Tionghoa Aceh Usai Merdeka (3): Bantahan Liong Jaw Hiong

Konten Media Partner
20 Februari 2019 9:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi festival etnis Tionghoa di Peunayong, Banda Aceh, 1885. Foto: Dok. Tropen Museum
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi festival etnis Tionghoa di Peunayong, Banda Aceh, 1885. Foto: Dok. Tropen Museum
ADVERTISEMENT
Sikap etnis Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia terbelah. Acehkini mencoba merangkum berbagai fragmen dari keberadan etnis Tionghoa, khususnya di Aceh dalam masa perjuangan kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Pada 9 Juni 1948, Liong Jaw Hiong yang berada di Penang, Malaysia diwawancarai oleh jurnalis The Straits Echo dan The Time of Malaya, dua surat kabar berbahasa Inggris yang terbit di Penang. Ia membantah provokasi Belanda dan Sekutu yang mengatakan masyarakat etnis asing hidup terancam di Aceh.
Menurutnya, kabar yang mengatakan terjadi perselisihan politik dan kekacauan di Indonesia yang sering disiarkan media pro-Belanda, sama sekali tidak benar. Etnis Tionghoa, India dan Arab bisa hidup berusaha dan berkembang di Aceh, di bawah pengawasan dan perlindungan Residen Aceh.
Malah kata Liong Jaw Hiong, ketika daerah lain di Indonesia yang telah diduduki pasukan Sekutu, harga-harga barang menjadi tinggi, barang-barang kebutuhan rakyat jadi langka, tapi tidak di Aceh. “Di Aceh keadaannya melimpah ruah dan juga murah,” jelas Liong Jaw Hiong.
ADVERTISEMENT
Selain itu kata Liong Jaw Hiong, roda pemerintahan di Aceh berjalan dengan baik, sejak Residen Aceh yang dipimpin Teuku Nyak Arief berhasil mengambil alih pemerintahan dari Jepang. Di Residen Aceh juga tidak terjadi perselisihan antara rakyat Aceh dengan etnis Tionghoa, India, dan Arab. Perdagangan dan ekspor impor barang dari Aceh ke Penang dan Singapura juga berjalan baik, meski mendapat blokade dari Belanda di Selat Malaka.
Pada 12 Juli 1947, Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau (GPTP) Aceh kembali mengadakan konferensi di Peunayong, Banda Aceh. Pembukaan konferensi etnis Tionghoa ini juga dihadiri oleh pejabat sipil dan militer Residen Aceh. Saat pembukaan konferesi selain menyanyikan lagu Indonesia Raya juga dinyanyikan lagu kebangsaan Tiongkok.
Poh An Tui, milisi Tionghoa yang dilatih Sekutu. Foto: Ist
Wakil Ketua GPTP Aceh, Tjoe Tjau Nam dalam sambutannya menjelaskan tentang kiprah GPTP yang baru berusia setahun dan mengucapkan terima kasih kepada Residen Aceh dan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Aceh, telah memberi perlindungan kepada etnis Tionghoa. Ucapan yang sama juga disampakan perwakilan GPTP Idi, Tjoeng Tieng Fong mewakili pengusaha Tionghoa dari berbagai daerah di Aceh.
ADVERTISEMENT
Sementara Residen Aceh menyatakan kegembiraannya atas terjalinnya hubungan baik antara rakyat Aceh dengan etnis Tionghoa dan berharap hubungan baik itu bisa terus berkembang lebih baik di berbagai bidang. Hal yang sama juga disampaikan Kapten Hasbi Wahidy dari Komando TRI Divisi X, ZF Soetikno, dan Ali Hasjmy.
Pada 3 Agustus 1947, sebagai bentuk simpati atas perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, Hua Chiau Chung Hui perkumpulan masyarakat etnis Tionghoa di Kota Langsa, menyerahkan sumbangan dana kepada Panitia Angkatan Darat Aceh Timur sebesar f.225.000.
Selanjutnya 7 Agustus 1947, untuk menghadapi suasana genting akibat serangan Belanda yang terus menerus melalui laut dan udara di Aceh, pengurus GPTP di Banda Aceh, menyerukan kepada etnis Tionghoa di Aceh untuk ikut menyokong perjuangan rakyat Aceh. “Di sinilah letak jiwa kita dan harta benda kita. Insaflah bahwa kita sama-sama bertanggung jawab atas keselamatan saudara-saudara kita sekalian,” tulis Liong Jaw Hiong, Ketua GPTP Aceh dalam selebarannya.
Pertunjukan Barongsai menyambut Imlek di Peunayong, Banda Aceh (5/2). Foto: Suparta/acehkini
GPTP Aceh juga menegaskan, bahwa Indonesia juga mengenai keadaan etnis Tionghoa, karena itu perjuangan bangsa Indonesia melawan agresi Belanda harus disokong. Ia kemudian mengutip pepatah Tionghoa yang dalam bahasa Indonesia bermakna. “Keluar masuk berbimbing tangan, menjaga mengintai bersatu padu, sokong menyokong di dalam kesukaran.”
