan tawaran yang dibawa oleh delegasi Indonesia. Tawaran itu tidak pernah berubah dari yang pernah ditawarkan dalam Tokyo Meeting pada 30 April 2003 yang berakhir gagal.
Tragedi dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004, menjadi alasan bagi delegasi GAM membawa isu merdeka ke meja perundingan. Musibah tersebut memberi peluang bagi internasionalisasi isu Aceh dan kesempatan Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Setidaknya hal inilah yang terus disuarakan oleh delegasi GAM dalam perundingan putaran pertama pada 28 Januari 2005.
Lukisan Fariz Albar tentang kisah konflik dalam pameran di Museum Tsunami Aceh, 5 Agustus 2019.
Hanya saja, dalam sesi awal pertemuan, pembicaraan para pihak pihak lebih banyak berisi renungan mengenai tragedi gempa dan tsunami, jumlah korban, bantuan kemanusian dan penghentian kontak senjata (cease fire). Isu kemanusiaan lebih mendominasi sebagai bahan pembicaraan.
ADVERTISEMENT
Lalu, menjelang sesi pertama berakhir, Martti Ahtisaari yang sudah tidak sabar mulai buka suara. “Saya mendengar dan mengikuti dialog Anda dari tadi. Belum ada yang mengangkat agenda otonomi khusus,” kata Ketua Crisis Management Initiative (CMI) ini. Setelah rehat, Martti meminta para delegasi untuk bersiap membicarakan agenda otonomi khusus.
Penyelesaian Aceh dalam kerangka otonomi khusus ini yang ditentang oleh GAM. Menurut GAM, isu gencatan senjata jauh lebih penting dibicarakan lebih dulu agar distribusi bantuan untuk para korban gempa dan tsunami tidak terganggu dengan kontak senjata. Kekhawatiran pihak GAM ini langsung dipotong oleh Martti. “Anda ke sini untuk berdiskusi agenda besar. Bukan hanya soal bantuan kemanusiaan,” katanya.
Kegeraman Martti kemudian disambut oleh Hamid Awaluddin, ketua delegasi RI. “Kami sudah siap bicara tentang otonomi khusus dari tadi. Namun, GAM masih berputar soal gencatan senjata,” kata orang dekat Jusuf Kalla ini. Merasa mendapat angin segar, para anggota delegasi RI pun kemudian satu persatu mengangkat isu otonomi khusus sebagai agenda pembicaraan, sesuatu yang ditolak secara tegas oleh perwakilan GAM.
ADVERTISEMENT
“Soal otonomi khusus, sudah ada di sana sejak 40 tahun silam. Apa yang baru dari Pemerintah Indonesia?” tanya Nur Djuli, anggota perunding dari GAM.
Momen Martti Ahtisaari Usir Delegasi GAM
Saat memasuki sesi ketiga, perundingan semakin alot dan panas. Delegasi RI terus saja memaksa GAM untuk menerima otonomi khusus, begitu juga dengan Martti. Malah, mantan presiden Finlandia ini mengaku tidak memiliki cukup waktu untuk membicarakan semua hal. Ia mau agar soal otonomi khusus didiskusikan secara serius dan menjadi perhatian utama para pihak. “Saya hanya tidak punya waktu sepanjang tahun 2005 ini untuk membicarakan semua,” jelasnya.
Pihak GAM merasa sudah digiring untuk menerima jerat otonomi khusus, tentu tidak memiliki pilihan lain, selain menolaknya dengan halus. “Saya telah mendengar Anda (Martti Ahtisaari) dan pihak pemerintah Indonesia. Apakah kami ditawari otonomi khusus dari pemerintah Indonesia?” tanya Malik Mahmud, Perdana Menteri GAM.
ADVERTISEMENT
Hal itu dijawab secara halus oleh Martti. Katanya, konteksnya tidaklah demikian. “Ini hanya semacam kerangka untuk mencari solusi. Saya sama sekali tidak meminta Anda untuk menandatangani apapun juga. Ini hanya titik untuk memulai percakapan,” jelasnya panjang lebar seperti dikutip Hamid Awaluddin dalam bukunya, Damai di Aceh.
