Paselloreng dan Kenangan Turnamen Bola Antarkampung Sebelum Jadi Bendungan

Sapriadi Pallawalino
Founder Sulbar Kini (part of AMSI Sulbar) // Born at Anabanua, Wajo.
Konten dari Pengguna
11 September 2021 9:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sapriadi Pallawalino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Foto: Dok. Kementerian PUPR
zoom-in-whitePerbesar
Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Foto: Dok. Kementerian PUPR
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo meresmikan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Kamis (9/9/2021).
ADVERTISEMENT
Peresmian ini sekaligus menjadikan Bendungan Paselloreng sebagai mimpi yang menjadi nyata bagi masyarakat Kecamatan Gilireng dan Kabupaten Wajo pada umumnya.
Jauh sebelum pembangunan bendungan dengan luas genangan 169 hektare serta kapasitas tampung 138 juta meter kubik ini dimulai pada 2015, wacana tentang pembangunan Bendungan Paselloreng sudah mengemuka sejak beberapa puluh tahun lalu.
Ide itu mulai mencuat di masa kepemimpinan Bupati Wajo periode 1993-1998, Dachlan Maulana. Sebagai salah satu daerah lumbung beras di Sulawesi Selatan, Dachlan Maulana ingin ada bendungan yang bisa mengairi lahan persawahan di kawasan timur Kabupaten Wajo.
Sebelumnya, Wajo sudah memiliki Bendungan Kalola di Kecamatan Maniangpajo dan Bendung Awo di Kecamatan Keera. Titik terang pembangunan Bendungan Paselloreng mulai intens di masa kepemimpinan Bupati Wajo periode 2008-2018, Andi Burhanuddin Unru.
ADVERTISEMENT
Hal itu ditandai dengan pencanangan pembangunan Bendungan Paselloreng oleh Gubernur Sulsel kala itu yang kini menjadi Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, di Desa Arajang, Kecamatan Gilireng, pada 16 Juni 2014.
Lahir dan besar di Kabupaten Wajo, saya pribadi punya kenangan tersendiri dengan Desa Paselloreng sebelum ditenggelamkan menjadi bendungan. Kala duduk di bangku kelas 3 SMP, di lapangan Desa Paselloreng inilah saya mulai mengikuti pertandingan antarkampung. Istilah kerennya, memulai debut tarkam. (Haha..)
Selain di UD Hamzah FC, kami juga tergabung dalam klub sepak bola SMAN 1 Maniangpajo.
Paselloreng adalah desa dari kecamatan tetangga kampung kelahiranku, Anabanua di Kecamatan Maniangpajo. Saat itu, saya dan teman-teman lainnya yang duduk di bangku SMA tergabung dalam klub sepak bola kampung kami dan aktif mengikuti pertandingan tarkam.
UD Hamzah FC, ya, nama klub kami kala itu. Nama ini diambil dari sebuah pabrik penggilingan beras yang ada di kampung kami sekaligus menjadi sponsor.
ADVERTISEMENT
Setiap sore, timku aktif mengikuti latihan di lapangan sepak bola dan dilatih pemain-pemain senior di kampung kami. Soal kostum dan perlengkapan latihan, itu urusan sponsor. Kami tinggal bawa sepatu bola sendiri dan unjuk skill terbaik.
Manajer kami, H. Suriadi Bohari Hamzah yang kini menjadi anggota DPRD Kabupaten Wajo. Dialah pemilik penggilingan beras yang jadi sponsor tim kami. Figurnya memang dikenal gila bola dan olahraga pada umumnya.
Kebetulan, dia juga berposisi sebagai penjaga gawang, sama seperti saya. Jadilah, baju kiper miliknya diberikan ke saya untuk dipakai bertanding yang tentu saja ukurannya kebesaran bagiku kala itu. (Hehe..)
Beberapa minggu setelah memulai latihan rutin, kami mendapatkan undangan mengikuti turnamen antarkampung di desa tetangga. Ya, di Desa Paselloreng. Dengar-dengar, itu kegiatan rutin warga setempat sebagai bentuk syukur atas hasil panen dan perkebunan yang melimpah.
