Aku, si Anak Beda Agama

Konten dari Pengguna
26 Mei 2017 13:44 WIB
comment
22
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditia Rizki Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aku, si Anak Beda Agama
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Islam itu memilik dua wajah: satu wajah pemarah, satu lagi wajah yang ramah.” --Stephen Sulaiman Schwartz
Hidup berjalan lancar dan normal-normal saja bagi saya, setidaknya begitu kisahnya hingga sampai 2008 silam.
Ketika itu saya baru saja naik ke kelas tiga SMP, dan hidup seolah sedang meminta waktu untuk diperhatikan.
Aku, si Anak Beda Agama (1)
zoom-in-whitePerbesar
Orang tua dan saya berbeda agama sejak saya berumur 13 tahun. Semua bermula dari beberapa hari sebelum Ramadhan 2008 dimulai.
Orang tua saya yang sejak dulu memeluk Islam sebagai kepercayaan mereka, memutuskan pindah keyakinan menuju Nasrani. Bapak lebih dulu pindah, dikuti ibu bersama dua adik dan satu kakak saya.
Saya sendiri, entah kenapa, saat itu tak terbesit sedikit pun untuk meninggalkan keyakinan saya akan Islam.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, karena saat mereka dibaptis di gereja, saya sendiri masih berada di sekolah. Masih sibuk bermain bola bersama kawan, sampai akhirnya lepas waktu empat sore saya baru tiba di depan rumah.
Namun, suasana rumah saat itu sudah sangat berbeda dari biasanya. Toko bapak tutup hari itu. Di rumah hanya ada sanak saudara yang sibuk lalu-lalang dengan raut wajah siap memukul orang.
Saya baru sadar, hari itu mereka marah karena saudara mereka meninggalkan keyakinan turun-temurun keluarga.
Saya “diamankan” sementara waktu di rumah nenek sampai beberapa hari di awal Ramadhan. Saya saat itu sama sekali belum bertemu ibu, bapak, adik, dan kakak.
Barulah beberapa hari berselang, ibu dan bapak dibawa paksa ke rumah nenek untuk “diadili”. Mereka disidang, dikerumuni orang-orang yang silih berganti bertanya tajam.
ADVERTISEMENT
Saya tak terlalu bisa memperhatikan. Anak kecil macam saya diasingkan di ruangan lain.
Namun, bapak tampaknya tak goyah dengan keputusannya. Ibu? Seperti tak punya pilihan lain selain ikut bapak, karena khawatir anak-anak bagaimana.
Aku, si Anak Beda Agama (2)
zoom-in-whitePerbesar
Sejak saat itu, kami berbeda.
Mungkin, sudah tak terhitung cemoohan baik dari keluarga besar dan lingkungan (yang Muslim) terhadap kami.
Saya pun tak luput dari perbincangan kawan atau orang-orang yang langsung merapatkan mulut mereka ke kuping orang sebelahnya sambil melirik tajam ke arah saya, tiap kali saya berlalu di depan mereka.
Pun keluarga besar yang semakin lama semakin menjauh dari kehidupan kami. Keberadaan bapak dan ibu yang Nasrani dianggap sebagai cela di mata keluarga dan lingkungan.
Keislaman saya diragukan karena semua anggota keluarga inti saya Nasrani.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya saya berdiri berseberangan dengan ibu dan bapak, juga adik dan kakak. Kami berpisah dari jalan yang pernah dilewati bersama.
Sejak awal saya selalu menolak ajakan untuk pergi ke gereja dan tetap salat walaupun harus menerima nada sindiran terlebih dulu dari bapak.
Hal itu terus terjadi, hingga akhirnya di usia saya yang menginjak 14 tahun, segala ajakan dan bentuk sindiran bapak semakin berani saya lawan. Bahkan tak jarang kami beradu mulut hanya karena hal sepele.
Memasuki masa remaja di SMA, ketika sedang panas-panasnya beragama, saya sempat mengintimidasi orang tua, khususnya ibu. Sekiranya beliau tidak kembali ke Islam, darah beliau halal bagi saya.
Entah berapa banyak dosa yang sudah saya lakukan terhadap ibu saya yang “kafir” itu, padahal tak pernah sedikitpun beliau berusaha untuk mengkristenkan saya.
ADVERTISEMENT
Sekiranya beliau mengedepankan keyakinannya di atas perannya sebagai seorang ibu, hari ini mungkin saya tak bisa menjadi apa-apa atau tak bisa sekadar menuliskan ini.
Banyak sekali yang bisa beliau lakukan. Beliau bisa saja menelantarkan saya, tidak menghiraukan pendidikan, tidak menyediakan makanan lezat yang tiap hari selalu tersedia.
