Masalah Utamanya Pak Fulan Kaum Immigran di Dunia Digital

Achmad Hidayatullah
Mahasiswa dan peneliti university of szeged Bekerja sebagai dosen di universitas muhammadiyah surabaya
Konten dari Pengguna
22 Juni 2020 21:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Hidayatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.pexels.com/photo/person-in-blue-shirt-wearing-brown-beanie-writing-on-white-dry-erase-board-7368/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/photo/person-in-blue-shirt-wearing-brown-beanie-writing-on-white-dry-erase-board-7368/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada seorang mahasiswa curhat terkait rasa sikap salah satu dosennya. Entah punya masalah apa, dia sering menjadi tempat si dosen sebut saja pak Fulan untuk melabuhkan rasa kasih sayangnya. Sebagai perwujudan rasa kasih sayang itu, ia sering menghadiahi mahasiswa tersebut dengan pertanyaan yang dalam dan memberikan waktu presentasi yang lebih lama.
ADVERTISEMENT
Sampai-sampai mahasiswa itu cukup sering menjadi bahan tertawaan temannya di depan kelas. Dia melanjutkan ceritanya, nah pada sebuah kesempatan lain pak Fulan memberi tugas kepada seluruh mahasiswa di kelas. Kali ini, menurutnya tugas tersebut lebih fair.
Pak Fulan menugaskan seluruh mahasiswa di kelas untuk presentasi secara berurutan setiap kelompok. Aturannya, materi yang dipresentasikan tidak boleh sama, dan harus baru belum pernah di sampaikan dikelas oleh mahasiswa atau pak Fulan di kelas.
Ia kemudian menerima tugas itu dengan rasa senang, karena menurutnya nanti dia akan membawakan materi yang sangat baru dan belum pernah disampaikan di kelas. Setelah kuliah selesai, dia langsung mengerjakan tugas tersebut. Menurutnya tugas yang menantang ini tidak boleh disia siakan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya dia berharap ketika presentasi dengan materi yang baru tersebut, pak Fulan tidak akan menunjukkan rasa sayangnya lagi dikelas. Sehingga tidak ada teman yang akan tertawa menyaksikan dia melayani pertanyaan dari pak Fulan yang mendalam untuknya.
Sebagai anak Millenial yang akrab dengan teknologi digital, tugas tersebut menurutnya mudah. Apa yang tidak bagi anak millennial, semuanya serba tanya sama mbah google. Bahkan topic yang perkuliahan yang ditemukan sebelum pak Fulan lahirpun akan mudah ditemukan.
Kalaupun dalam bentuk bahasa asing, dia akan menggunakan google translate, dan yang lebih cepat lagi adalah translate doc di google. Sehingga bahasanya bangsa manapun bisa diterjemahkan. Apalagi kalau cuma materi yang baru dan belum dijelaskan pak Fulan, menurutnya sangat gempil.
ADVERTISEMENT
Ia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan, dan yang dia tuju pertama kali bukan buku, tetapi komputer. Karena komputer itu terhubung dengan internet, dia kemudian membuka mbah google, dan memulai dengan pencarian buku-buku terkait topik perkuliahan yang belum pernah disampaikan oleh pak Fulan.
Setelah lama melakukan pencarian, dia kemudian berhasil mendapatkan topik yang menurutnya sama sekali baru. Ia menemukan buku dalam google books, ia simpan url-nya. Selain itu ia mendownlod buku tersebut meskipun tidak lengkap sampai halaman belakang.
Buku itu dia bayangkan kalau dalam bentuk asli pasti sangat tebal. Dan sulit untuk dipindah ke power point dengan cepat. Karena banyak mengandung simbol-simbol matematis. Ia kemudian copy paste sebagian point pentingnya ke dalam power point.
ADVERTISEMENT
Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Kini giliran dia yang presentasi setelah beberapa orang temannya selesai presentasi. Setelah presentasi selesai, giliran pak Fulan untuk memberi tanggapan, pertanyaan dan masukan sebagai bentuk kasih sayang berlebih ke pada dia.
Seperti biasa, karena pak Fulan punya rasa sayang sama mahasiswa ini, maka presentasinya lebih lama, dan pertanyaannya lebih dalam. Karena tanggapan dan pertanyaannya sangat dalam terkadang sampai diluar topic pembahasan. Apa kata pak Fulan, “kamu dapat dari mana materi ini? Apa kamu punya bukunya?”
“Dia tanpa ragu menyampaikan punya pak? “ Bagi dia memiliki alamat buku tersebut yang kapan saja dia buka lewat hp kapanpun dan dimanapun pasti bisa. Karena dia punya alamatnya dalam bentuk url.
ADVERTISEMENT
Bukankah punya url dan bisa buka buku tersebut secara online sama saja dengan memiliki buku tersebut seperti punya buku dalam bentuk fisik. Jadi secara substansi dia punya buku tersebut. Pak Fulan kemudian bertanya lagi
“ Serius punya? “
“ ia pak saya punya” jawabnya lagi
“ Tidak mungkin kamu punya. Mana mungkin kamu punya buku itu, materi buku itu saja baru saya dapatkan waktu saya masuk kuliah di S3..!!” pak Fulan menjawab.
Dia hanya bisa diam, dan mendengarkan pak Fulan melanjutkan kalimat kasih sayangnya. Kalau ia membalas ungkapan rasa sayang pak Fulan nanti jadi panjang urusan, pasti pak Fulan akan menambah dengan kalimat-kalimat puitis lainnya.
Ungkapan rasa kasih sayang pak Fulan yang paling diingatnya “ Dulu juga yang seperti ini, seniornya dia, kalau disuruh bicara dia bisa, tapi kalau disuruh nulis atau tugas tidak bisa, ini persis”.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa ini berpikir, apa yang salah dengannya? Bukannya punya URL buku itu yang bisa dia akses kapan saja, sama halnya dengan memiliki buku itu? Terlebih dia punya versi file yang dia download.
Ia sadar, bahwa ia salah hidup di zaman teknologi. Pak Fulan hidup digenerasi buku teks. Menurutnya benar apa yang dikatakan oleh Presynki dalam bukunya yang berjudul Digital Native, Digital Immigrants. Bahwa ia adalah generasi yang hidup di zaman berbeda. Ia bangun tidur sudah mengenal HP android. Kemana-mana bawa internet yang bisa buka segala sumber buku.
Ia juga merasa bersalah, tidak bawa buku tebal sepertinya yang dimiliki Pak Fulan. Ia menyadari bahwa pak Fulan adalah pengajar yang pandai, sangat kompeten dan akrab dengan buku. Namun pak Fulan adalah generasi lama, yang berusaha beradaptasi dengan dunia digital.
ADVERTISEMENT
Masalah terbesar pengajar adalah penyesuaian diri dengan dunia digital, sehingga apa yang dikatakan Peryski (2000) itu benar, bahwa mereka adalah digital immigrants, atau kaum imigran di dunia digital.
Ia menyadari bahwa ada jurang antara gaya belajar dia yang salah salah karena lahir di kehidupan teknologi digital dengan gaya mengajar pak Fulan, yang memiliki ciri khas ke kelas membawa buku statistik yang tebal dan usang. Sehingga ada level yang berbeda dalam kehidupan akademis mereka.