Tionghoa Aceh Usai Merdeka (1): Sikap yang Terbelah

Konten Media Partner
18 Februari 2019 12:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi potret gampong keberagaman, Peunayong, Banda Aceh. Foto: Ahmad Ariska
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi potret gampong keberagaman, Peunayong, Banda Aceh. Foto: Ahmad Ariska
ADVERTISEMENT
Sikap etnis Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia terbelah. Ada yang menjadi milisi bersenjata bikinan Sekutu, "Poh An Tui". Ada yang ikut membantu perjuangan, tak sedikit pula yang jadi korban provokasi Belanda.
ADVERTISEMENT
Acehkini mencoba merangkum berbagai fragmen dari keberadaan etnis Tionghoa, khususnya di Aceh, dalam masa perjuangan kemerdekaan. Kisah yang terangkum dalam tulisan ini merupakan saduran dari tiga buku yang ditulis Teuku Alibasjah Talsya.
Ketiga buku itu adalah: Batu Karang di Tengah Lautan, Modal Perjuangan Kemerdekaan, dan Sekali Republiken Tetap Republiken. Talsya sendiri merupakan staf jawatan penerangan TNI Divisi X Sumatera dengan pangkat Letnan Kolonel. Ia kelak menjadi Kepala Seksi Publikasi Kementerian Penerangan Republik Indonesia.
Ketiga buku itu diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Aceh (LSA) pada tahun 1990, atas bantuan dana dari Menteri Koperasi Bustanil Arifin, yang juga salah satu tokoh perjuang kemerdekaan di Aceh.
Menurut catatan Talsya, pada 1 April 1946, Poh An Tui, organisasi pemuda China bersenjata, dibentuk di Medan. Pembentukan milisi China bersenjata tersebut atas persetujuan AJ Spits, mantan Gubernur Sumatera pada masa pemerintahan Kolonial Belanda masih berkuasa.
Ilustrasi buku T.A. Talsya
Pembentukan Poh An Tui ini juga ada kaitannya dengan peristiwa sebelumnya. Pada 26 November 1945, pasukan Inggris di Medan memberikan kewenangan kepada tentara Jepang untuk melakukan pengamanan kota. Sekutu yang melucuti kekuasaan Jepang, masih menggunakan tangan-tangan orang Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat di Sumatera.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Jepang di Kota Medan kemudian memberi izin kepada para pemuda China untuk memiliki senjata api, serta membentuk organisasi tersendiri. Hal ini membuat ketegangan kaum pribumi dengan pemuda etnis Tionghoa semakin meruncing.
Pucaknya pada 1 Januari 1946, atas hasutan Inggris dan Belanda, pembentukan barisan bersenjata Poh An Tui diresmikan di Kota Medan. Organisasi ini, selain dipersenjatai dengan senjata ringan, juga diberikan beberapa senjata berat untuk bertempur. Hampir tiap hari terjadi kegaduhan di Kota Medan antara Poh An Tui dengan kaum pribumi di Medan.
Untuk meredakan ketegangan, Gubernur Sumatera, MR Teuku Muhammad Hasan, meminta agar milisi Poh An Tui diletakkan di bawah kendali kepolisian agar tidak terus menjadi milisi dan pasukan liar, sehingga keamanan di Kota Medan bisa terwujud. Tapi usulan itu ditolak oleh Panglima Sekutu asal Inggris di Medan, Mayor Jendral TED Kelly.
ADVERTISEMENT
Kebrutalan milisi Poh An Tui di Medan tersebut, membuat sentiment anti-China menjalar ke berbagai daerah di Sumatera, tak terkecuali di Aceh. Sebelumnya, organisasi pemuda China juga pernah dibentuk di Banda Aceh pada 12 November 1945, dengan nama The Oversea Chinese Young Man Associations (OCYMA). Leo Foek Soen diangkat sebagai ketua organisasi ini.
Keberadaan organisasi OCYMA ini lebih untuk menjaga kepentingan niaga kaum Tionghoa di Aceh, apa lagi setelah sebelumnya sempat terjadi ketegangan antara kelompok pemuda pejuang Aceh dengan para pemuda etnis Tionghoa, saat kekuasaan Jepang dilucuti oleh Residen Aceh.
Pawai Barongsai merayakan Imlek di Aceh (5/2). Foto: Suparta
Para pemuda etnis Tionghoa di Banda Aceh berkumpul di Peunayong, kemudian bergerak menuju patai Ulee Lheue, karena tersiar kabar pasukan dari China yang dibantu Sekutu akan masuk ke Aceh untuk mengambil alih kekuasaan. Rakyat Aceh tidak menginginkan itu, karena kekuasaan di Aceh harus diambil alih oleh orang Aceh sendiri, yakni melalui Residen Aceh.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, gesekan antara pemuda etnis China dengan pemuda Aceh mulai terjadi. Ketegangan baru reda, setelah pasukan China bersama Sekutu yang bermarkas di Sabang tidak berani mendarat di Aceh karena dihalau oleh ribuan pejuang di sepanjang pantai.
Untuk menghindari jatuhnya korban etnis Tionghoa di Aceh, pada 20 April 1946, para pemuka mereka di Banda Aceh menggelar pertemuan persahabatan di kantor OCYMA. Dalam pertemuan itu diundang para petinggi sipil dan pejabat militer Residen Aceh.
Seorang pemuka masyarakat Tionghoa berpidato, ia menjelaskan bahwa keberadaan OCYMA di Aceh berbeda dengan Poh An Tui yang bersenjata di daerah lain. Masyarakat China di Aceh ingin hidup tenang bersama kaum pribumi. Ia juga menegaskan bahwa mereka juga sama menderitanya dengan orang Aceh pada masa pendudukan Jepang.
ADVERTISEMENT
Untuk mencegah terjadinya konflik kaum pribumi dengan etnis Tionghoa di Aceh, diupayakanlah pembentukan sebuah organisasi bersama, Lembaga Gabungan Indonesia Tionghoa dan Arab (LEGITIA) pada 24 Mei 1946 di Banda Aceh. (Bersambung)
Penulis: Iskandar Norman