Suka Duka Relawan Bersama Rohingya: Ingat Pengungsi Konflik Aceh (8)

Konten Media Partner
20 Agustus 2022 11:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kesamaan nasib dengan sebagian warga Aceh yang mencari suaka ke luar negeri saat konflik, sejumlah aktivis kemanusiaan menggagas berdirinya Yayasan Geutanyoe, untuk membantu para pengungsi Rohingya yang kerap terdampar di Aceh. Mereka tetap eksis hingga kini.
Pengungsi Rohingya antre untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di kamp penampungan, BLK Kandang, Lhokseumawe. Foto: Zikri M untuk acehkini
Rencana mendirikan sebuah lembaga pendampingan pengungsi Rohingya di Aceh telah muncul pada 2013. Konsep itu jadi bahan obrolan sejumlah orang yang lama aktif dalam isu kemanusiaan, termasuk Iskandar Dewantara.
ADVERTISEMENT
Iskandar dan teman-temannya merasa ada yang kurang ketika Aceh kerap menjadi lokasi terdampar pengungsi Rohingya sejak 2009, tapi belum ada lembaga lokal yang menanganinya. "Yayasan Geutanyoe didirikan karena melihat eskalasi refugee (pengungsi luar negeri) ke Aceh makin meningkat," kata Iskandar, Coordinator Monitoring and Evaluation Yayasan Geutanyoe.
Kesamaan nasib salah satu pendorong ide membentuk lembaga itu terwujud: bernama Yayasan Geutanyoe. Karena dalam sejarah, dulu orang Aceh juga bagian dari pencari suaka ke luar negeri. Perang antara Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia selama 1976-2005 memaksa sejumlah warga Aceh hengkang dari tanah air.
"Dulu orang Aceh mendapat suaka, kenapa kita sekarang tidak membantu mereka (pengungsi Rohingya). Semangat itu mendasari Yayasan Geutanyoe bergerak pada isu pengungsi luar negeri. Komitmen itu yang kami bangun di awal," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya sistem kerja Yayasan Geutanyoe menyatukan pengalaman lama penanganan pengungsi konflik Aceh di luar negeri dan Aceh sendiri. Misalnya, Lilianne Fan di Malaysia yang dulu mendampingi pengungsi konflik dari Aceh. Adapun Iskandar, Hermanto Hasan dan sejumlah orang lain membantu pengungsi di Aceh.
Di jajaran struktur organisasi, Lilianne Fan menjabat sebagai International Director, sementara Hermanto Hasan didapuk sebagai Director Yayasan Geutanyoe.
Sejak 2014, Iskandar dan teman-teman mulai intens turun ke lapangan bila ada pengungsi Rohingya terdampar di Aceh. Namun mereka tidak mengambil langkah konkret, masih pengawasan dan pemantauan. "Kami lebih banyak advokasi dan memberi informasi saja ke jaringan di luar terkait kedatangan pengungsi ke Aceh," ujarnya.
Setahun berikutnya, 2015, Iskandar dan teman-teman disibukkan dengan arus kedatangan pengungsi Rohingya besar-besaran ke Aceh. Beberapa kapal yang membawa 1.000 lebih pengungsi Rohingya berbaur bersama imigran Bangladesh terdampar di Aceh Timur, Aceh Utara, dan Kota Langsa.
ADVERTISEMENT
"Sejak 2015 kami mulai bekerja penuh di lapangan karena pengungsi itu banyak dan lama di Aceh," tutur Iskandar.
Tahun 2015, Yayasan Geutanyoe resmi terdaftar secara hukum di Indonesia. "Setelahnya hingga sekarang, kami fokus dalam penanganan pengungsi dan mulai melakukan komunikasi dengan lintas sektor, terutama lembaga yang fokus pada aspek kemanusiaan."
Nama “Geutanyoe” diambil dari kata dalam bahasa Aceh untuk “kita” atau “milik kita”. Pemilihan nama karena pengalaman Aceh telah mengajarkan bahwa kunci untuk mempertahankan perdamaian setelah puluhan tahun perang terletak pada membangun tujuan bersama dengan menghormati perbedaan dan keragaman.
Logo Yayasan Geutanyoe mewakili sapaan 'Saleum' Aceh berbentuk dua telapak tangan yang saling menutup. Latarnya adalah corak Kerawang Gayo.
Relawan bermain sambil belajar bersama anak-anak pengungsi Rohingya. Foto: Yayasan Geutanyoe
***
Berbilang tahun setelah terbentuk, Yayasan Geutanyoe semakin berkiprah dalam membantu pengungsi Rohingya di Aceh. Pada beberapa peristiwa terdamparnya Rohingya, lembaag ini menjadi salah satu yang paling awal menanganinya.
ADVERTISEMENT
Humanitarian Coordinator Yayasan Geutanyoe, Nasruddin, menceritakan langkah pertama yang dilakukan bila ada pengungsi Rohingya terdampar adalah membangun kerja-kerja advokasi dan pelayanan. Biasanya Yayasan Geutanyoe menggandeng dinas kesehatan dan satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri tiap-tiap kabupaten. "Peran mereka di tiga hari pertama sangat dibutuhkan karena masa emergency (darurat)," kata Nasruddin.
Koordinasi dengan Imigrasi juga penting dilakukan pada hari-hari awal terdampar pengungsi Rohingya di Aceh. Menurut Nasruddin, Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) baru turun setelahnya untuk memberi proteksi dan asesmen terhadap pengungsi tersebut.
Yayasan Geutanyoe turut terlibat dalam merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan pengungsi Rohingya saat awal-awal kedatangan. Nasruddin menuturkan aturan tersebut berlaku ke lembaga yang menangani pengungsi dan juga untuk pengungsi.
ADVERTISEMENT
Bagi pengungsi, SOP ditulis dalam bahasa Rohingya kemudian ditempel di tempat penampungan sementara. "Isinya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Mereka akhirnya paham ini yang bisa dilakukan dan tidak," ujar Nasruddin.
Meski dinilai tidak maksimal, Nasruddin beranggapan cara demikian menolong para pengungsi Rohingya memahami situasi sekitar. Yayasan Geutanyoe turut menyosialisasikan adat gampong tempat penampungan sementara ke pengungsi. Sebaliknya, warga lokal diberikan edukasi tentang Rohingya.
"Misalnya apa yang terjadi di Myanmar dan kenapa mereka sampai ke Aceh. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu ada di tengah masyarakat," tutur Nasruddin.
Edukasi seperti itu sangat penting dalam proses penguatan di lapangan. Kelak bila ada intervensi, masyarakat hingga lembaga akan satu suara sehingga tidak menimbulkan konflik. "Yayasan Geutanyoe hadir ke situ untuk menjelaskan apa yang menjadi gap di tengah masyarakat." [bersambung]
ADVERTISEMENT