Tionghoa Aceh Usai Merdeka (4): Protes Konsul Tiongkok

Konten Media Partner
22 Februari 2019 10:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Asap mengepul di kilang minyak Pangkalan Brandan. Foto: Dok. buku Alibasjah Talsya
zoom-in-whitePerbesar
Asap mengepul di kilang minyak Pangkalan Brandan. Foto: Dok. buku Alibasjah Talsya
ADVERTISEMENT
Tentang keberadaan etnis Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Acehkini mencoba merangkum berbagai fragmen sikap mereka, khususnya di Aceh dalam masa mempertahankan republik.
ADVERTISEMENT
Konsulat Jenderal Tiongkok (China) di Jakarta melayangkan protes kepada Wakil Presiden Muhammad Hatta. Mereka mempertanyakan tentang keberadaan etnis Tionghoa di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara yang mengalami penganiayaan.
Menanggapi protes tersebut, pada 23 Agustus 1947, Wakil Presiden Muhammad Hatta yang merangkap jabatan sebagai Wakil Panglima Tertinggi, memerintahkan tentara, laskar, kepala daerah dan polisi untuk melakukan penyelidikan tentang sentimen anti-China tersebut.
Hasilnya diketahui, sentimen hanya muncul di beberapa daerah yang telah diduduki NICA/Sekutu. Karena di daerah pendudukannya, Sekutu membentuk Poh An Tui atau milisi China yang dididik secara militer dan dipersenjatai untuk memerangi kelompok pejuang Republik Indonesia.
Dokumen Nanyang Post tentang Poh An Tui atau Pao An Tui, milisi Tionghoa yang digembleng Sekutu.
Sementara di daerah yang tidak berhasil dimasuki NICA/Sekutu, keberadaan etnis Tionghoa aman-aman saja. Seperti di Aceh misalnya, malah Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau (GPTP) di berbagai daerah di Aceh ikut menyumbang dana untuk perjuangan melalui lembaga Dewan Perjuangan Rakyat.
ADVERTISEMENT
Isu tentang penganiayaan terhadap etnis Tionghoa sering digembar-gemborkan oleh Belanda melalui NICA/Sekutu di luar negeri. Hal ini membuat Dewan Pimpinan Pemuda Keresidenan dan Ikatan Pemuda Tionghoa Keresidenan Aceh pada 23 September 1947 mengeluarkan maklumat bersama untuk membantah isu-isu.
Propaganda Belanda terhadap keberadaan etnis Tionghoa semakin gencar dilakukan ketika mereka gagal masuk ke Aceh. Sudah dua tahun keberadaan mereka di Sumatera, yakni sejak 25 Agustus 1945 hingga Agustus 1947, Belanda bersama NICA/Sekutu tak bisa mendekati perbatasan Aceh. Malah para pejuang dari Aceh yang datang ke front Medan Area untuk berperang, mengusir Belanda dari Sumatera.
Akibat gencarnya perang Medan Area, kota Medan dan sekitarnya jadi lautan api. Dampaknya, jumlah pengungsi dari berbagai daerah di Sumatera ke Aceh mendekati satu juta jiwa. Bukan hanya kaum pribumi, tapi juga etnis Tionghoa ikut eksodus ke Aceh.
ADVERTISEMENT
Seperti terjadi pada 22 Agustsu 1947, ketika Kota Pangkalan Brandan dibumi-hanguskan akibat perang, penduduk Brandan dan sekitarnya diungsikan ke wilayah Aceh, termasuk penduduk dari etnis Tionghoa. Tapi Belanda mempropagandakan bahwa etnis Tionghoa mengalami penderitaan akibat peristiwa tersebut. Hal inilah yang menyebabkan Konsulat Jenderal Tiongkok (China) di Jakarta melayangkan protes kepada Wakil Presiden Muhammad Hatta.
Presiden Soekarno dan Muhammad Hatta. Foto: Dok. Kemdikbud
Pemerintah Residen Aceh bersama tokoh masyarakat Tionghoa membantah propaganda Belanda tersebut. Salah satu bantahan disampaikan oleh Ketua Perkumpulan Buruh Tionghoa Aceh Timur, Foen Min Tjau di Kota Langsa. Bantahan itu dimuat di surat kabar harian Semangat Merdeka Nomor 191, tanggal 26 Agustus 1947.
Dalam bantahannya Foen Min Tjau menjelaskan, segenap etnis Tionghoa di Aceh Timur dan etnis Tionghoa dari Langkat (Pangkalan Brandan) yang mengungsi ke Aceh karena serangan Belanda, berada dalam keadaan aman di bawah perlindungan pemerintah Residen Aceh.
ADVERTISEMENT
Foen Min Tjau juga meminta kepada bangsa-bangsa di dunia internasional untuk maklum dan memahami peristiwa yang sebenarnya. Ia juga mendesak Konsul Jenderal Tiongkok di Jakarta supaya menyerukan segenap etnis Tionghoa yang diperalat Sekutu, seperti kelompok milisi Poh An Tui, segera insaf dan menyokong Indonesia dengan motto: Mari kita sama-sama bekerja untuk mencapai perdamaian dunia.
Perintah mengungsi masyarakat Brandan dan Sumatera Timur ke Aceh disampaikan sejak 10 Agustus 1947. Kala itu tentara Belanda terus mendesak maju berusaha menduduki kota minyak Pangkalan Brandan. Karena gerakan Belanda semakin gencar, maka Panglima Divisi X dari Aceh mengeluarkan perintah Nomor 14 mengenai bumi hangus tambang minyak Pangkalan Brandan.
Sekitar 72 jam sebelum bumi hangus dilakukan, perintah mengungsi kepada masyarakat disampaikan, termasuk kepada masyarakat etnis Tionghoa melalui organisasi Gabungan Persatuan Tionghoa Perantau Pangkalan Brandan.
ADVERTISEMENT
Awalnya masyarakat etnis Tionghoa mengabaikan, 36 jam menjelang pembumi-hangusan Pangkalan Brandan, Jenderal Mayor Trituler Amir Husin Al Mujahid bersama Mayor Nyak Neh, dan Komandan Brigade Langkat Area, Letnan Kolonel Hasballah Hadji, kembali memberitahukan kepada etnis Tionghoa untuk mengungsi.
Kemudian 12 jam menjelang pembumi-hangusan pangkalan minyak Pangkalan Brandan, Letnan Kolonel Hasballah Hadji kembali menyampaikan pesan yang sama kepada etnis Tionghoa, setelah tiga kali pemberitahuan, baru sebagian dari etnis Tionghoa mau mengungsi ke Aceh. (Tamat)
Penulis: Iskandar Norman