Cinta (KPK) Itu Mulai Luntur

Adi Heryadi
Dosen Psikologi Unjani Yogyakarta
Konten dari Pengguna
24 September 2020 16:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adi Heryadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cinta luntur. Foto: Prawny/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cinta luntur. Foto: Prawny/Pixabay
ADVERTISEMENT
#reformasidikorupsi
Berdetak kencang jantung ini ketika dapat info bahwa ada staff KPK di bawah yang ingin bertemu dengan pimpinan atau staf di pusat kajian kampus lama saya, ada apa gerangan pikir diri ini?
ADVERTISEMENT
Dan setelah pertemuan pertama yang membuat deg-degan itu dilanjutkan dengan komunikasi chatting hingga ada satu pertanyaan yang lagi lagi membuat kaget, mungkin kah jika pimpinan kami (pimpinan KPK) berkunjung ke kampus bapak?
Deg-degan seperti orang jatuh cinta dan penggalan cerita itu terjadi sekitar tahun 2016 yang akhirnya menghadirkan pimpinan KPK masa itu di kampus lama saya.
Sebagai orang yang giat menggelar aktivitas kampanye anti korupsi melalui kegiatan dialog, penelitian, pengabdian masyarakat, bekerja sama dengan kegiatan kemahasiswaan untuk menjangkau banyak komunitas menggaungkan pendidikan anti korupsi dan perilaku anti korupsi ada rasa bangga ketika pimpinan KPK hadir memberi spirit pada gerakan kecil dari kampus yang juga kecil pada masa itu.
Namun kini seiring dengan perubahan UU KPK pasca pengesahan UU No.19/2019 tentang perubahan kedua atas UU No.30/2002 tentang KPK rasa bangga itu mulai memudar, KPK sekarang (tentu pimpinannya juga) bukan lagi lembaga super yang mampu memberantas korupsi dengan segala kewenangannya namun hanya sebuah lembaga negara biasa dengan ASN sebagai punggawanya yang pasti akan patuh dan tunduk pada kekuatan eksekutif yang memilih dan mengangkatnya. KPK sekarang bukan lagi lembaga yang paling ditunggu-tunggu OTT nya karena berani menyentuh petinggi negeri baik dari unsur eksekutif, legislatif maupun yudikatif namun hanya lembaga biasa yang meneruskan kasus-kasus sebelumnya, menindak koruptor kecil hanya untuk memenuhi agenda reformasi semu.sungguh sebuah konsekuensi besar dan berat yang harus ditanggung bangsa ini karena perubahan UU KPK.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah apakah sekarang saya, kita dan masyarakat Indonesia yang anti korupsi kemudian mulai benar-benar tidak cinta pada KPK?jawabnya bisa iya dan tidak, ia karena kita pernah menitipkan harapan besar pada lembaga yang lahir karena amanah reformasi ini dengan segudang catatan prestasinya dan kemudian kita dikecewakan. Mungkin juga bisa tidak karena mungkin cinta kita seperti “sayap-sayap patah” nya Khalil Gibran. Walaupun “aku” tak bisa memiliki Salma, namun cintaku tetap untuk Salma. Pertanyaan kritis berikutnya yang bisa muncul adalah apakah jika saya,kita dan masyarakat Indonesia yang anti korupsi sudah mulai luntur cintanya kepada KPK apa yang akan terjadi?jawabnya adalah kemenangan para koruptor yang selama ini secara sistematis ingin melemahkan KPK karena merintangi jalan mereka.kita akan menjadi bangsa yang mundur kebelakang dalam hal pemberantasan korupsi yang tentu akan sangat menghambat pencapaian masyarakat yang adil dan makmur.sesuatu yang sungguh tidak boleh terjadi.
ADVERTISEMENT
Jika Sternberg mengatakan bahwa cinta itu adalah intimacy, passion, dan Commitment maka intimasi yang diwakili rasa bangga itu memang sudah mulai memudar seiring berjalannya satu tahun UU No.19/2019. Tidak ideal memang karena trianggulasi cinta itu telah kehilangan intimasinya. Passion yang masih tersisa karena diri ini dan pegiat anti korupsi lainnya masih memiliki motivasi untuk ikut berkontribusi membangun Indonesia emas 2045 yang bebas korupsi. Komitmen yang ada adalah bungkusan passion yang semoga masih terbungkus rapi untuk jangka waktu yang panjang sehingga akhirnya kecintaan pada KPK bukan terletak pada keintiman dengan lembaganya namun jauh karena passion nya adalah kecintaan pada isu anti korupsi, isu Indonesia makmur tanpa korupsi yang akhirnya menjadi sebuah komitmen bersama penggiat anti korupsi dan seluruh masyarakat Indonesia yang anti korupsi untuk terus berusaha memperjuangkan cintanya.
ADVERTISEMENT
Adi Heryadi
Dosen Psikologi Unjani Yogyakarta