Menjaga Profesionalisme Intelijen di Arena Politik Praktis

Adif Rachmat Nugraha
Analis Kebijakan, Alumnus Universitas Gadjah Mada.
Konten dari Pengguna
28 September 2022 6:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adif Rachmat Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membaca relasi antara organisasi intelijen di Indonesia dengan politik praktis dan politik di sekitar ‘istana’ pascareformasi-1998 dapat dibilang gampang-gampang susah, apalagi masih sangat sedikit kajian intelijen yang serius membahas hal tersebut. Padahal, kajian tersebut sangat urgen tidak hanya bagi kalangan akademia dan pengambil kebijakan, tapi juga bagi masyarakat luas dalam upaya mengawal proses reformasi sektor keamanan, khususnya reformasi intelijen negara yang telah bergulir selama lebih dari dua dekade.
Foto bersama usai prosesi pengangkatan para tokoh militer dan politik sebagai Warga Kehormatan Badan Intelijen Negara (BIN) kepada para tokoh militer dan politik, September 2020 (kemhan.go.id)
Nampaknya, keresahan tersebut yang mendorong lahirnya buku Membangun Intelijen Profesional: Menangkal Ancaman, Menjaga Kebebasan, yang dibidani oleh tim peneliti dari Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional, sebagai bagian dari rangkaian kajian intelijen multitahun sejak tahun 2015, yang menelaah kiprah intelijen negara sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi.
ADVERTISEMENT
Kehadiran buku ini diarahkan untuk menjawab dua pertanyaan kunci terkait perjalanan intelijen negara dan perubahan politik di Indonesia, yakni pertama, bagaimana dinamika perubahan politik memengaruhi relasi presiden-intelijen dan operasi telik sandi di luar negeri, dan kedua, apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat bagi perumusan serta implementasi pembangunan “intelijen profesional” (professional intelligence)? (Halaman 11).
Dalam konteks Indonesia, pembacaan mendalam atas relasi presiden-kepala intelijen negara menjadi penting karena merefleksikan pertemuan kepentingan antara presiden—dan lingkaran istana—sebagai aktor politik dan kepala intelijen negara sebagai aktor keamanan, mulai dari era Presiden Soekarno dengan Zulkifli Lubis sebagai kepala Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI)—organ intelijen negara pertama di Indonesia—hingga Presiden Joko Widodo dengan Budi Gunawan selaku Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) saat ini.
ADVERTISEMENT
Buku ini setidaknya memetakan tiga pola yang umum terjadi dalam relasi tersebut, yakni ‘pola kooperatif’, artinya presiden mempercayakan dan membutuhkan kepala intelijen dan organ intelijen negara sebagai acuan pengambilan keputusan, lalu ‘pola konfliktual’, dimana presiden masih percaya namun sudah tidak butuh, masih butuh namun sudah tidak percaya, maupun sudah tidak percaya dan tidak butuh namun tidak diganti, serta terakhir ‘pola koersif’, artinya presiden sudah tidak percaya, tidak butuh, serta langsung mencopot kepala intelijen negara (Halaman 91-92).
Judul: Membangun Intelijen Profesional: Menangkal Ancaman, Menjaga Kebebasan
Penulis: Muhammad Haripin (Editor), Diandra Megaputri Mengko, Indria Samego, Putri Ariza Kristimanta, Sarah Nuraini Siregar
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: Cetakan pertama, Juni 2022
ADVERTISEMENT
Tebal: xii + 234 halaman
ISBN: 978-623-321-157-5
Jika ditarik lebih dalam, perbincangan mengenai dinamika relasi tersebut—khususnya pada pola kooperatif—acapkali bermuara pada perdebatan mengenai seberapa jauh otonomi yang harus ditegakkan oleh seorang kepala intelijen negara dan organ intelijen negara secara keseluruhan. Di satu sisi organisasi intelijen harus berkembang sebagai institusi profesional yang bersifat non-partisan, tidak untuk kepentingan pribadi dan memiliki integritas yang kuat (Widjajanto & Wardhani, 2008), tetapi di sisi lainnya, organisasi intelijen diharapkan tetap intim dengan lingkaran politik dan pengambilan kebijakan sejalan dengan Mazhab Robert Gates—Direktur CIA ke-15—dalam studi intelijen (Russell, 2007), yang implikasinya ‘bos intel’ dipilih dari kedekatan serta loyalitasnya dengan Presiden sebagai end-user, bukan masalah militer ataupun sipil.