ADVERTISEMENT
Saya dan teman-teman cukup antusias mengikuti turnamen tersebut. Bagiku, itulah turnamen antarkampung pertamaku. Tapi, perjuangan untuk sampai ke desa ini cukup berat.
Presiden Joko Widodo saat meninjau dan meresmikan Bendungan Paselloreng. Foto: Dok. Setkab RI
Dari kampung kami melewati jalan beraspal sekitar 20 kilometer hingga ibu kota Kecamatan Gilireng. Dari Gilireng, masuk sekitar 10 kilometer ke lapangan Desa Paselloreng. Di sinilah tantangan sebenarnya.
Kondisi jalan menuju Desa Paselloreng saat itu masih berupa jalan tanah dengan kontur perbukitan. Saat hujan mengguyur, kondisi jalan berubah menjadi licin dan berlumpur.
Apesnya, kami ke sana saat musim penghujan. Mobil jenis Kijang Doyok yang jadi kendaraan khusus klub kami setiap bertanding tak jarang kewalahan melewati medan ekstrem itu.
Sesekali, kami harus turun mendorong mobil untuk melewati jalan licin dan berlumpur. Apalagi saat melewati tanjakan. Toh, itu tidak mengurangi semangat kami untuk bertanding.
ADVERTISEMENT
Tiga pertandingan, kami menangkan melalui drama adu penalti. Menariknya, setiap menit-menit akhir dalam 2x30 menit pertandingan normal, saya yang diberi kesempatan menjadi kiper starter selalu ditarik keluar. Dalam babak adu penalti, giliran manajer klub kami yang menjadi penjaga gawang. Alhasil, timku melaju ke semifinal.
Saat latihan di Lapangan Telkom Makassar. Entah gol atau tidak, yang penting terbang.
Sebagai pemain yang berdiri di bawah gawang dan dekat penonton, saya ingat betul bagaimana reaksi penonton kala itu. Dengan usia yang rata-rata belia, yang masih pelajar SMP dan SMA, mereka banyak bersorak untuk kami yang kemudian berhasil melaju ke semifinal.
Nah, di sini lucunya. Saat hari pertandingan semifinal itu tiba, kami dibuat bingung dengan jadwal pertandingan lainnya. Desa tetangga lainnya, Tingaraposi, juga mengadakan turnamen sepak bola.
ADVERTISEMENT
Pelatih beberapa saat berpikir keras. Begitu pun manajer kami. Bermain di Desa Paselloreng, kami sudah di babak semifinal. Di Desa Tingaraposi, kami baru mengawali turnamen dan bisa saja gugur lebih awal.
Jelang pukul 14.00 WITA, pelatih membuat keputusan mengejutkan. Melepas peluang lolos ke final di Desa Paselloreng, dan memilih ke Desa Tingaraposi. Kami pemain tentu saja enggan protes, meski sebenarnya banyak teman lainnya yang memilih bermain di Desa Paselloreng.
Entah, saya tak tahu pasti alasan pelatih kami saat itu. Yang sekilas saya dengar, kondisi jalanan menuju Desa Paselloreng yang membuat pelatih berpikir untuk melanjutkan berlaga di babak semifinal. Atau mungkin ada pertimbangan lainnya.
Bermain di Desa Tingaraposi, kami kalah dan harus gugur lebih awal. Di Desa Paselloreng, kami bisa saja bermain di perebutan tempat ketiga keesokan harinya meski kalah WO di semifinal.
ADVERTISEMENT
Toh, pelatih kembali tegas dengan keputusannya. Menurut dia, karena kami sudah kalah WO dengan tidak datang, alangkah tidak eloknya kalau tetap memaksakan ikut dalam pertandingan perebutan ketiga.
Dua turnamen itu memang kami tak dapat apa-apa, kecuali pengalaman dan sebuah kenangan yang masih jelas terekam.
Desa Paselloreng boleh saja kini tenggelam dalam genangan, tapi ia akan tetap ada dalam kenangan.
Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Foto: Dok. Kementerian PUPR