'New Normal' untuk Pemerintah

Sayfa Auliya Achidsti
Pengamat kebijakan publik. Memiliki perhatian kepada isu policy management and risk.
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2020 5:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sayfa Auliya Achidsti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi New Normal Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi New Normal Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Semua sepakat “adaptasi” adalah kunci “normal baru”. Tetapi jika diperhatikan, “normal baru” seakan hanya tertuju bagi masyarakat untuk mencegah penyebaran penyakit. Lalu bagaimana adaptasi pemerintah mengelola dampak krisis pandemi dalam ruang yang berjarak?
ADVERTISEMENT
Pengejawantahan “normal baru” nyatanya sebatas work from home (WFH), pembagian jam kerja, dan mendaringkan rapat, atau sosialisasi dan patroli kesehatan di tempat-tempat umum. Tentu ini paradoks, mengingat ideal “normal baru” adalah adaptasi untuk semua lini: publik dan pemerintah sekaligus.
Birokrasi “Normal Baru”
Pertanyaannya, sampai mana pemerintah juga mau menjajaki “normal baru”? Presiden Joko Widodo di sidang kabinet (18/6) mengevaluasi kerja birokrasinya yang masih “biasa-biasa saja” dalam kondisi extraordinary. Pengambilan keputusan dan implementasi masih konvensional.
Selain masalah angka Covid-19, problem sosial-ekonomi jadi ancaman di depan mata. Bappenas memprediksi peningkatan pengangguran terbuka 12,7 juta jiwa tahun depan (di atas 9 persen). Diikuti lenyapnya Rp 362 triliun daya beli masyarakat.
Gaya konvensional birokrasi berimbas kebijakan inkremental (tambal-sulam) dan tidak responsif (lambat). Alhasil, lemahnya kapasitas birokrasi mengiringi risiko krisis di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita mudah menemukan contoh kasusnya. Rumah sakit masih menerapkan kebijakan berbeda dalam layanan dan harga, hingga keluhan kekurangan alat kesehatan. Sementara, dana kesehatan Covid-19 yang siap sedia, masih parkir saja.
Pada kebijakan pemulihan, K/L terkesan punya logikanya sendiri. Misalnya, Kementerian Pariwisata membuka wisata alam di 270 kabupaten/kota. Namun, Kementerian Perhubungan belum kunjung melancarkan skema dukungan mobilitas penduduk yang aman. Demikian juga Kementerian UMKM yang malah fokus digitalisasi saat usaha non-digital masih jadi karakter tourism economy di Indonesia dalam jangka pendek sekarang.
Pengamanan pangan dan pasar domestik masih seperti sedia kala. Belum lama ini Kementerian Perdagangan merilis salah satu kebijakan perdagangan yang membuka percepatan layanan impor. Pada waktu berdekatan, Dirut Bulog menyatakan stok beras cukup hingga akhir tahun.
ADVERTISEMENT
Tanpa “normal baru” di birokrasi (pemerintah), berbagai ketidakpastian kebijakan (policy uncertainty) seperti ini mengakumulasi risiko krisis karena buruknya pilihan dan implementasi.
Kebijakan terfokus dan terintegrasi dalam koordinasi efisien adalah esensi kerja matriks yang dibutuhkan merespon kondisi dinamis. Model kerja matriks sendiri telah diamanatkan perundangan penanganan kondisi darurat. Harapannya pengambilan keputusan yang cepat, pembentukan kebijakan yang tepat, dan penyaluran bantuan akuntabel.
Lima perundangan jadi dasar membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Di setiap perundangannya (UU Wabah Menular, UU Penanggulangan Bencana, UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan Perpres Darurat Bencana). Masing-masingnya memuat aturan koordinasi horizontal dan vertikal.
Gugus Tugas pun dibentuk bertujuan mensinergikan kebijakan (Kepres No.7/2020 Pasal 4). Jangkauannya luas, dilengkapi kapasitas politik kelembagaan: melibatkan 14 Kementerian dan 2 Lembaga (BNPB dan Kantor Staf Presiden). Di atas kertas, Gugus Tugas memungkinkan memberi contoh model kerja matriks.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, Gugus Tugas condong pada fungsi informasi. Sedangkan perundangan lain diterjemahkan menjadi wewenang Daerah mengelola masalahnya sendiri melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar. Per 27 Juni, Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah kasus yang memuncak.