ADVERTISEMENT
Memilih orang yang sangat dekat dan dikenal baik oleh presiden serta lingkarannya juga bukan hal aneh, guna menghindari friksi antara istana serta kepala intelijen negara. Contoh paling nyata adalah perseteruan di bawah permukaan Direktur CIA Stansfield Turner dengan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter (1977-1981) dan Penasihat Keamanan Nasional Zbigniew Brzezinski akibat perbedaan pandangan mengenai restrukturisasi serta reorganisasi CentraI Intelligence (CI). Dalam hampir semua rapat penting membahas keamanan nasional Turner tak pernah dillibatkan, padahal posisinya sangat penting utamanya dalam memberikan masukan dari sudut pandang intelijen, dan banyak yang percaya ada campur tangan Zbigniew—yang dikenal amat dekat dengan Carter—dalam ‘menghapus’ nama Turner dari daftar nama orang-orang di ring satu Gedung Putih (Matey, 2018).
ADVERTISEMENT
Sejarah Indonesia mencatat bahwa intelijen di masa lalu pernah ‘terjebak’ untuk menjalankan operasi yang semata melayani kepentingan rezim. Pola operasi ‘Intelijen Integrasi’, ketika karakter intelijen menjadi sangat dependen terhadap presiden selaku end-user dan memiliki pandangan yang terintegrasi—amat bergantung pada arahan dan kebijakan presiden, menjadi ciri kentara berbagai bentuk operasi intelijen di era Orde Baru (Halaman 192-194).
----
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana menghindari politisasi organisasi dan informasi intelijen di tengah berbagai bentuk relasi antara aktor politik dan organ intelijen guna tetap menegakkan profesionalisme serta otonominya? Agar kesalahan-kesalahan di masa lalu tak terulang kembali?
Selain mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh parlemen (parliamentary oversight) sebagai praktik yang jamak dilakukan pada negara-negara demokrasi, hadir juga mekanisme pengawasan yang mengikat dalam diri tiap insan intelijen berupa kode etik intelijen yang secara umum mencakup pernyataan setia pada negara dan konstitusi, tunduk pada hukum yang berlaku, menjunjung nilai-nilai demokrasi dan HAM, setia menjaga kerahasiaan profesi, netral dalam politik praktis (non-partisanship), memiliki integritas, obyektivitas dan ketidakberpihakan dalam mengevaluasi informasi, serta menjaga kepercayaan antara pembuat kebijakan dengan pejabat intelijen (Widjajanto, 2005), yang mana dalam Pasal 20 UU No.17/2011 tentang Intelijen Negara telah diatur pula Kode Etik Intelijen Negara yang melekat pada sumpah personil intelijen negara.
ADVERTISEMENT
Di samping adanya Kode Etik Intelijen Negara dan UU Intelijen Negara sebagai salah satu milestone penting depolitisasi intelijen, buku ini juga mencatat langkah depolitisasi intelijen lain yang telah dilakukan, seperti reorientasi fungsi BIN sebagai koordinator utama intelijen, pembentukan Dewan Analis Strategis (DAS) BIN sebagai ‘pendamping’ para agen dan analis intelijen dalam menyusun prakiraan intelijen, serta pembentukan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (Halaman 128-138). Jika diperhatikan, semua instrumen dan upaya depolitisasi intelijen tersebut terjadi di alam demokrasi pasca-1998, menandai bahwa reformasi dan gelombang demokratisasi menjadi titik penting perubahan intelijen negara menjadi semakin profesional.
----
Pada akhirnya, buku ini merekomendasikan setidaknya empat langkah kunci dalam membangun dan memperkuat fondasi intelijen yang profesional, yakni pertama, memastikan kriteria profesionalisme, pengalaman lapangan, kepemimpinan yang baik, dan memiliki jaringan kerja sama dalam serta luar negeri sebagai syarat kunci mengangkat kepala intelijen negara, didukung dengan relasi yang konstruktif dan kooperatif dengan presiden. Kedua, menjalankan agenda depolitisasi secara berkelanjutan. Ketiga, membatasi operasi intelijen dalam negeri untuk kepentingan publik, ketertiban umum, dan kemaslahatan bersama. Terakhir, keempat, meletakkan pemenuhan kepentingan nasional (national interest) dan penangkalan atas berbagai ancaman terhadap keamanan nasional (national security) sebagai motivasi utama dalam memutuskan serta mengimplementasikan kebijakan operasi intelijen luar negeri (Halaman 212-214).
ADVERTISEMENT
Tetapi, organ intelijen negara tidak bisa dibiarkan sendirian mereformasi dirinya. Keempat langkah kunci tersebut takkan bisa berjalan dan berarti apa-apa, tanpa adanya dorongan dari berbagai pihak yang melakukan pengawasan, baik pengawasan eksternal oleh parlemen, maupun pengawasan publik oleh akademia, komunitas epistemik, organisasi masyarakat sipil, media, dan kita, masyarakat pada umumnya.