Diplomat 5G: Indonesia Perlu!

Adriani Kusumawardani
Directorate of ASEAN External Cooperation #sesdilu63
Konten dari Pengguna
8 Maret 2019 17:52 WIB
comment
30
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adriani Kusumawardani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(sumber image dari: https://www.networkworld.com/article/3203489/lan-wan/what-is-5g-wireless-networking-benefits-standards-availability-versus-lte.html)
5G Apa Itu?
Sebelum mengupas diplomat 5G, kita pahami bersama dulu apa artinya 5G dari pespektif teknologi informasi. Generasi ke 5 komunikasi mobile atau jaringan 5G adalah istilah yang digunakan untuk menyebut generasi kelima sebagai fase berikutnya dari standar telekomunikasi seluler yang melebihi 4G. jaringan 5G saat ini masih dalam pengembangan dan rencananya teknologi generasi kelima ini akan resmi dirilis untuk sistem operasi seluler pada tahun 2020. Teknologi 5G dapat mempercepat kehidupan digital di masa depan. Teknologi tersebut memungkinkan “Everything on Mobile and Connected” dimana semua hal dapat dioperasikan melalui perangkat gawai dan internet dan memungkinkan semua terkoneksi kapan saja dan dimana saja.
ADVERTISEMENT
Diplomat 5G Seperti Apa?
Dalam konteks diplomasi, maka Diplomat 5G dianalogikan sebagai diplomat yang serba cepat merespon isu-isu global strategis, tanggap terhadap permasalahan yang dapat berdampak masif, dan tepat dalam memberikan solusi pro-aksi dan rekomendasi kebijakan luar negeri untuk mengantisipasi berbagai reaksi dalam pencapaian kepentingan nasional Indonesia. Jadi, apa itu diplomat 5G?, terus bedanya dengan 4G?--tentu saja berbeda! dan perbedaan "angka" tersebut menjelaskan elemen kunci dan aspek penting yang harus dimiliki para Diplomat Indonesia. Layaknya teknologi, bila tidak "advanced" dan sudah "out of date" terutama dalam membangun kapasitasnya sebagai "coordinator", "bridging official" atau bahkan pembuka akses untuk semua pemangku kepentingan, dengan tujuan akhir yang wajib diperjuangkan dalam setiap langkah dan misi dari berbagai pertemuan (baca: forum bilateral, regional, multilateral) yang dirangkai yakni kepentingan Indonesia yang tertuang dalam baik RPJM, RPJP, UUD 1945 dan Program Strategis Nasional 5 tahunan. Jelas misinya.
ADVERTISEMENT
(sumber image: Facebook Is Hoping to Advance Ethics Research Regarding Artificial Intelligence – Adweek--adweek.com The social network is teaming up with the Technical University of Munich).
Techplomacy: Menuju Diplomat Indonesia 5G
Diplomasi di era teknologi informasi dan digitalisasi sistem saat ini mengalami perubahan mendasar, yang mempengaruhi karakter diplomasi seperti yang kita rasakan saat ini. Perubahan-perubahan ini juga mempengaruhi aspek domestik dan politik luar negeri yang dulunya tidak menjadi kendala dalam diplomasi. Perkembangan teknologi informasi, virtual reality (VR), artificial intelligence (AI) terutama digitalisasi, serta berbagai platform media sosial, nyatanya mempengaruhi cara kerja diplomat; juga pola kerja, strategi, bahkan pola pikir pelaku diplomasi domestik dan internasional, termasuk keterlibatan publik terhadap masalah kebijakan luar negeri dan ‘dahsyat’ intervensi diplomasi media sosial sangat kental dirasakan efeknya.
Diplomasi versi 5G tidak lagi ditentukan oleh aktor-aktornya, melainkan oleh dinamika komunikasinya- apakah pemerintah, non-pemerintah, atau publik. "Situs diplomatik" yang menempatkan diplomasi dalam ranah realitas sosial. Fenomena seperti isu Brexit, Presiden Trump dengan kebijakan America-First nya, dan sentimen anti-imigran adalah bagian dari konsekuensi tersebut. Karena itu penting bagi para diplomat untuk memahami dinamika situs diplomatik baru ini.
ADVERTISEMENT
“Emosi” telah menjadi dinamika yang ‘mempengaruhi’ dan menembus hampir setiap aspek pengalaman daring (dalam jaringan), mulai dari nature gawai dan perangkat elektronik yang selalu lekat dengan kehidupan kita, hingga kedekatan interaksi pribadi dan visual yang mampu membakar kepekaan kita. Saat ini makin disadari bahwa inovasi aplikasi teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pengalaman indrawi. Popularitas permainan virtual dan augmented reality, misalnya, sebagian bersandar pada teknologi media yang makin meningkatkan keterlibatan emosional di ruang publik. Kebebasan mengekspresikan ‘emosi’ cenderung lebih eksplisit, bahkan sengaja vokal, terlihat tebal dan kadang ‘mengganggu’.
Diplomat 5G perlu strategi jitu untuk menanggapi inovasi ‘emosi’ dalam diplomasi ala “Internets of Things” (IoTs) ini. Tingginya sensitivitas saja tidak cukup untuk merespon emosi publik terhadap isu-isu ‘delicate and sensitive’, seperti isu Palestina, isu Rakhine State, dan isu minyak sawit kita—
ADVERTISEMENT
Emosi dan aksi politik menyatu sebagai fenomena yang meningkat dari jaringan pribadi spontan kemudian muncul dengan cepat (baca: viral berlanjut seperti diplomasi megafon) sebagai "partisipasi politik berskala besar” dan menjadi "politik yang dipersonalisasi". Kontrol dan antisipasinya tidak mudah, bahkan dapat mengubah institutional branding dalam sekejap—sehingga ‘cap’ bahwa suatu kementerian dianggap tidak tanggap, lamban, dan tidak peka akan mudah diangkat ketimbang proses lobby dan diplomasi intensif yang masih bergulir untuk mencapai kesepakatan dengan berlandaskan kedaulatan negara dan penghormatan hak asasi manusia yang terus dikedepankan. Artinya kohesi sosial perlu dipelihara, ditingkatkan melalui promosi citra nasional yang positif secara berkelanjutan.
