Langkah Transisi Energi, Mulai dari Reformasi Kebijakan Fiskal

Yayasan Indonesia Cerah
Akun resmi Yayasan Indonesia Cerah, organisasi nonprofit yang fokus mendorong transisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan.
Konten dari Pengguna
1 Juli 2022 15:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayasan Indonesia Cerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Perlu ada dukungan dan investasi fiskal demi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Diedit Yayasan Indonesia Cerah.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Perlu ada dukungan dan investasi fiskal demi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Diedit Yayasan Indonesia Cerah.
ADVERTISEMENT
Langkah dukungan sektor energi Indonesia dinilai menghambat transisi energi. Selama periode 2016-2020, dukungan yang dikucurkan pada energi fosil tercatat naik sekitar 30% atau setara Rp 246 triliun. Besaran tersebut 117 kali lebih tinggi dibandingkan dukungan untuk energi terbarukan yang justru turun dari Rp 3 triliun pada 2016 menjadi Rp 2 triliun pada 2020.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tercantum dalam laporan International Institute for Sustainable Development (IISD) yang bertajuk “Indonesia's Energy Support Measures: An inventory of incentives impacting the energy transition”. Studi yang dilakukan IISD mencakup dukungan yang diklasifikasikan secara resmi sebagai “subsidi” dan insentif yang mendukung berbagai jenis energi di Indonesia.
Laporan IISD mencatat, dukungan energi di Indonesia naik sebesar 38% dari Rp 203 triliun pada 2016 menjadi Rp 279 triliun pada 2020. Pada periode tersebut, rata-rata sebanyak 94% dukungan energi dialokasikan setiap tahun untuk mendukung bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, gas, serta listrik berbasis bahan bakar fosil, dan hanya 1% yang dialokasikan untuk energi terbarukan.
“Insentif ini mewakili biaya yang sangat besar untuk anggaran publik—terutama dalam konteks harga energi yang tinggi saat ini—dan sangat merugikan kesehatan masyarakat dan iklim,” kata Anissa Suharsono dari IISD, penulis utama laporan tersebut.
ADVERTISEMENT
Laporan ini memperingatkan bahwa dalam konteks harga energi yang tinggi saat ini, angka-angka dukungan ini diperkirakan meningkat secara signifikan pada 2022. Pada Mei lalu, Parlemen Indonesia telah menyetujui permintaan pemerintah untuk tambahan subsidi energi Rp 350 triliun, menambah Rp 154 ​​triliun yang telah dibelanjakan pada kuartal pertama tahun ini.
Para ahli memperingatkan, dukungan Indonesia yang tidak proporsional untuk bahan bakar fosil memperlambat transisi energi, menguras anggaran publik, mempercepat perubahan iklim, dan membahayakan kesehatan masyarakat. Kebijakan dukungan ini juga merusak target energi negara dan kewajiban lingkungan.
“Indonesia secara kritis perlu mengalihkan dukungan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan untuk memenuhi target iklim dan target bauran energi, dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang harganya tidak stabil,” tutur Annisa.
ADVERTISEMENT
Penulis laporan memberi rekomendasi konkret bagi pemerintah untuk menyelaraskan kembali insentifnya. Caranya, mereformasi kebijakan yang menguntungkan sektor fosil dan mengalihkannya ke investasi energi terbarukan. Reformasi ini akan membebaskan sumber daya yang dapat diinvestasikan dalam energi terbarukan, transportasi bersih, dan infrastruktur berkelanjutan.
Apalagi, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia perlu berinvestasi setidaknya Rp 500 triliun untuk mencapai tujuan energi bersihnya. Oleh karena itu, penting untuk memobilisasi lebih banyak dukungan untuk energi terbarukan untuk menandai peralihan nyata dari bahan bakar fosil.
Subsidi Langsung
Selain itu, di tengah melonjaknya harga energi dan krisis biaya hidup, menargetkan dukungan kepada masyarakat miskin dan rentan menjadi kunci untuk melestarikan sumber daya publik yang langka. Para ahli IISD merekomendasikan, anggaran ini harus digunakan secara efisien dan berfungsi untuk membuka jalan bagi transisi yang adil, jauh dari bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Untuk melakukan hal tersebut, pemerintah dapat memperbaiki kedua bentuk bantuan utamanya. Yaitu, subsidi ke PT Pertamina (Persero) untuk menjual bahan bakar di bawah harga pasar maupun subsidi ke PT PLN (Persero) untuk menyediakan listrik murah. Pasalnya, subsidi ini lebih banyak dinikmati masyarakat mampu yang memang mengkonsumsi lebih banyak listrik dan bahan bakar.
“Mereformasi kebijakan yang mendukung bahan bakar fosil dan memastikan bahwa kelompok berpenghasilan rendah menerima dukungan yang ditargetkan untuk menghadapi kenaikan harga, membuat sumber daya yang ada dapat diinvestasikan ke energi terbarukan, transportasi bersih, dan infrastruktur berkelanjutan,” kata Lourdes Sanchez, rekan penulis studi dari IISD.
Menurut dia, langkah tersebut akan memastikan orang miskin dilindungi sambil memungkinkan Indonesia beralih ke sumber energi terbarukan yang lebih tahan terhadap guncangan harga global dan menyediakan energi bersih yang terjangkau untuk semua orang.
ADVERTISEMENT