Rokok, Pandemi COVID-19 dan Orang Miskin Baru

Konten Media Partner
31 Mei 2020 10:00 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Opini

Ilustrasi rokok. Foto: REUTERS/Eric Gaillard
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rokok. Foto: REUTERS/Eric Gaillard
ADVERTISEMENT
Tanggal 31 Mei adalah “Hari Tanpa Tembakau Dunia” (World No Tobacco Day - WNTD), yang dicanangkan sejak tahun 1987 oleh negara-negara anggota World Health Organization (WHO) atau organisasi kesehatan dunia. Pencanangan ini berawal dari keprihatinan akan bahaya merokok sebagai salah satu kontributor utama penyebab berbagai penyakit seperti kanker paru-paru, jantung, infeksi saluran pernafasan dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Bahaya ini tidak hanya merugikan si perokok sendiri. Merokok juga berdampak pada orang di sekitarnya, yang kita kenal dengan sebutan “perokok pasif” (second-hand smokers). Kemajuan ilmu pengetahuan melalui berbagai penelitian kemudian menunjukkan, ternyata dampak yang dibawa perokok tak hanya terbatas pada perokok pasif. Perokok bahkan menciptakan rantai korban lain yang disebut dengan “perokok ketiga” (third-hand smokers) melalui nikotin yang tertinggal pada baju, rambut dan benda-benda lain yang disentuhnya.
Hari Tanpa Tembakau Dunia merupakan salah satu langkah WHO untuk meningkatkan perhatian dan keprihatinan terhadap bahaya merokok. Melalui peringatan hari ini, diharapkan adanya gerakan tidak merokok selama 24 jam di seluruh dunia. Bayangkan memperingati hari seperti ini di Provinsi Aceh, negeri syariah yang juga adalah surganya para perokok! Tentu, kilah seputar belum adanya fatwa ulama yang secara tegas mengharamkan merokok dan tidak pula ada qanun yang melarangnya, menjadi justifikasi bagi para perokok untuk tidak berhenti merokok.
ADVERTISEMENT
Lantas dengan persepsi dan perilaku para perokok yang demikian, apa yang menarik untuk dicermati saat menyambut peringatan Hari Tanpa Tembakau Dunia tahun 2020 di Propinsi Aceh? Tentu saja karena tahun ini kita memperingatinya di tengah suasana pandemi global yang disebabkan oleh virus COVID-19. Virus ini telah menyebar begitu cepat, dan sudah menghilangkan 362,555 nyawa dalam kurun waktu yang terhitung singkat (Worldometer, per tanggal 29 Mei 2020). Lalu apa hubungannya antara pandemi dengan para perokok?
Pemeriksaan rapid test di salah satu warung di Banda Aceh. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Dampak langsung pandemi terhadap perokok dan kesehatan orang di sekitarnya tentu sudah banyak dibahas oleh para pakar kesehatan, baik melalui diskusi webinar, talkshow di televisi, maupun infografis dan berbagai artikel yang dipublikasi melalui berbagai media. Pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Dunia tahun ini, akan lebih menarik untuk melihat bagaimana “membeli rokok di masa pandemi” dapat berkontribusi terhadap percepatan penambahan jumlah orang miskin di Aceh.
ADVERTISEMENT
Pertama, sebagai propinsi termiskin kelima di Indonesia dan termiskin di Sumatera, kebiasaan merokok menjadi isu penting, karena berkaitan langsung dengan penentuan tingkat kesejahteraan dan kesehatan keluarga. Bagaimana kedua hal ini terhubung? Mari kita lihat sejenak data “Rata-rata Pengeluaran per Kapita Sebulan” dari tiap-tiap rumah tangga di Provinsi Aceh. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa mulai dari Maret tahun 2015 sampai dengan tahun 2018, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk belanja rokok meningkat dari 59.698 rupiah menjadi 75.705 rupiah. Mirisnya, pengeluaran untuk rokok tak sekedar hanya meningkat dari sisi jumlah saja. Peningkatan ini juga mengubah komposisi pola konsumsi rumah tangga di Aceh.
Pada tahun 2015, pengeluaran untuk rokok merupakan komponen pengeluaran terbesar ketiga dalam rata-rata pengeluaran per kapita sebulan, dimana di urutan pertama adalah pengeluaran untuk kelompok barang “makanan dan minuman jadi” sebesar 100.564 rupiah, sedangkan di urutan kedua adalah pengeluaran untuk kelompok barang “padi-padian” sebesar 73.883 rupiah. Namun sejak tahun 2017, pengeluaran untuk rokok melesat ke urutan kedua, mengalahkan pengeluaran untuk kelompok barang “padi-padian” yang merupakan bahan pangan utama di Aceh.
ADVERTISEMENT
Jadi dapat disimpulkan, secara umum rumah tangga di Aceh, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk membeli rokok lebih besar dari pada pengeluaran untuk membeli kebutuhan bahan pangan utama bagi seluruh keluarga. Besaran pengeluaran ini ketimpangannya menjadi lebih tinggi jika kita bandingkan jumlah pengeluaran untuk membeli rokok dengan jumlah pengeluaran kelompok barang yang lain.
