Belajar dari Nasionalisasi Tambang Asing ala Venezuela

Konten dari Pengguna
20 Juli 2018 17:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robby Achirul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Belajar dari Nasionalisasi Tambang Asing ala Venezuela
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Polemik divestasi Freeport akhir-akhir ini mendapat perhatian luas di akar rumput. Selain itu, dalam beberapa percakapan, mengemuka pula keinginan agar Indonesia menasionalisasi tambang Freeport.
ADVERTISEMENT
Di zaman Bung Karno, Indonesia memang pernah menasionalisasi aset perusahaan-perusahaan ekstraktif Belanda yang di antaranya berkembang menjadi Pertamina. Namun di masa kini apakah melakukan hal serupa akan menguntungkan Indonesia di jangka panjang? Sebagai perbandingan kita bisa melihat pengalaman sesama negara berkembang, seperti Venezuela.
Venezuela adalah negara paling kaya minyak bumi di dunia, dengan cadangan minyak bumi 300 miliar barel. Sejak 1990-an perusahaan minyak nasional Venezuela (PDVSA) bekerja sama menggarap sumur-sumur minyak dengan Exxon, BP, Chevron, Total, dan ConocoPhillips.
Saat Hugo Chavez menjadi Presiden di tahun 1998 produksi minyak Venezuela mencapai puncaknya 3,5 juta barel/hari, dengan harga US$18/barel. Tahun 2007 harga minyak melampaui US$70/barel dan terus melambung. Tergiur keuntungan yang lebih besar Chavez mulai menasionalisasi proyek ekstraktif asing.
ADVERTISEMENT
April 2018 produksi minyak Venezuela anjlok ke 1,5 miliar barel/hari, turun 42% dari produksi tertinggi tahun 1998. Di bulan yang sama arbitrasi internasional (ICC) memutuskan Venezuela membayar ganti rugi US$ 2 miliar pada ConocoPhillips. Perusahaan AS ini sudah mengajukan penyitaan aset produksi PDVSA, yang apabila dikabulkan akan mengancam 25% produksi minyak Venezuela.
Pertanyaannya, mengapa setelah melakukan nasionalisasi, produksi minyak Venezuela terus merosot sedemikian rupa?
Perusahaan Migas Venezuela PDVSA (Foto: Reuters/Marco Bello)
zoom-in-whitePerbesar
Perusahaan Migas Venezuela PDVSA (Foto: Reuters/Marco Bello)
1. Macetnya investasi modal dan teknologi
Venezuela mengabaikan investasi modal dan teknologi untuk mengembangkan kapasitas industri minyaknya. Akibatnya selama 20 tahun, investasi dan pergantian peralatan baru di industri perminyakan tidak dilakukan. Produksi minyak Venezuela diperkirakan akan terus turun hingga kurang dari 1 juta barel/hari pada akhir 2018.
ADVERTISEMENT
2. Salah pengelolaan
Nasionalisasi tambang minyak asing diikuti penggantian 12.000 pekerja dan pejabat profesional dengan orang-orang pemerintah, yang kebanyakan kompetensinya tidak memadai. Akibatnya pengelolaan industri perminyakan tunduk pada kepentingan penguasa. Keuntungan besar dari masa tingginya harga minyak 2008-2014 hampir seluruhnya dialirkan ke program-program populis jangka pendek.
Pelajaran untuk Indonesia
Industri ekstraktif seperti tambang emas atau minyak membutuhkan modal besar dan teknologi tinggi yang harus terus diperbarui. Nasionalisasi harus dilakukan berdasar kesepakatan bersama pemerintah dan perusahaan asing. Ini untuk menghindari tuntutan ganti rugi dan sengketa berkepanjangan yang bisa mempengaruhi reputasi Indonesia di mata investor global.
Nasionalisasi harus diikuti pengelolaan yang cermat seluruh rangkaian produksi, bukan mengikuti agenda populis penguasa untuk menggalang simpati masyarakat. Selain itu, harus ada transfer keahlian, agar posisi pekerja dan pejabat diisi orang-orang yang kompeten di bidangnya.
ADVERTISEMENT
Hal yang tak kalah penting, masyarakat harus memahami bahwa kekayaan sumber daya alam tidak otomatis mendatangkan kesejahteraan. Diperlukan kerja keras, modal, teknologi, dan pengelolaan berkelanjutan untuk mengolahnya.