Fenomena Self Diagnose Pada Masyarakat Dalam Pandangan Sosiologi Kesehatan

Adelia Fitri Nurlaili
Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
28 November 2022 12:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adelia Fitri Nurlaili tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tindakan self diagnose dapat membuat seseorang mengalami kecemasan dan paranoia. Sumber foto: canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Tindakan self diagnose dapat membuat seseorang mengalami kecemasan dan paranoia. Sumber foto: canva.com
ADVERTISEMENT
Masifnya perkembangan teknologi dan informasi membuat manusia dewasa kini memiliki keinginan untuk terus mengembangkan kreatifitasnya. Media sosial merupakan salah satu media yang banyak digunakan manusia untuk berinteraksi, membuat inovasi, sampai mengedukasi orang lain. Isu yang paling sering dibahas adalah terkait isu kesehatan, mengingat adanya pandemi covid-19 lalu membuat masyarakat semakin melek terhadap isu kesehatan. Banyak content creator membuat konten mengenai edukasi pentingnya menjaga kesehatan. Namun bagaimana jika melimpahnya informasi mengenai isu kesehatan yang beredar di media sosial membuat seseorang merasa mampu untuk mendiagnosis diri sendiri tanpa perlu berkonsultasi pada tenaga medis profesional?
ADVERTISEMENT
Self diagnose didefiniskan sebagai sebuah upaya yang mengasumsikan bahwa diri seseorang sedang mengidap suatu penyakit hanya melalui informasi yang ia peroleh (White dan Horvitz dalam Maskanah, 2022). Kecenderungan masyarakat melakukan self diagnose biasanya didasari oleh paranoia atau sebuah rasa penasaran bahkan rasa takut terhadap gejala-gejala yang berkaitan dengan kesehatan yang sedan seseorang alami. Mereka yang terlalu melek terhadap pentingnya menjaga kesehatan juga terkadang justru mengasumsikan-mengasumsikan gejala suatu penyakit tertentu terhadap dirinya. Berangkat dari hal tersebut, masyarakat kemudian mempercayai referensi yang mereka temukan di internet, teman, kerabat, atau lainnya dan mempercayainya mentah-mentah tanpa berkonsultasi lebih lanjut kepada tenaga profesionalnya. Mereka menganggap segala referensi yang mereka temukan sudah valid kebenarannya dan cocok terhadap kondisi yang mereka alami. Sebelum kemunculan internet, cerita pengalaman-pengalaman seseorang dalam mengobati suatu penyakit menjadi acuan masyarakat untuk semakin percaya terhadap segala informasi yang mereka temukan tanpa perlu melibatkan tenaga medis atau ahlinya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang fatal, karena dari tindakan self diagnose tersebut, masyarakat semena-mena menyimpulkan suatu penyakit yang ia alami dan melakukan pengobatan atas dirinya dengan yang mereka percayai saja. Self diagnose dapat mengakibatkan kesalahan diagnosis, kesalahan penanganan, serta dapat memperparah penyakit. Oleh karenanya, tindakan self diagnose selain dapat membahayakan diri sendiri juga dapat membahayakan orang lain. Sehingga self diagnose dapat berdampak negatif karena memicu timbulnya kesesatan dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Fenomena self diagnose yang terjadi pada masyarakat dapat terjadi pada berbagai macam penyakit dan kondisi-kondisi yang mereka alami. Umumnya, masyarakat melakukan diagnosis terhadap diri sendiri pada gejala-gejala penyakit mental. Mereka yang kurang pengetahuan yang mumpuni dan hanya bermodalkan informasi dari internet yang mudah untuk diakses akan cenderung mengklaim diri sendiri mengidap suatu penyakit mental tertentu. Selain self diagnose dalam penyakt mental, self diagnose terhadap penyakit fisik juga banyak sekali ditemukan. Seringkali mereka menganggap gejala-gejala penyakit fisik yang cenderung general atau umum mengarah pada suatu gejala penyakit tertentu. Tak hanya dalam hal penyakit mental dan penyakit fisik saja, melainkan dalam hal beauty care atau skin care, masyarakat juga kerap kali melakukan self diagnose.
