Maharani Ayuk L dalam Pentas Tari KiNG: Cenderawasih yang Mulai Punah dari Layar Laptopmu

Konten dari Pengguna
1 April 2018 23:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrianne Claudia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekarang ini kau bisa jadi sedang berada di hadapan layar laptop, atau sekadar menggeser-geser layar sentuh telepon pintarmu. Barangkali kau sedang membuka aplikasi Kumparan di android, atau langsung di situs web utama. Dewasa ini, upaya untuk mengakses informasi tak perlu lagi mengambil jalan yang merepotkan. Kemajuan teknologi dan kecanggihan media digital sudah menjadi keseharian yang tak terlepaskan. Kita hanya perlu mengklik beragam tautan di internet dan sabar-sabar melahap konten dengan kritis. Kemudahan ini juga dimanfaatkan betul oleh Maharani Ayuk L bersama dengan segenap tim Maha Dance dalam produksi tari KiNG di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Sabtu kemarin (31/3/2018).
KiNG adalah pentas tari naratif oleh grup tari Maha Dance (2015) yang mengangkat masalah kelangkaan burung Cenderawasih sebagai simbol dan jantung alam Tanah Papua. Ia, bersama sembilan tim penampil lain, telah lolos kurasi Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia yang diselenggarakan atas kerja sama Bakti Budaya Djarum Foundation dan Garin Workshop.
ADVERTISEMENT
Lolosnya Maha Dance dalam workshop ini bukan tidak beralasan. Kualitas tari yang dijaga oleh Maharani, alumnus seni tari Institut Seni Indonesia, Surakarta, sekaligus alumnus Hibah Dana Seni Yayasan Kelola 2016 tidak main-main. Sebagai dosen seni tari Institut Seni Budaya Indonesia, Papua, beliau telah membimbing mahasiswa dan mahasiswinya, sebutlah 'Anjar' Noam Msen, 'Griece' Martha Deda, Melfritin 'Mey' Waimbo, Fachry 'Ai' Destyanto Matlawa, 'Frans' Junias Jugganza, Ahmad 'Nur', dan 'Rudy' L. Karel Mandosir, lewat kurasi yang ketat. Masing-masing dari mereka telah memiliki sepak terjang dan kemampuan dasar tari di atas standar.
Selain itu, konsep yang urgen juga menjadi keunggulan yang patut diperhitungkan dari grup tari Maha Dance. Ini bagian menariknya: riset awal Maharani soal burung Cenderawasih hanya lewat menonton video di Youtube! "Aku sangat jatuh cinta sama burung Cenderawasih. Mereka bukan cuma bulunya yang indah, tapi mereka sendiri penari yang handal! Tapi sebenarnya aku gak pernah lihat Cenderawasih langsung," katanya pada sesi tanya jawab, disusul tawa para penonton.
Maharani mengaku baru menetap di Papua selama 1,5 tahun, dan hanya mengamati keindahan dan perilaku burung Cenderawasih lewat dokumentasi badan riset alam mancanegara seperti BBC yang diunggah di Youtube. Namun, di sini justru sihir Maharani bermain. Hanya dari pengamatan lewat media digital, beliau dapat menangkap dan mengembangkan gerak-gerik burung Cenderawasih genus Parotia secara detail menjadi susunan koreografi yang komprehensif, dengan memadukan energi dasar gerak hiphop dan gerak tradisional Papua sebagai aliran tari yang telah dikuasai timnya.
ADVERTISEMENT
Hasil pertunjukan di atas panggung dengan durasi 55 menit memberikan gambaran kerasnya proses latihan yang para penari jalani selama 6 bulan dalam mencapai standar tata gerak yang diarahkan Maharani: keringat deras yang bercucuran berkilat-kilat ditembak cahaya panggung, eksplorasi karakter masing-masing Cenderawasih yang unik dengan pakem gerak yang rapi, serta konsistensi dan durabilitas penari dalam mempraktekkan gerak tubuh yang ganjil menjadi detail yang cantik untuk dinikmati.
