Jebakan 'Neoliberal Urbanism' Ibu Kota Baru

Adriansyah Dhani Darmawan
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik UGM - Asisten Pratama Ombudsman RI
Konten dari Pengguna
19 April 2021 12:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adriansyah Dhani Darmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Visualisasi desain Istana Negara di ibu kota baru. Foto: Bappenas/@suharsomonoarfa
zoom-in-whitePerbesar
Visualisasi desain Istana Negara di ibu kota baru. Foto: Bappenas/@suharsomonoarfa
ADVERTISEMENT
Rencana proyek pemindahan ibu kota ke Provinsi Kalimantan Timur terus berlanjut. Tahun ini, pemerintah menargetkan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya proses pembangunan. Dibangun di atas lahan kurang lebih 250 ribu hektare, penciptaan ibu kota baru diproyeksikan sebagai kota masa depan dengan konsep smart city
ADVERTISEMENT
(Kota cerdas) yang berkarakter green and sustainable. Pada tataran gagasan, tentu impian tersebut layak kita dukung sebagai upaya menyelesaikan persoalan urban seturut menghadirkan ruang nyaman bagi para penduduknya. Namun, dalam tataran strategi pelaksanaan, pertanyaan mengenai kapabilitas dan keberpihakan pemerintah patut kita angkat ke permukaan. Mungkinkah pemerintah menyelesaikan pemindahan ibu kota hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun? Jika saja mungkin dengan sistem kebut, lantas siapa sebenarnya ‘pemilik’ ibu kota baru nanti?
Visualisasi Desain Istana untuk Ibu Kota Baru, sumber: kumparan.com
Kita sama-sama sepakat bahwa pemindahan ibu kota bukanlah kebijakan sederhana. Karenanya banyak faktor yang wajib diperhitungkan secara serius mulai dari sisi ekonomi, sosial, dan potensi konsekuensi tak terduganya (unintended consequences). Ketidakmampuan dalam mengkalkulasi ragam faktor tersebut pada akhirnya akan membawa kita pada persoalan spasial yang kontraproduktif dengan tujuan awal. Alih-alih memberi kemanfaatan bagi setiap penduduk, pengaplikasian kota cerdas yang tak matang dalam perencanaan justru menghasilkan relasi transaksional pada ruang kota yang kerap kali meminggirkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Terhimpit Orientasi Pasar
Pembiayaan yang sangat mahal merupakan salah satu ciri melekat dari kota cerdas. Kondisi tersebut muncul sebagai konsekuensi dari faktor ketergantungan ekosistem kota pada penggunaan teknologi dan informasi yang terintegrasi untuk melahirkan produk-produk pelayanan publik berkelanjutan kepada setiap penduduk kota. Sementara di satu sisi, anggaran publik memiliki keterbatasannya sendiri di mana tak mampu menjadi satu-satunya sumber pembiayaan guna mewujudkan kota cerdas. Dihadapkan pada situasi seperti itu, maka pelibatan aktor ekonomi untuk masuk dalam proses kebijakan pun dipilih sebagai opsi jalan keluar.
Demikianlah yang terjadi dalam rencana pemindahan sekaligus pembentukan ruang untuk ibu kota baru nanti. Melalui rincian yang dipaparkan Menteri Keuangan, keperluan total pendanaan mencapai Rp 466 triliun dengan komposisi pembagian pos anggaran dari APBN sebesar Rp 89,4 triliun (19,2%), melalui skema kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebesar Rp 253,4 triliun (54,4%), serta dari pendanaan swasta sebesar Rp 123,2 triliun (26,4%). Meski memang tak memberatkan anggaran negara, namun skema tersebut menunjukkan adanya dominasi sumber pendanaan dari pihak non-publik.
ADVERTISEMENT
Penerapan skema pembiayaan tersebut menuntut ekstra kehati-hatian bagi pemerintah untuk tak terperangkap pada logika pasar dalam mendesain ruang produktif ibu kota baru. Jika hal ini diabaikan maka potensi untuk terjebak pada neoliberal urbanism akan semakin nyata di mana pasar yang memegang kendali dalam mengatur tipe layanan, infrastruktur, dan sumber daya publik termasuk urusan hunian yang akan diberikan kepada penduduk kota (Cardullo & Kitchin, 2019). Kondisi ini telah terjadi di beberapa kota di dataran Eropa sehingga perlu kita jadikan catatan bersama sebelum melangkah terlalu jauh dalam diskursus ibu kota baru.