ADVERTISEMENT
Self diagnose menurut Charlton merupakan gambaran dari kepedulian serta kesadaran seseorang terhadap gejala-gejala penyakit yang kemudian membuat seseorang tersebut merasa gelisah dan khawatir sehingga membuat seseorang menjadi termotivasi untuk mengidentifikasi gejala-gejala penyakit yang ada pada dirinya secara spesifik sebagai dasar identifikasi penyakit yang dideritanya (Charlton, 2005). Sehingga dapat dikatakan bahwa self diagnose merupakan salah satu bentuk kepedulian individu terhadap kesehatan dirinya, namun dalam hal ini kesalahan yang umum terjadi adalah diagnosa tersebut tidak ditangani oleh tenaga professional. Lawrence Green menjelaskan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi self diagnose, yakni (1) Predisposisi, yakni berupa tingkat pengetahuan dan persepsi mengenai penyakit, (2) Kemungkinan, yakni terdapat faktor eksternal dimana individu dapat memeperoleh informasi, (3) Pendorong, yakni tingkat kepuasan individu terhadap medical diagnosis yang diterimanya sehingga individu memperoleh kepercayaan dari diagnosis tersebut (Notoatmodjo, 2014).
ADVERTISEMENT
Pada realitas di masyarakat, self diagnose cenderung dianggap sebagai sebuah trend di kalangan generasi milenial maupun generasi Z. Pasalnya, pada masa kini, dengan hanya bermodalkan jaringan internet dan media sosial saja seseorang dapat mengakses informasi-informasi mengenai berbagai macam topik, terlepas dari kebenaran informasi yang didapat tersebut. Kemudahan akses memperoleh informasi itulah yang kemudian dijadikan seseorang untuk mendiagnosis gejala yang ada pada dirinya sendiri tanpa merasa perlu melibatkan tenaga professional. Kurangnya kepercayaan kepada tenaga professional atau tenaga medis juga merupakan salah satu alasan masyarakat enggan untuk berkonsultasi lebih lanjut. Masyarakat cenderung takut atau khawatir jika mereka berkonsultasi terhadap penyakit mereka kepada tenaga medis, maka akan diberi pengobatan yang meribetkan dan menurut mereka tidak perlu. Akibatnya, masyarakat cenderung berpegangan pada pengalaman masa lalu atau pengalaman dari orang terdahulu untuk menyembuhkan penyakit.
ADVERTISEMENT
Fenomena Self Diagnose di Masyarakat
Tindakan self diagnose yang paling sering ditemui adalah dalam hal penyakit mental. Penyakit mental atau gangguan kesehatan mental didefinisikan sebagai perubahan fungsi jiwa yang mengganggu sehingga menimbulkan penderitaan pada individu dan terhambatnya pelaksanaan peranan sosial (Sadida, 2021). Masyarakat di masa kini sudah mulai terbuka dalam diskusi mengenai kesehatan mental. Jika pada masyarakat terdahulu menganggap bahwa penyakit mental merupakan perbuatan dari roh-roh jahat, masyarakat kini telah menganggap penyakit mental merupakan penyakit yang sama dengan penyakit fisik, yakni dapat diteliti dan diobati melalui pendekatan ilmiah. Mereka yang mengidap penyakit mental tidak lagi takut untuk menunjukkan diri dan berkonsultasi lebih lanjut kepada ahlinya. Tak jarang, mereka yang merupakan penyintas penyakit mental membagikan pengalaman mereka dan memberi motivasi. Namun, kepedulian masyarakat dalam melihat penyakit mental seringkali disalahgunakan oleh mereka yang melakukan self diagnose atau mengklaim dirinya memiliki suatu penyakit mental tertentu tanpa berkonsultasi lebih lanjut kepada ahlinya. Bahkan, Sebagian masyarakat menganggap bahwa memiliki penyakit mental merupakan suatu yang keren.
ADVERTISEMENT
Dalam media-media seperti media sosial maupun media entertaimen, seringkali menampilkan gejala-gejala yang sebenarnya bersifat general atau umum yang kemudian diframing sebagai gejala dari penyakit mental. Seperti contohnya terdapat sebuah video unggahan viral oleh seseorang berpaikaian tenaga medis pada platform tiktok dengan username @iikarahma mengenai gejala gangguan jiwa ringan.