Arah “Normal Baru”
Ketika tidak ada yang sanggup memprediksi akhir pandemi, “normal baru” sangat ditunggu penerapannya menanggapi dua kebutuhan nasional.
Pertama, pada public services. Warga butuh upaya penjaminan bertahan (survive) terhadap risiko kesehatan, sosial, dan ekonomi. Tidak jelasnya biaya perawatan sakit, PHK, dan faktor psikososial jadi momok ngeri setiap PDP. Sedangkan, lonjakan tagihan listrik PLN cuma dijelaskan sebagai rata-rata penggunaan bulan sebelumnya. Masalah-masalah seperti ini bisa dihindari jika pemerintah mau menerapkan cara baru respons pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Di masa pandemi, semua kebutuhan publik mendadak berubah. Namun, UU Penanggulangan Bencana telah mengatur soal pelayanan publik yang mengurangi risiko, melindungi warga, dan pemulihan (Pasal 6). Hal-hal mengenai tanggung jawab dan cara mengelola kondisi darurat pun telah diamanatkan (Pasal 48-59).
Kedua, pada recovery program. Desain kebijakan nasional perlu dirumuskan dan diterapkan holistik. Di beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo menyebut arah pemulihan ekonomi lewat wisata. Kalau memang jadi fokus, maka K/L dan Daerah harus memproduksi kebijakan pendukung berdasar karakter lokal.
Telah jauh hari pemerintah menerbitkan Perppu Keuangan Negara untuk kesiapan dan alokasi anggaran situasi khusus. Akhir Juni, terbit Perpres No. 72/2020 menyediakan Rp 695 triliun dana penanganan Covid-19. Dengan landasan perundangan darurat, penyalurannya bisa secepat mungkin sebagai stimulasi mengembalikan geliat masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kebijakan memanfaatkan anggaran besar di era pandemi harus efektif. Kita bisa lihat Jepang, Vietnam, dan negara-negara di Eropa yang telah mulai membuka pariwisata. Pemerintah Pusat dan Daerah-nya langsung gencar melibatkan masyarakat dan pelaku usaha. Kebijakan transportasi, fasilitas umum, logistik, dan pasar lokal segera diproduksi sebagai pendukung (supporting policy). Di tengah pandemi, mereka menerapkan “normal baru” pemerintah dalam melayani publik, merumuskan strategi program, juga penerapannya. Akuntabilitas distribusi program pun diperkuat dengan penegakan hukum (law enforcement) untuk mencegah penyalahgunaan, serta layanan aduan (complaint handling) untuk mengevaluasi.
Mengatasi pandemi memang tidak mudah. Dua agenda layak disegerakan dalam “normal baru” pemerintah.
Pertama, perumusan dan penerapan desain nasional penanganan. Wajib ada strategi dan target jelas dalam layanan publik serta program pemulihan. Masing-masing K/L di Pusat harus menerjemahkan desain nasional di ranahnya bersama dengan K/L lain. Sedangkan, Daerah menyesuaikan dan mengajukan kebutuhan ke Pusat dalam keadaan khusus. Desain penanganan nasional ini diperlukan demi menjaga arah kebijakan.
ADVERTISEMENT
Kedua, perumusan sistem kolaborasi. Pemerintah punya keterbatasan menangani seluruh aspek yang butuh serba cepat. Pemerintah tidak bisa lagi merasa seluruh program bisa diatasi sendiri. Respons aduan pelayanan publik, distribusi bantuan, sampai program recovery butuh keterlibatan kelompok masyarakat secara langsung. Demikian juga kolaborasi dengan sektor privat dalam memulihkan ekonomi.
Desain nasional dan kolaborasi dalam sistem kerja matriks pemerintah inilah “normal baru” yang harus secepatnya diadakan untuk mewujudkan visi tersebut. Dengan “normal baru” yang diterapkan dari kedua sisi (pemerintah dan masyarakatnya), maka krisis pandemi pasti akan menemukan titik terang.
----------------------------------------------------------------------
Sayfa Auliya Achidsti (penulis adalah pengamat kebijakan publik)