Dengan alasan yang sama, yaitu penghematan anggaran publik, pihak otoritas Komisi Eropa (European Commission) memberikan bantuan pendanaan melalui kerja sama dengan sektor privat bagi wilayah urban di Eropa untuk meningkatkan kualitas layanan berbasis kota cerdas. Salah satu contoh jebakan logika neoliberal dapat kita temukan di Kota Dublin, Irlandia di mana pembangunan urban justru meninggalkan posisi pasif bagi masyarakat untuk bisa terlibat dalam produksi ruang publik. Kapasitas masyarakat akhirnya tereduksi oleh posisi tawar yang dimiliki kalangan pengusaha dan pemerintah kota. Dua entitas aktor yang disebut terakhir cenderung memiliki kuasa untuk memutuskan dan menentukan apa yang terbaik dan dibutuhkan oleh masyarakat tanpa memberi ruang bagi terakomodasinya perspektif organik dari masyarakat itu sendiri dalam tata kelola urban.
ADVERTISEMENT
Di negeri tetangga, konsekuensi dari tipe perencanaan elitis dan teknokratis seperti itu bisa kita jumpai pada kasus Kota Cyberjaya di Malaysia. Dirancang sebagai pusat pertumbuhan teknologi dan informasi sekaligus perkembangan kota masa depan Malaysia, Cyberjaya justru tertatih untuk memantapkan brandingnya. Aspek aksesibilitas lokasi menjadi salah satu sumber masalah sehingga menempatkan Cyberjaya untuk berakhir sebagai kota fungsional yang kosong oleh karena tak mampu memprioritaskan kebutuhan riil penduduknya.
Perencanaan Deliberatif
Melalui magnum opusnya berjudul “The Production of Space”, sosiolog Henri Lefebvre memberi penekanan bahwa warga tidak hanya memiliki hak untuk tinggal dan menggunakan ruang publik namun juga turut membentuk ruang tersebut berdasarkan pada apa yang dibutuhkan warga dalam aktivitas kesehariannya. Sejurus dengan hal ini maka diperlukan keberpihakan pemerintah untuk menjamin keterlibatan warga melalui peta kebijakan perencanaan deliberatif ibu kota baru.
ADVERTISEMENT
Pertama, transparansi skema KPBU dan pendanaan swasta. Dari prinsip ini maka masyarakat dapat memantau secara terbuka mengenai pihak yang terlibat, usulan desain, dan bagaimana penduduk diposisikan dalam proses pengembangan ruang kota (apakah sebagai warga atau sebatas konsumen layanan). Situasi ini juga merupakan pintu masuk bagi masyarakat untuk dapat memiliki informasi komprehensif sebagai basis kuasanya ketika berhadapan dengan para pengembang (developer) yang tak kalah aktif mendekati pemerintah untuk menawarkan kerja sama pengembangan properti di wilayah ibu kota negara. Dengannya, konsekuensi tak terduga dari adanya segregasi ruang oleh para pengembang dapat diminimalisir sehingga aksesibilitas layanan perkotaan memiliki ketepatan dan kesetaraan peruntukan bagi semua penduduknya.
Kedua, membuka ruang partisipasi aktif warga sebagai pemilik kontrol. Keterlibatan ini harus terjamin dalam keseluruhan proses mulai dari desain perencanaan sampai pada pengambilan keputusan. Dalam visi dan misi pembangunan Ibu Kota Negara, salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah menjadikan wilayah tersebut sebagai kota paling berkelanjutan. Ruang partisipasi warga menemukan titik urgensinya untuk bisa sampai pada gagasan keberlanjutan tersebut agar proses produksi ruang ibu kota baru tidak menyingkirkan entitas masyarakat yang lemah secara ekonomi maupun politik.
ADVERTISEMENT
Perlu menjadi perhatian bahwa ibu kota baru tidak dibangun di atas lahan kosong. Artinya, saat ini telah terdapat masyarakat asli yang bermukim di sekitar calon lokasi dengan karakter kultural dan kapasitas sumber daya yang berbeda dengan para pendatang nantinya. Untuk itulah afirmasi ruang bagi masyarakat lokal harus dipastikan agar dapat terlibat dalam merancang kota yang tak mencederai nilai-nilai kultural sekaligus sesuai dengan apa yang mereka butuhkan dalam proses produksi ibu kota baru.
Berpijak pada perspektif perencanaan deliberatif, maka warga dengan seperangkat ide dan gagasan tentang kebutuhan kota, menjadi inti dari pembangunan ibu kota negara sebagai kota cerdas masa depan. Perspektif ini juga menghindarkan perencanaan pembangunan untuk disetir oleh pasar di mana penyediaan layanan publik terperangkap oleh logika profit-oriented. Jika mengharapkan kepemilikan sepenuhnya oleh masyarakat atas ruang ibu kota baru adalah cita-cita utopis, setidaknya melalui pembukaan ruang partisipatif dapat menyetarakan posisi tawar masyarakat di hadapan para teknokrat bisnis maupun administratif.
ADVERTISEMENT