news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Usai Aparat Hentikan Salat Jumat, DSI Hadirkan Majelis Taklim di Musala Jabir

Konten Media Partner
15 Februari 2022 17:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aparat gabungan menghentikan salat Jumat (11/2) di Musala Jabir Al-Ka'biy. Foto: Siti Aisyah/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Aparat gabungan menghentikan salat Jumat (11/2) di Musala Jabir Al-Ka'biy. Foto: Siti Aisyah/acehkini
ADVERTISEMENT
Dinas Syariat Islam (DSI) Kabupaten Aceh Barat, akan menggelar pengajian rutin Majelis Taklim setiap Jumat di Musala Jabir Al-Ka’biy, Desa Drien Rampak, Kecamatan Johan Pahlawan. Pengajian digagas sebagai upaya menyatukan pemahaman masyarakat agar tidak mudah terprovokasi isu-isu agama, usai penghentian salat Jumat di rumah ibadah tersebut.
ADVERTISEMENT
“Dimulai (Jumat) pekan ini, bermaksud untuk membuat masyarakat kembali sepaham tentang terapan ajaran Islam yang ada di Aceh,” kata Muhammad Isa, Kepala DSI Aceh Barat kepada acehkini, Selasa (15/2/2022).
Pengajian akan mengundang para ulama, serta unsur dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). “Insya Allah dengan masuknya ulama-ulama, masyarakat semakin pandai dan bisa membedakan mana yang ahli sunnah, mana yang bukan,” lanjut M Isa.
Menurutnya, penghentian salat Jumat pada pekan lalu yang dilakukan aparat gabungan dari TNI, polisi, dana Satpol PP/Polisi Syariat sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Karena pelaksanaan (salat) Jumat di Musala Jabir itu tidak memenuhi ketentuan, apalagi di sana dekat dengan Masjid Tamadun dan Masjid An-Nur. Secara ketentuan Ahlussunnah Wal Jamaah tidak memenuhi syarat,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan lain adalah laporan masyarakat yang mengaku resah dengan aktivitas di Musala Jabir. Sehingga pihaknya berinisiatif untuk menyamakan pemahaman sesuai dengan ajaran yang berlaku di Aceh.
Selama ini, Isa mengakui belum memahami secara rinci bagaimana proses pembelajaran maupun kajian agama di Musala Jabir. Namun dari laporan yang diterima, pihaknya bersama MPU akan mengkaji ulang apa yang sudah disampaikan masyarakat setempat.
DSI Aceh Barat mengimbau agar warga tidak terprovokasi dengan ajaran-ajaran yang disinyalir bertentangan dengan syariat yang berlaku di Aceh, sehingga ketenteraman dalam kehidupan sosial bisa tercapai.
“Masyarakat supaya lebih intens dalam belajar, jangan sembarangan mencari guru karena di Aceh Barat banyak ulama yang dipercaya, kenapa kita mencari guru lain yang kita tidak tahu kapasitas ilmunya sehingga terjadi kekacauan. Di Aceh memang sudah dianjurkan untuk ahli Ahlussunnah Wal Jamaah,” pungkasnya.
Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh Barat, M Isa. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Diberitakan sebelumnya, aparat gabungan menghentikan salat Jumat di Musala Jabir Al-Ka’biy, pada Jumat (11/2) lalu. Salah satu sebabnya adalah ada surat dari Bupati Aceh Barat untuk menyetop pengajian paham Wahabi Salafi di tempat ibadah itu.
ADVERTISEMENT
Surat bernomor 300/72/2022 itu dikeluarkan pada 25 Januari 2022. Poin lainnya, meminta pelaksanaan salat Jumat ditunda di Jabir Al-Ka'biy. Surat tersebut dirilis menyikapi rekomendasi ulama dan masyarakat Desa Drien Rampak, Johan Pahlawan.
Status Jabir Al-Ka’biy pun ada dua versi. Pemerintah menganggapnya sebagai musala karena belum ada izin pendirian masjid. Jemaah Jabir menyebutnya masjid sesuai dengan papan nama yang dipasang di sana.
Soal tudingan pengajian Wahabi Salafi, Pengurus Jabir Al-Ka’biy, Arham, tidak ingin menjawab isu tersebut benar atau tidak. Namun apa yang mereka lakukan dan kaji disebut sudah sangat sesuai dengan aturan Pemerintah Aceh.
"Bahwa ajaran Islam boleh diterapkan di Aceh dengan ketentuan harus dengan Mazhab Syafi'i, jika ada mazhab lainnya tentu itu tidak sesuai dengan koridor, kita melaksanakan di sini tentu tidak keluar dari ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah,” kata Arham.
ADVERTISEMENT
Sesuai Qanun (Perda) Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, Pemerintah Aceh mengatur pelaksanaan ibadah Islam dengan memprioritaskan mazhab Syafi'i. Ibadah yang tidak mengacu ke mazhab Syafi'i dibolehkan selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali.
"Dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi, Maliki, atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syafi’i," bunyi ayat 4 pasal 14 qanun tersebut.
Ayat 5 pasal itu menyebutkan bahwa dalam hal kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi keagamaan yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadist serta diakui secara sah oleh Negara tetap dibenarkan/dilindungi. []