Untuk mencapai standar tersebut, fisik dan mental pemain ditempa selama 5 hari aktif dalam seminggu sejak bulan September 2017. Kendala fisik yang kaget karena kerasnya latihan banyak dihadapi, seperti linu-linu karena harus senantiasa menjinjitkan kaki, dan pegal di leher karena harus melulu diliuk-liukkan ala Tina Toon. "Kepala saya tidak bisa balik esok paginya ketika dipanggil Mama," seloroh Anjar, salah satu penari.
Dari intensnya pengenalan tubuh mereka terhadap burung Cenderawasih yang mereka perankan, penonton dibuat bolak-balik takjub, terpingkal, dan sentimental menyaksikan penampilan mereka yang benar-benar menjadi Cenderawasih. Proses pendekatan ketubuhan manusia yang mereka alami dalam memahami dan memresentasikan Cenderawasih membuat penonton tidak hanya turut intim dan kenal raja dari segala burung Papua ini, tetapi juga menjadi bersemangat untuk ikut-ikutan menirukan gerakan dan suaranya dalam sesi-sesi partisipatoris. Mereka tidak hanya menari; mereka berperan menjadi Cenderawasih itu sendiri. Begitulah seni pertunjukan yang koheren: tidak hanya indah, tetapi juga menyentuh.
ADVERTISEMENT
Dengan metode yang demikian intim, pesan utama Maha Dance berhasil tampil dan merasuk dengan apik; bahwa burung Cenderawasih bukanlah sekadar objek atributif cinderamata khas turisme, melainkan subjek yang patut dimaknai sebagai kawan di alam kita ini. Mereka memiliki hidupnya sendiri: mereka bisa jadi usil dan riang, mereka berteman, berkelompok, dan bisa juga merasa terancam dan pilu.
Maka dari itu, panggung Galeri Indonesia Kaya menjadi panggung yang strategis. Selain menjadi ruang bagi seniman-seniman muda dari seluruh penjuru Nusantara untuk berkarya, ia juga hadir di jantung ibukota Jakarta yang demikian urban dan banal. Di sana, KiNG tidak jadi sekadar hiburan, tetapi juga menjadi pengalaman kontemplatif yang mampu memperkenalkan apa yang selama ini luput di Jakarta. Tidak berhenti di situ, pesan dalam pentas KiNG juga akan kembali disebarkan Maharani selaku koreografer sekaligus produser di beberapa kota lain seperti Solo, Yogyakarta, Bali, dan Surabaya.
ADVERTISEMENT
Pentas tari naratif KiNG telah membuktikan bahwa, dengan segala keterbatasan yang ada, semangat belajar dan mengenal masih sangat mungkin diimplementasikan di tengah arus masyarakat yang serba sibuk. Maharani Ayuk L dan grup tari Maha Dance telah berhasil mentransformasikan informasi dari media digital menjadi pengalaman burung Cenderawasih dan Tanah Papua yang hidup dalam tubuh para penari.
Dalam mengenal yang tak kita kenal, kita bisa memilih untuk berhenti pada gambar burung Cenderawasih di buku pelajaran biologi sebagai satwa di balik batas garis Weber (atau kini muncul batas baru Lydekker). Kita bisa memilih untuk berhenti pada visual patung Pembebasan Irian Barat di Taman Lapangan Banteng. Kita bisa memilih untuk berhenti pada judul-judul berita utama yang clickbait dalam menyoal Freeport. Kita bisa memilih untuk berhenti pada debat kusir gizi buruk suku Asmat dalam wacana populer Kartu Kuning UI. Namun, kita bisa juga memilih untuk mengklik lebih banyak, melahap lebih sabar, dan memaknai lebih kritis.
Semoga pesan dari grup tari Maha Dance bisa sampai tidak hanya pada layar laptop dan telepon pintar kita, tetapi juga bahan pertimbangan kita dalam mengenal yang tak kita kenal.
ADVERTISEMENT
#IndonesiaKaya #RuangKreatifSeni