Tapi saat bulan Ramadhan beliau tidak pernah sedikit pun mengeluh karena harus bangun tengah malam menyiapkan santap sahur, meski hanya saya seorang yang puasa.
Ibu tak pernah keberatan membuat cemilan dan santapan untuk berbuka, dan selalu mengajak semua berkumpul saat waktu berbuka, meski hanya satu orang yang berpuasa hari itu: saya.
Ia juga tak pernah melewatkan momen mempersiapkan santapan untuk Hari Raya Idul Fitri, meski tak pernah lagi sanak saudara menghampiri --bahkan ada atau tidak mereka (bapak dan ibu) di keluarga besar pun seolah tak dihiraukan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, ibu memilih untuk mengesampingkan perbedaan dan tetap merawat si anak yang berbeda dengan sepenuh hati.
Meskipun, di sela-sela waktunya, di antara ketegarannya dengan penolakan dari keluarga besar, sering kali saya mendapati beliau berdoa kepada Tuhannya.
Di awal ibu pindah agama, beliau sering kali mencoba untuk tidak terlihat oleh saya ketika beliau pergi beribadah. Sering kali beliau beralasan pergi ke rumah teman atau ke pasar, meskipun saya tahu dan itu menyakitkan, melihat beliau harus berbohong di depan anaknya sendiri.
Berdoa menjadi sumber kekuatannya, bertahan dari cemoohan, bertahan dari penolakan, bertahan dari segala kekurangan.
Saya mengutip kalimat dari seseorang yang memiliki jalan hampir sama. Ad dhua silahul mu’min --doa adalah senjata orang-orang beriman. Prinsip yang sama pada tiap agama.
ADVERTISEMENT
Ketika nenek sakit parah, tekanan keluarga besar semakin menjadi-jadi. Ibu yang ingin menjenguk orang tuanya malah ditolak dan dikatai haram menginjakkan kaki di rumah nenek, dan sangat haram bagi ibu dan bapak untuk datang melayat jika nanti nenek meninggal dunia.
Padahal jelas-jelas tiap kali nenek sakit, nama ibu saya yang beliau ucapkan. Nenek rindu pada anaknya.
Kondisi itu diperparah ketika kakak memutuskan menikah dengan pria Nasrani. Tak ada satu pun sanak saudara yang kemudian hadir mendampingi kakak maupun ibu dalam pernikahannya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana orang (baca: keluarga saya yang “kafir”) bisa tertarik masuk Islam dengan sederet perlakuan seperti itu?
Perjalanan ini, pengalaman ini, kemudian mengubah paradigma saya soal Islam.
Saya sangat mencintai Islam sehingga saya menolak untuk dibodoh-bodohi oleh mereka yang mempromosikan kebencian dan kedengkian atas nama Islam untuk mendiskriminasikan dan memojokkan agama lain.
Kembali saya mengutip tulisan dari dia yang sama, soal wajah Islam.
Islam memiliki dua wajah --seperti yang ditulis Stephen Sulaiman Schwartz dalam bukunya, Dua Wajah Islam: satu wajah pemarah, satu lagi wajah yang ramah.
Tolong baca ini perlahan.
Muslim yang pemarah akan sibuk mengedepankan dan hanya meihat keyakinan “kafir” seseorang dan mengabaikan kualitas dan ketulusan mereka dalam melayani sesama. Seperti perlakuan keluarga besar terhadap ibu, bapak, dan kakak saya.
ADVERTISEMENT
Saya, sejak dulu dan sampai kapanpun, tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Saya rindu dan ingin menampilkan Islam yang ramah dan menjadi rahmah. Bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin adalah sebuah kalimat penuh makna dan keajaiban jika kita menggunakannya secara bijak.
Namun, tampaknya itu bukan perjalanan yang mudah, karena membenci “kafir” lebih mudah daripada menyayanginya, bukan?
Tolong koreksi saya, karena masih banyak kisah yang jauh lebih panjang dan “mengajarkan” di luar sana.
P.S: Banyak keraguan, apa kisah ini harus saya tulis atau tidak. Berkali-kali saya merasa bahwa dengan mengisahkan ini berarti menceritakan aib terbesar keluarga saya. Namun, akhirnya tiba satu waktu di mana keyakinan soal kebermanfaatan bisa berbentuk apapun, maka ia menggerakkan jemari saya, perlahan, dan penuh kehati-hatian pada tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Sila, beri saya saran untuk memaafkan. Jika setuju bahwa doa adalah prinsip yang sama bagi setiap agama, maka tolong, berdoalah.