Anggota tim pemantau damai Aceh (baju putih) berbaur bersama warga di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 15 Agustus 2005. Dok. Adi Warsidi
Malik Mahmud tidak punya pilihan lain, kecuali mengatakan apa adanya. Bahwa rakyat Aceh mesti didengarkan suaranya. “Kami hanya mau katakan, biarkanlah rakyat sendiri yang menentukan nasib dan masa depannya. Kita tanya rakyatlah. Ini namanya demokrasi,” kata ketua delegasi GAM ini.
Di sinilah ketegasan Martti sebagai fasilitator perundingan diuji. Apakah ia tetap berpaku pada agenda awal pembicaraan seperti disampaikan dalam undangan kepada kedua delegasi, atau mendengar aspirasi dari GAM yang tentu saja bertentangan dengan tawaran pemerintah. Ia teguh memilih agenda awal dan secara tegas menolak permintaan GAM.
ADVERTISEMENT
“Jika Anda tetap tidak mau melupakan ide dan pembicaraan tentang kemerdekaan, lebih baik Anda meninggalkan tempat dan pertemuan ini,” katanya. Ia kemudian melanjutkan, “pokoknya tidak ada pembicaraan tentang kemerdekaan. Saya hanya mau berbicara dengan Anda semua dalam kerangka otonomi khusus.”
Tidak cuma sekali Martti meminta delegasi GAM untuk keluar dari ruang pertemuan. Permintaan itu ia ulangi kembali setelah Nur Djuli memperkuat argumen Malik Mahmud soal meminta pendapat rakyat Aceh. Katanya, “kami ini orang biasa dan rakyat. Kenapa kita tidak tanya rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri?”
Hal ini dijawab Martti secara lebih tegas dan jelas. “Jika Anda tak punya sesuatu untuk dibicarakan seperti tawaran pemerintah, sekali lagi, lebih baik Anda meninggalkan ruangan ini,” tegasnya. Ia pun mengungkapkan, bahwa dia bergembira jika delegasi GAM meninggalkan ruangan dan tidak pernah balik lagi. Martti menyebutkan bahwa memfasilitasi perundingan dengan pembicaraan yang bertele-tele itu hanya buang-buang waktu saja.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian meminta anggota dari CMI, Mary, untuk segera membuka pintu ruangan, agar para delegasi GAM meninggalkan tempat pertemuan. Tidak ada di antara delegasi GAM yang beranjak dari tempat duduk dan bersiap-siap keluar. Boleh jadi mereka kaget dan takut dengan ancaman mantan presiden Finlandia, itu.
Ketika meminta delegasi GAM untuk keluar ruangan, Martti memperlihatkan ketegasan dan pengaruhnya di dunia. Bahwa selama hidupnya, ia akan menggunakan pengaruhnya untuk menjegal keinginan GAM memerdekakan Aceh. “Ingat, sebelum Anda meninggalkan ruangan ini, saya ingin mengatakan bahwa mimpi Anda untuk merdeka tidak akan pernah kesampaian. Paling tidak, selama saya masih hidup atau Anda masih hidup. Saya akan menggunakan semua pengaruh saya agar Anda tidak dapatkan dukungan apapun di dunia internasional,” katanya panjang lebar.
ADVERTISEMENT
Kedua delegasi terdiam. Mantan presiden karismatik itu sudah bertitah, dan mesti didengarkan. Sejak itu, selama perundingan, delegasi GAM tidak pernah lagi menyinggung soal merdeka dan referendum. Hal ini memuluskan jalan pemerintah memaksakan agenda otonomi khusus, seperti yang kini berlaku di Aceh. []
Artikel berkaitan lainnya dapat dibaca di topik Kilas Balik Konflik Aceh