ADVERTISEMENT
Baduy menjadi salah satu tempat pariwisata yang sering saya kunjungi, minimal dalam satu tahun sekali saya sempatkan diri untuk merasakan kesunyian yang sangat langka didapatkan di Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
Apalagi saat musim durian, itu menjadi alasan yang sulit untuk menolak untuk pergi ke sana.
Dari Bintaro ke Baduy, yang terletak di wilayah Kabupaten Lebak, Banten, biasa saya tempuh 3 jam perjalanan. Apalagi saat ini kondisi jalannya sudah bagus. Tidak seperti awal-awal saya datang ke sana pada tahun 2008 kondisi jalan aspal yang rusak karena sering dilewati truk bermuatan pasir.
Sebetulnya, waktu paling tepat berangkat ke sana yaitu sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, agar sampai di pintu masuk perkampungan Baduy tepat pada pukul 05.00 WIB. Saya suka berhenti sejenak menunggu matahari lebih tinggi sambil memandangi kabut yang berlapis menutupi hutan di Baduy.
Setiap kali ke Baduy saya menginap di rumah Narman atau di rumahnya Kang Sarpin, seorang warga Baduy luar, tetapi jauh-jauh hari saya sudah menelepon untuk mengabari saya akan ke sana. Saya menyiapkan bahan mentah untuk kebutuhan makan saya di sana. Tidak perlu khawatir, karena sebelum pintu masuk baduy banyak warung dan mini market. Nantinya, bahan-bahan mentah tersebut kita berikan ke istri pemilik rumah, untuk kemudian dimasak.
Sebetulnya, kesunyian saat malam hari itu yang menjadi alasan saya yang paling kuat untuk berkunjung ke sana. Alasan lainnya yaitu karena desain perkampungan dan rumah mereka yang membuat saya sangat nyaman.
Pada tahun 2017 saya ditelepon oleh teman, ia memberi tahu kalau kampung baduy luar terbakar habis. Satu kampung itu telah rata dengan tanah. Tidak pikir panjang, saya dan teman saya, langsung menghubungi para kerabat untuk meminta bantuan untuk bisa memberikan baju bekas layak pakaian, tikar, dan lain sebagainya. Alhamdulillah bantuan tersebut bisa kami kumpulkan dalam satu hari.
Saya berangkat ke Baduy bersama teman saya. Kami membawa dua mobil yang penuh barang untuk disumbangkan ke korban kebakaran warga Baduy Luar. Sekitar 1 Km sebelum masuk kampung baduy, teman saya yang bernama Narman (warga baduy luar) sudah menunggu untuk mengantar ke lokasi kebakaran tersebut. Karena kita tidak masuk dari gerbang masuk yang biasa digunakan pariwisata.
Naik mobil saja menuju lokasi kebakaran lebih dari 1 jam, apa lagi kalau mesti jalan dari gerbang utama, bisa-bisa bisa satu hari saya tempuh untuk sampai ke lokasi dengan membawa barang bantuan.
Lagi-lagi Baduy membuat saya belajar akan kehidupannya. Kang Sarpin dan Narman banyak cerita tentang kehidupan mereka sebagai warga Baduy luar. Sungguh harmonis kehidupan mereka dengan alam. Walaupun gempuran modernisasi datang bertubi-tubi, semoga mereka bisa mempertahankan budaya mereka hingga generasi selanjutnya.
ADVERTISEMENT