Gejala Gangguan Jiwa Ringan yang disebutkan oleh @iikarahmawati pada akun tiktoknya menuai berbagai macam komentar netizen
Dalam video tersebut disebutkan bahwa malas mandi dan rebahan merupakan gejala gangguan jiwa. Hal ini menimbulkan banyak sekali tindakan self diagnose yang kemudian terjadi setelah masyarakat yang menonton video tersebut. Pasalnya, gejala yang disebutkan tersebut selain merupakan suatu hal yang umum, orang yang menyampaikan hal tersebut merupakan seorang tenaga medis. Akibatnya, masyarakat akan berkecenderungan untuk mempercayai informasi tersebut dan mengklaim dirinya memiliki gangguan mental. Padahal, self diagnose terhadap penyakit mental dapat membuat individu mengalami kecemasan berlebih.
ADVERTISEMENT
Fenomena self diagnose yang sering ditemui lainnnya adalah pada penyakit fisik. Hal ini seringkali terjadi pada masyarakat, baik pada dunia nyata maupun di media sosial. Pada media sosial contohnya adalah banyak sekali mereka yang menanyakan obat dari suatu penyakit pada followers media sosial mereka. Dimulai dengan seseorang memfoto penyakit yang tampak, seperti penyakit kulit atau menuliskan keluhannya pada media sosial dan kemudian menanyakan obat yang cocok. Followers atau pengikut orang tersebut kemudian menyarankan berbagai macam obat dan membeberkan pengalamannya ketika mengidap penyakit tersebut. Salah satu contoh perilaku tersebut adalah pada platform twitter seperti di bawah ini.
Alih-alih borkunsultasi lebih lanjut kepada tenaga medis profesional, beberapa pengguna twitter memilih untuk menanyakan keluhan yang dideritanya kepada pengikut media sosialnya. Sumber foto: https://twitter.com/search?q=obat%20manjur&src
Tindakan tersebut termasuk ke dalam self diagnose, karena tidak berdasarkan diagnosis dan pengobatan dari ahlinya. Hal serupa juga sering terjadi pada ibu-ibu muda di daerah yang masyarakatnya masih tradisional. Dalam mengurus dan membesarkan anak, mereka cenderung untuk mengikuti nasihat orang terdahulu. Seperti contohnya adalah ketika bayi kejang, leluhur mereka biasanya memberi bayi tersebut kopi sebagai bentuk penanganan terhadap kejang. Hal tersebut tidak ada pembuktian ilmiahnya dalam medis dan merupakan tindakan penanganan yang salah. Sehingga dalam fenomena ini bisa dilihat bahwa self diagnose dapat membawa kepada memburuknya kesehatan seseorang akibat penanganan yang salah.
ADVERTISEMENT
Self diagnose kemudian tidak hanya terjadi pada penyakit mental dan penyakut fisik juga, melainkan juga dapat terjadi pada ranah kecantikan atau perawatan kulit wajah. Beraneka ragamnya produk kecantikan yang ada di pasaran mulai dari produk lokal sampai produk luar negeri. Platform-platform media sosial berpartisipasi sebagai bentuk promosi terhadap suatu produk kecantikan atau skincare. Ulasan yang diberikan oleh seseorang usai menggunakan suatu produk kecantikan akan mempengaruhi minat beli masyarakat. Produk-produk skincare yang viral akan membuat masyarakat berbodnong-bondong membeli produk tersebut tanpa memperhatikan kondisi kebutuhan kulit masing-masing. Masyarakat juga seringkali mempercayai ulasan dari beauty influencer, yang bahkan bisa saja memalsukan ulasan demi memperomosikan suatu produk. Hal ini kemudian mendorong masyarakat untuk melakukan self diagnose terhadap kondisi kulitnya. Kebanyakan masyarakat hanya takut ketinggalan tren dan mengesampingkan kebutuhan sesungguhnya dari kulit mereka
ADVERTISEMENT
Pandangan Sosiologi Kesehatan Terhadap Fenomena Self Diagnose
Sosiologi kesehatan dalam memandang fenomena ini merupakan sebuah fakta sosial yang dapat dikaji lebih lanjut. Self diagnosis menurut Talcott Parsons dilihat sebagai seseorang yang memposisikan dirinya sebagai seorang yang sakit (the sick role) melalui hasil diagnosisnya sendiri dan tanpa melibatkan arahan tenaga professional (Faiz dalam Sadida, 2021). Kemudian Parsons juga menjelaskan suatu teori bahwa terdapat tindakan voluntaristik pada seorang individu, dimana individu tersebut mempunyai pilihan dalam menciptakan pengalaman dan hubungan sosial. Dalam konteks sosiologi kesehatan, individu dilihat memiliki kecenderungan untuk memutuskan untuk sakit berkenaan dengan maksud dan tujuan individu tersebut, yakni mengadopsi sick role dengan cara menyimpang sebagai cara untuk menghindari tuntutan kehidupan sosialnya (White, 2002). Ketika seseorang sakit, ia cenderung akan dibebastugaskan dari tanggung jawab perannya, baik dalam lingkungan sosial atau lainnya. Seperti contohnya, seseorang diperbolehkan untuk mengambil libur sakit dalam sekolah atau pekerjaannya. Contoh lain adalah mereka yang sakit tidak dibebankan untuk melakukan kegiatan dalam masyarakat dan diperbolehkan untuk beristirahat.