Misalnya, tahun 2018 rata-rata pengeluaran per kapita sebulan rumah tangga di Aceh untuk membeli rokok adalah 75.705 rupiah, sementara rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk membeli daging adalah 12.199 rupiah, sedangkan untuk telur dan susu sebesar 25.873 rupiah (BPS Aceh, 2019). Bagaimana kondisi kesehatan anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga yang demikian? Apakah kita masih berharap akan terjadi perbaikan prevalensi gizi buruk dan stunting di Aceh dengan pola konsumsi rumah tangga yang demikian? Padahal untuk kedua indikator ini, Aceh juga “juara satu terburuk” se-Sumatera. Perlu diberi catatan juga, bahwa data ini dirilis BPS Aceh sebelum pandemi.
ADVERTISEMENT
Kedua, mari kita kaji hubungan dari pengeluaran untuk membeli rokok dengan data kemiskinan di Aceh. Pada awal tahun 2020, Kepala BPS Aceh menyatakan bahwa per September 2019, jumlah penduduk miskin adalah 810.000 penduduk (15,01 % dari total populasi). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Aceh pada September 2018, terjadi penurunan sebesar 21.000 penduduk (Berita Resmi Statistik, BPS Aceh, 2020). Namun penurunan jumlah penduduk miskin ini tidak boleh membuat kita cepat berlega hati. Kita perlu waspada karena menurut data yang dirilis BPS Aceh, jumlah penduduk miskin di Aceh berfluktuasi sepanjang tahun 2016-2019. Artinya, angka ini cukup rentan untuk naik-turun, karena besarannya ditentukan oleh Garis Kemiskinan (GK), sekaligus kedalaman dan keparahan kemiskinan di gampong kita.
ADVERTISEMENT
Apa itu Garis Kemiskinan (GK) atau batas kemiskinan (poverty threshold)? GK adalah garis batas yang menunjukkan nilai pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan makanan (kebutuhan rata-rata per orang adalah 2100 kalori per hari) dan kebutuhan non-makanan, seperti air minum, listrik, perumahan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan. BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), sehingga kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, GK adalah penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki pengeluaran di bawah GK dikategorikan sebagai penduduk miskin (bps.go.id).
Untuk Propinsi Aceh, komponen utama penentu GK adalah GKM. Sekitar 76 % GK di Aceh kontibutornya adalah pengeluran untuk makanan. GKM diukur dengan menjumlahkan pengeluaran untuk membeli makanan, rokok, ikan, telur, gula pasir, cabe merah dan mie instant. Tidak perlu heran bila ternyata pengeluaran untuk membeli rokok berada di urutan kedua. Mirisnya, membeli rokok jelas bukan komponen belanja yang dikeluarkan untuk kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup segenap anggota keluarga, namun ia berperan sebagai salah satu kontributor utama dalam menentukan Garis Kemiskinan di Aceh.
ADVERTISEMENT
Ketiga, COVID-19 jelas berpengaruh pada segenap sendi kehidupan kita. Pukulan secara ekonomi, utamanya, bisa jadi telah melahirkan (maaf) Orang Miskin Baru (OMB). Mereka yang awalnya berada di atas Garis Kemiskinan, mendadak diseret keadaan dan masuk dalam kelompok OMB. Mengapa demikian? Karena selain tingkat kemiskinannya masih tinggi, kedalaman dan keparahan kemiskinan di Aceh juga tinggi. Kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) maksudnya adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Sementara keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin (sumber: bps.go.id). Dengan kondisi kedalaman kemiskinan yang tinggai di Aceh, jarak antara pengeluaran penduduk kategori tidak miskin tidaklah jauh dari GK. Sehingga sedikit saja terjadi guncangan seperti pandemi, mereka akan "jatuh” di bawah GK. Selain itu, penghasilan yang diperoleh oleh banyak rumah tangga biasanya habis untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jangankan untuk berinventasi, rumah tangga bahkan sering tidak punya sisa penghasilan yang dapat mereka gunakan untuk menabung sebagai dana tak terduga. Ketika dilanda pandemi dan kehilangan kesempatan untuk memperoleh penghasilan, seketika banyak kepala rumah tangga yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Alangkah menyedihkannya, jika dalam situasi seperti ini, komponen belanja rokok tetap ada dalam pola konsumsi rumah tannga di gampong (desa) kita.
ADVERTISEMENT
Mempertimbangkan ketiga hal di atas, tentunya pemikiran “boleh miskin, asal merokok” sangatlah tidak bijaksana. Justru saat ini adalah kesempatan para perokok menjadi The Avengers, pahlawan bagi keluarganya. Jika COVID-19 adalah Endgame, maka membeli rokok pada masa pandemi adalah Thanos. Semoga cinta pada keluarga akan mengalahkan Thanos. Semoga hari ini, bumi syariah tempat syahidnya banyak syuhada ini dapat merayakan Hari Tanpa Tembakau dengan khidmat, tanpa asap rokok. Ayo, kita bisa!
Dian Rubianty. Dok. Baitul Mal Aceh
Penulis: Dian Rubianty, SE, Ak., MPA Fulbright Scholar, Staf Pengajar FISIP UIN Ar-Raniry, email: [email protected]