Reinkarnasi Damai Aceh

Konten Media Partner
15 Agustus 2019 20:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Opini

Tugu Rumoh Geudong, saat diresmikan 12 Juli 2018 .
zoom-in-whitePerbesar
Tugu Rumoh Geudong, saat diresmikan 12 Juli 2018 .
ADVERTISEMENT
Pak Hakim (nama samaran), korban Tragedi Rumoh Geudong, memberikan komentarnya kepada saya tentang damai, dalam lawatan silaturrahim kami ke Kecamatan Tiro, Pidie, dua bulan lalu. “Saya gak tahu apa itu damai. Orang-orang bilang damai tapi bagi saya ini (perang), berhenti sebab musibah (tsunami). Kita gak pernah selesai (perang), makanya perang Aceh selalu berulang,” katanya saat itu.
ADVERTISEMENT
Rumoh Geudong adalah sebuah rumah warga di Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, pernah menjadi kamp TNI saat Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Setelah DOM dicabut, 7 Agustus 1998, terungkap fakta bahwa tentara juga menjadikan lokasi tersebut untuk melakukan tindakan pelangaran, seperti penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, terhadap warga atau yang diduga terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pak Hakim, bersama beberapa tetangga bercerita tentang masa-masa sulit yang dihadapi saat Aceh berstatus Daerah Operasi Militer. Kami berbincang di ruang tengah rumah beliau, sampai dini hari. Kisahnya panjang.
Kisah lain, juga diceritakan Kartini, seorang ibu yang kehilangan anak lelakinya yang masih belia, dibawa tentara saat konflik. Anaknya sampai kini, tak kembali. Kemanapun yang dikata orang ia datangi. Ke Rancong, Rumoh Geudong hingga ke kompi-kompi.
ADVERTISEMENT
Hari ini Kartini, justru menghidupi dirinya yang renta dengan mencuci baju hijau loreng. Warna baju yang sama dengan orang yang membawa anaknya pergi tak kembali. Ia dibayar Rp 3.000 per potongnya.
Bukankah hidup jadi sedemikian amat lucu? Apa yang sebenarnya ada di benak Kartini saat menyikat pakaian-pakaian tersebut? Atau jangan-jangan kepedihan dan tuntutan hidup membuatnya tidak tahu lagi, bagaimana hendak merasakan kesakitan akan kehilangan.
Hari ini, menggenapi 14 tahun damai Aceh sejak penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki pada 15 Agustus 2005, setara dengan 5.040 hari telah berlalu sejak gegap gempita damai Aceh dikumandangkan.
Terbayang saya sebuah judul novel terkenal yang ditulis oleh Eka Kurniawan pada tahun 2014. “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”. Jika setiap dendam dan rindu harus terbayar lunas, akan jadi apa Aceh hari ini? Bukan akan jadi apa Indonesia hari ini?
ADVERTISEMENT
Barangkali negeri ini akan menjadi lautan darah. Tiba-tiba terkenang pada kalimat Pak Hakim di atas. Saya jadi berpikir, apakah benar seperti yang disampaikan oleh beliau. Bahwa, tak ada yang benar-benar usai.
Damai seperti apa?
Selama 14 tahun ini kita terus membincangnya di ruang-ruang berbatas dinding tentang apa dan bagaimana cara memaknai damai lalu bertanya sampai kapan ia akan bertahan? Saban tahun damai Aceh bereinkarnasi dalam berbagai wujud mulai dari seremoni, kegiatan paruh waktu dan diskusi.
Lalu menyebut-nyebut butir MoU Helsinki dalam presentasi dimana rekomendasi-rekomendasi kegiatannya sering menjadi rencana tidak lanjut. Butir-butir MoU yang sudah diturunkan dalam kebijakan yang mengatur kekhususan Aceh belum seluruhnya diimplementasikan dan menyata dalam realitas kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Apa maknanya bagi korban pelanggaran HAM? Bukankah damai harusnya hadir dan dapat dimaknai langsung tanpa sekat, dan pengertian-pengertian yang sulit. Bukankah yang diperjuangkan sejak awal adalah kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat? Damai itu pada hati yang tenang tanpa gundah memikirkan masa depan. Tanpa pertanyaan dimana suami dan anak hilang tak tentu rimba.
Damai itu pada perut janda, serta anak yatim korban konflik, pada sekolah yang terhenti, pada pemulihan jiwa yang meronta. Pada mimpi mereka yang tak sempurna itu, mestinya Pemerintah Aceh dan Indonesia bisa hadir bukan sebatas program apalagi wacana.
Tentu saja berkah damai menjangkau kita dengan kehidupan yang tak terbayangkan saat kontak bersenjata. Kini anak-anak dapat bersekolah, kita bebas berkreasi dan minum kopi hingga pagi. Pada sebahagian orang, damai bereinkarnasi menjadi jabatan, rumah menjulang dan kehidupan yang gemilang. Lalu damai seperti apa yang bisa diangankan oleh korban pelanggaran HAM di sudut gampong sana. []
Azharul Husna
Penulis: Azharul Husna (Staf KontraS Aceh)
ADVERTISEMENT