ADVERTISEMENT
Liong Jaw Hiong menambahkan, etnis Tionghoa di Aceh jangan hanya memikirkan diri sendiri dan golongannya saja, tapi harus berjuang bersama-sama, bahkan ia menyerukan untuk menyadarkan beberapa kelompok etnis Tionghoa di Indonesia yang dinilainya sudah tersesat, seperti kelompok Poh An Tui.
“Kita harus selamatkan mereka yang tersesat, mereka sudah dipengaruhi NICA. Sekarang sudah tiba saat yang almarhum Dr Sun Yat Sen anjurkan kepada kita, sokong dan bantulah bangsa-bangsa yang tertindas,” himbau Liong Jaw Hiong.
Menjawab seruan itu, pada 16 Agustus 1947, Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau di Sigli, menyumbang dana untuk perjuangan kepada Dewan Perjuangan Rakyat Pidie sebesar f.50.000. Disusul oleh Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau di Bireuen pada 17 Agustus 1947, menyumbang dana perjuangan sebesar f.75.000 kepada Dewan Perjuangan Rakyat Bireuen.
ADVERTISEMENT
Saat menyerahkan sumbangan dana tersebut, Ketua GPTP Bireuen, Tio Moh Lam menyatakan bahwa penduduk dan etnis Tionghoa ikut bersimpati atas perjuangan bangsa Indonesia. Ia juga menyesali sikap milisi Poh An Tui yang membuat kerusuhan di Sumatera Timur.
Pada hari yang sama, 17 Agustus 1947, kelompok etnis Tionghoa di Kutacane, Aceh Tenggara juga menyerahkan sumbangan dana untuk perjuangan sebesar f.50.000 kepada dewan perjuangan rakyat di daerah Alas tersebut.
Pada 20 Agustus 1947, giliran masyarakat Tionghoa di Meureudu yang menyumbang dana untuk perjuangan sebesas f.50.000. Wakil etnis Tionghoa melalui perwakilan GPTP di Meureudu menyatakan bahwa penduduk etnis Tionghoa di Meureudu juga siap berjuang mengorbankan harta benda dan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seminggu kemudian, yakni pada 26 Agustus 1947, GPTP di Banda Aceh melakukan pertemuan khusus dengan 150 pemuka dan pengusaha Tionghoa di Aceh. Mereka mengundang pejabat sipil dan militer Residen Aceh untuk mendengar penjelasan tentang suasana perjuangan rakyat Aceh, baik di Aceh maupun pejuang Aceh yang masih bertempur di front Medan Area di Sumatera Timur.
Dalam pertemuan itu Oesman Raliby selaku Kepala Jabatan Penerangan Daerah Aceh menjelaskan panjang lebar tentang dukungan bangsa-bangsa di dunia untuk kemerdekaan Indonesia. Ia juga menegaskan Residen Aceh menghormati, dan melindungi hak-hak bangsa asing, dan etnis minoritas yang tinggal di Aceh selama mereka tidak melawan atau menentang perjuangan kemerdekaan. Untuk itu Oesman Raliby meminta agar etnis asing di Aceh tidak menunjukkan sikap merugikan perjuangan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal itu, perwakilan etnis Tionghoa di Banda Aceh, Pek Gim Tong atas nama golongan bangsa asing di Aceh, menegaskan dan berjanji akan menyokong perjuangan rakyat Aceh untuk mempertahankan kemerdekaa Indonesia.
Dua hari kemudian, Perkumpulan Buruh Tionghoa Aceh Timur, menyatakan ketabahan hati mereka untuk tetap tinggal di Aceh, dan berjanji akan menyokong perjuangan rakyat Aceh.
Pada 10 September 1947, Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau di Takengon, Aceh Tengah, membantah tuduhan palsu Belanda yang menyatakan bahwa etnis asing di Aceh terancam keselamatannya. Mereka membuat sebuah mosi, bahwa etnis Tionghoa di daerah kewedanan Takengon dalam keadaan aman di bawah perlindungan pemerintah Residen Aceh.
Bantahan yang sama juga disampaikan Dewan Pimpinan Pemuda Keresidenan dan Ikatan Pemuda Tionghoa Keresidenan Aceh pada 23 September 1947. Mereka mengeluarkan pengumuman bersama dan menjelaskan bahwa antara pemuda Aceh dan pemuda Tionghoa di Aceh terjalin hubungan yang sangat baik. Tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh Belanda di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada 29 September 1947, perkumpulan etnis Tionghoa di Lhokseumawe mengadakan rapat khusus, menghasilkan sebuah resolusi, menyatakan kesetiaan etnis Tionghoa di Lhokseumawe terhadap perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. (Bersambung)
Penulis: Iskandar Norman