ADVERTISEMENT
Fenomena self diagnose dalam perspektif sosiologi kesehatan dapat dianalisis berdasarkan tindakan voluntaristik yang dikemukakakn oleh Talcott Parsons tersebut. Sosiologi sendiri berpandangan bahwa diagnosis merupakan alat sosial kuat yang memiliki keunikan fitur dan dampak yang dapat dianalisis secara spesifik (Hutson dan McGann, 2011). Self diagnose yang ada dalam masyarakat dilihat sebagai fenomena dimana individu mengasumsikan dirinya mengidap suatu penyakit dengan maksud tertentu seperti menghindari tuntutan sosialnya. Misalnya seseorang mengklaim diri sendiri memiliki depresi setelah menonton sebuah video tiktok atau membaca cuitan di twitter. Kemudian individu tersebut menggunakan alibi depresinya untuk melakukan tindakan penyimpangan norma dalam masyarakat seperti mabuk-mabukan atau melakukan seks bebas. Contoh lain yang seringkali ditemui adalah seorang anak yang bersugesti penyakit pileknya adalah gejala sakit tipes agar bisa tidak masuk sekolah dan lainnya. Tindakan-tindakan yang dilakukan individu yang berangkat dari self diagnose tersebut merupakan tindakan pengadopsian sick role dengan cara menyimpang.
ADVERTISEMENT
Penutup
Fenomena self diagnose yang terjadi pada masyarakat dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan yang kemudian membuat masyarakat tergerak untuk mengasumsikan gejala-gejala penyakit yang ada pada dirinya sebagai suatu penyakit terterntu tanpa berkonsultasi lebih lanjut atau diagnosis dari tenaga professional. Terdapat berbagai macam bentuk self diagnose pada masyarakat, mulai dari diagnosis sendiri terkait penyakit mental, penyakit fisik, bahkan dalam perawatan kecantikan. Dalam perspektif sosiologi kesehatan, fenomena ini menganggap individu memposisikan dirinya sebagai orang sakit atau memegang peran sakit (sick role) melalui asumsi-asumsinya sendiri. Self diagnose dapat mengakibatkan permasalahan yang fatal baik pada diri sendiri maupun orang lain, seperti kesalahan diagnosis yang kemudian berujung pada kesalahan penanganan yang dapat memperparah suatu penyakit. Dapat digarisbawahi jika menjaga kesehatan memang penting untuk dilakukan, namun harus tetap berkonsultasi dan merujuk kepada tenaga ahli agar diagnosis dan penanganan yang diberikan sesuai dengan penyakit yang dialami oleh individu.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Cahrlton, Bruce G. (2005). Self-management of Psychiatric Symptoms Using Over-The-Counter (OTC) Psychopharmacology: The S-DTM Therapeutic Model--Self-Diagnosis, Self-Treatment, Self-Monitoring. Medical Hypotheses, 65(5): 824
Maskanah, Imas. (2022). Fenomena Self-Diagnosis di Era Pandemi COVID-19 dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental. Journal of Psychological Students, 1(1): 1-10
McGann, PJ & Hutson, J David. (2011). Sociology of Diagnosis (Advances in Medical Sociology) Volume 12. Howard House UK: Emerald Group Publishing Limited
Notoatmodjo, Soekidjo. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan Cetakan Kedua. Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Sadida, Siti. (2021). Perancangan Informasi Fenomena Self-Diagnosis Kesehatan Mental Remaja Generasi Z di Media Sosial Melalui Media Buku Ilustrasi. Bandung: E-library Universitas Komputer Indonesia
White, Kevin. (2002). An Introduction to the Sociology of Health and Illness. London: Sage Publication
ADVERTISEMENT