Dalam lingkungan online, identitas bisa berupa perasaan yang dibagi. Publik mengenali diri mereka sendiri dalam emosi orang lain: "marah seperti saya”. Komunitas virtual online yang didukung oleh ‘koneksi emosional’ dan ‘rasa memiliki’ dapat dicontohkan ketika seseorang (invidu) mencari seseorang -satu sama lain- secara offline untuk mempromosikan agendanya, misalnya, perekrutan ISIS—ini mencontohkan pendekatan yang sangat relasional dan emosional dengan menekankan identitas dan kepemilikan bersama. Panggilan itu adalah relasional, berbicara dengan ikatan persaudaraan yang "sekeyakinan". Pengambilan perspektif dan empati emosional juga merupakan alat rekrutmen yang sangat penting. Proses perekrutan dengan “melibatkan individu sebagai individu” yang mendengarkan dan menanggapi keprihatinan pribadi mereka dan seolah peduli kehidupan mereka, membuat individu merasa dihargai dan diperhatikan, sehingga menciptakan rasa kehangatan, inklusi, dan kepemilikan (saling keterkaitan dan memiliki).
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, strategi kontra-narasi yang bersifat mengintimidasi-mengancam atau merendahkan publik atau individu menjadi tidak tepat dalam memecahkan ikatan emosional yang mengikat identitas yang dirasakan dalam masyarakat. Diplomat perlu memanfaatkan kekuatan media sosial, big data, dan Internets of Things (IoTs) untuk memaksimalkan peran ‘gawai pintar’ dan ‘pita lebar’ dalam semangat diplomasi publik, komunikasi krisis, dan keterlibatan diaspora, sehingga meningkatkan kredensial ‘soft power' sebagai pemimpin dan inovator diplomatik. Di tingkat nasional, Indonesia perlu segera menata sistem diplomatik nasional yang mencakup jaringan kompleks lembaga pemerintah dan non-pemerintah--yang membentuk arsitektur digital kebijakan luar negeri—termasuk sistem diplomatik digital--yang meliputi ‘network of networks’ semua kedutaan, konsulat, think tanks, perusahaan swasta, organisasi regional dan internasional, dan kelompok masyarakat sipil yang berkontribusi dan membentuk profil diplomatik digital negara Indonesia. Sungguh ini tidak mudah, tapi dapat dilaksanakan dengan kolektif komitmen untuk menjaga kepentingan nasional dan menterjemahkan cita-cita luhur seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
ADVERTISEMENT
(Sumber image: NBS What we learnt about artificial intelligence in the built environment from ICE's Forrest Lecture 2017 | NBS)
Masa Depan Diplomasi 5G
Tantangan diplomasi digital bukan tentang alat digital atau mempelajari media komunikasi baru. Tantangannya adalah menavigasikan dinamika ruang diplomatik publik yang muncul, yang tumbuh secara online dan kemudian berkembang secara offline. Tren ini cenderung meningkat. Pada akhirnya, dimensi manusia-lah yang akan menjadi titik kritis dalam meningkatkan efektivitas dan efikasi diplomasi baik di ruang diplomatik online-offline. Ya, meningkatkan dimensi manusia alias memasukkan kembali nilai humanisme transedental dalam kegiatan diplomasi.
Ketika media sosial dan teknologi-nya makin maju dan advanced, maka ‘tentang publik’ menjadi semakin mengena. Hebatnya, justru saat inilah makin diperlukan inti ‘tradisional diplomasi’ dalam mengelola hubungan antar manusia, yang ke depannya membutuhkan pengembangan keterampilan diplomatik untuk menanggapi ‘emosional publik’ dengan strategi tepat-tanggap empati dan solusi yang inovatif. Pada saat yang sama, prinsip-prinsip representatif bertumpu pada nilai demokrasi, integritas NKRI, kedaulatan negara, harus dijaga tetap utuh. Tidak mudah, namun bisa dipelajari, dipahami dengan benar, dan bergegas untuk dilakonkan—tentu saja atas nama Indonesia dan kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Gampangnya, Diplomat 5G adalah:
1. berpola-pikir global dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional,
2. cerdas merespon berbagai isu strategis yang berdampak masif terhadap perikehidupan bangsa Indonesia,
3. mampu menciptakan peluang dan mengoptimalkan potensi dalam situasi-kondisi krisis,
4. terus berkarya dengan mengartikulasikan kreativitas dan solusi inovasi, dan
5. berperilaku santun dengan senantiasa menebalkan nilai-nilai kemanusiaan yang berakhlak
Untuk kerennya, 5G dapat diasosiasikan dengan kata atau frasa berbahasa Inggris yang ber-awalan dengan huruf G dan bernilai positif, seperti: Genius, Goals-Oriented (but always put on national interests at the highest), Great Personality, Generous in innovative and creative ideas, and God’s divine nature (sifat-sifat baik/positif yang ada dalam diri manusia sebagai ciptaan Tuhan). Kenapa tidak?
ADVERTISEMENT