Serambi Makkah Tanpa Bioskop, Menonton 'Aladdin' sampai ke Medan

Konten Media Partner
21 Juni 2019 17:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Zulyadi dan anaknya, warga Aceh, menonton film Aladdin 2019 di salah satu bioskop di Medan. Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Zulyadi dan anaknya, warga Aceh, menonton film Aladdin 2019 di salah satu bioskop di Medan. Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wabah Film Aladdin, yang mulai diputar di bioskop-bioskop Indonesia sejak akhir Mei 2019, merambah ke Aceh. Para penggemar film genre cinta di provinsi berjuluk Serambi Makkah ini, sibuk membicarakannya. Mereka tak bisa menonton film ini sebab sudah sejak lama tak ada bioskop di Aceh.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menonton Aladdin di provinsi tetangga, Sumatera Utara, telah disiapkan Zulyadi dan keluarganya usai Lebaran. Kebetulan, warga Banda Aceh ini mudik ke kampung halamannya di Kota Langsa yang tak jauh dari Medan, Ibu Kota Sumatera Utara, sekitar 150 kilometer. Sementara jarak Banda Aceh ke Kota Langsa sekitar 450 kilometer.
“Kami memang telah merencanakan jauh-jauh hari, kebetulan istri dan anak saya juga suka nonton, sambil jalan-jalan,” kata Zulyadi kepada acehkini, Jumat (21/6).
Persis hari kelima Idul Fitri 1440 Hijriah, Minggu pagi (9/6), Zulyadi bersama istri dan anaknya, Akbar, memacu mobil ke Kota Medan. Tujuan mereka ialah Mall Centre Point, menonton Aladdin di bioskop.
“Kalau di Aceh kan enggak ada, tidak bisa menikmati film-film terbaru di bioskop. Jadi sebagian warga Aceh menikmatinya di Medan,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Semoga ke depan, ada 1 bioskop twenty one (XXI) di Kota Banda Aceh,” lanjutnya.
Garuda Theater, salah satu bioskop yang pernah ada di Aceh. Dok. Buku Banda Aceh Heritage
Penyuka film di Banda Aceh, Zumar, punya pandangan sama. Baginya dan sebagian warga Aceh berhobi sama, cara untuk bisa menikmati film 'fresh from the oven' adalah harus rela jauh-jauh pergi ke Medan. “Atau kalau mau enggak ketinggalan serunya film, bisa download di situs-situs tertentu yang menyediakan film dengan kualitas yang rendah,” katanya.
Menurutnya, dengan tidak ada bioskop di Aceh, warga sudah diajarkan oleh pemerintah daerah untuk tidak menghargai hasil karya orang lain dengan cara mengunduh film dari sumber ilegal, yang kualitas filmya jauh dari aslinya.
“Tetapi mau bagaimana lagi, bagi orang yang tidak punya uang ngapain bela-belain ke Medan hanya untuk nonton. Ya, download aja kan,” kata Zumar.
ADVERTISEMENT
Zumar selalu berharap ada bioskop di Aceh, meskipun dipisah penontonnya antara perempuan dan laki-laki sesuai syariat Islam yang berlaku di Aceh. “Film selain hiburan, juga mengandung unsur informasi dan pendidikan bagi para penikmatnya,” ujarnya.
Mengunduh atau nonton streaming di website yang menyediakan film-film tersebut jadi salah satu cara bagi Aya, dan kawannya, Siti, saat mereka penasaran dengan film Aladdin. “Kami nontonnya di laptop, gambarnya tidak bagus dan pecah-pecah,” kata Aya.
Aya yang masih berumur 13 tahun mengaku sepanjang hidupnya belum pernah menonton bioskop sekalipun. “Sering jalan sama orang tua, tapi belum pernah masuk bioskop,” jelasnya.
Provinsi Aceh, mungkin menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tak punya bioskop. Saat konflik Aceh memuncak pada tahun 2000, beberapa bioskop di kabupaten/kota di Aceh gulung tikar. Sulitnya bioskop beroperasi malam menjadi salah satu alasan, suasana konflik mencekam warga untuk keluar rumah sampai larut.
ADVERTISEMENT
Di Banda Aceh, beberapa bioskop masih bertahan di masa konflik. Tahun 2001, sebuah bioskop besar, Pas 21, di pasar Aceh terbakar, dan hanya Gajah Theater di kawasan simpang lima yang bertahan sampai 2003. Beberapa lainnya seperti Bioskop Merpati di Peunayong, dan Jelita Theater di Beurawe, juga terpaksa tutup karena imbas konflik.
Suasana masa lalu Bioskop Merpati di Peunayong. Foto: Harun Keuchik Leumik dalam buku Potret Sejarah Banda Aceh
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh tahun 2001 membuat aturan semakin ketat, sejumlah Qanun (peraturan daerah) dilahirkan pada tahun-tahun berikutnya untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam. Salah satunya, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat.
Disebutkan, Qanun bertujuan menegakkan syariat dan adat istiadat di Aceh, melindungi publik dari tindakan-tindakan yang merusak kehormatan dan martabat mereka, mencegah anggota masyarakat melakukan perzinahan dan sejenisnya sejak dini, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum, dan mencegah penurunan moral masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bioskop dinilai membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap Qanun, sehingga mendapat pengawasan yang ketat dari Polisi Syariah. Tsunami kemudian meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004. Sesudahnya, praktis tak ada lagi bioskop di Serambi Makkah.
Reporter: Adi Warsidi