CEO Telegram Ajak Rudiantara Cari Cara Efisien Hadapi Propaganda ISIS

1 Agustus 2017 14:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
CEO dan Founder Telegram, Pavel Durov. (Foto: Instagram)
zoom-in-whitePerbesar
CEO dan Founder Telegram, Pavel Durov. (Foto: Instagram)
ADVERTISEMENT
Pendiri sekaligus CEO Telegram Pavel Durov diketahui telah tiba di Jakarta pada Selasa (1/8). Setelah makan siang bersama Menkominfo Rudiantara di sekitar Jakarta, Durov menyempatkan diri berkunjung ke kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jalan Medan Merdekat Barat, Jakarta Pusat, untuk membicarakan sejumlah hal penting. Pertemuan keduanya tentu saja membicarakan soal masa depan layanan Telegram di Indonesia. Jika Telegram mampu memenuhi permintaan Kemkominfo agar merespons cepat filter konten radikalisme dan terorisme, maka besar kemungkinan akses Internet ke Telegram versi web akan dibuka kembali, setelat sempat diblokir sejak 14 Juli 2017. Tidak lupa, pertemuan Durov dengan Rudiantara dan pejabat Kemkominfo, juga bertukar pikiran untuk mencari cara yang lebih efisien dalam memberantas konten propaganda ISIS. Hal ini dia sampaikan melalui cuitan di akun Twitter resminya.
ADVERTISEMENT
Kedatangan Durov ke Jakarta ini memberi pertanda bahwa dirinya dan para pengelola Telegram bersedia memenuhi permintaan Kemkominfo, sekaligus menjadi pertanda agar layanannya bisa dibuka kembali di Indonesia. Secara umum, Kemkominfo minta Telegram menyiapkan tim teknis dan perwakilan di Indonesia, lalu memperjelas standar operating procedure (SOP) dalam menangkal konten radikal juga terorisme. Permintaan lain yang diajukan kepada Telegram adalah dibuatnya saluran pemerintah, lalu menjadikan Kemkominfo sebagai Trusted Flagger atau pelapor terpercaya terhadap akun atau kanal di Telegram.
Pavel Durov di kantor Kemkominfo (Foto: Muhammad Fikrie/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pavel Durov di kantor Kemkominfo (Foto: Muhammad Fikrie/kumparan)
Konten negatif menjadi alasan Kemkominfo melakukan pemutusan akses aplikasi Telegram, setelah penyedia layanan itu tidak merespons permintaan untuk menghapusnya konten negatif yang dikirim sejak Maret 2016 dan terakhir pada 11 Juli 2017. Pemblokiran sejauh ini berada di level domain name system (DNS) sehingga berpengaruh ke layanan Telegram versi web, tetapi tak pengaruh ke layanan berbasis aplikasi ponsel. Pemerintah menilai Telegram memiliki banyak akun dan kanal yang bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan UU. Dirjen Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, memaparkan langkah menangkal konten terorisme dilakukan setelah ada isu yang mengancam keamanan negara terlebih mulai terjadinya perubahan geopolitik dan geostrategis di Asia Tenggara, terutama adanya serangan ISIS di kota Marawi, sebelah selatan Filipina.
ADVERTISEMENT