Menggugat Moralitas Ganda dalam Beragama

Adriansyah Dhani Darmawan
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik UGM - Asisten Pratama Ombudsman RI
Konten dari Pengguna
25 April 2021 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adriansyah Dhani Darmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bulan Ramadan. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bulan Ramadan. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masuk pertengahan bulan ramadhan kiranya menjadi momen reflektif bagi kita umat muslim untuk dapat merengkuh rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Tentu hal tersebut cukup sulit kita peroleh jika saja hubungan kemanusiaan kita tidak berjalan dalam koridor afeksi secara universal. Artinya, kesadaran akan ragam golongan manusia yang menghidupi muka bumi harus kita bawa pada implementasi praktik beragama untuk tak melulu memaksakan ego religiositas pada yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Kalau kesadaran ini dapat dipegang teguh, niscaya tidak akan muncul percekcokan usang tentang toa masjid yang mengganggu atau pun penutupan paksa warung makan di siang hari. Tapi, fakta berkata lain. Kita terus dan masih saja beranggapan pengagungan ego beragama sebagai suatu ekspresi kesalehan individu. Kita paksakan “kondisi sebagai mayoritas” agar mau tidak mau harus diterima bagi kelompok lain.
Pilihan perlakuan yang keliru dalam memosisikan praktik agama bisa saja menghantarkan kita pada kondisi konflik-konflik sosial. Sangatlah mudah bagi kita mengurai ingatan tentang bagaimana polarisasi masyarakat terbentuk dikarenakan sentimen agama yang terus menerus dikomodifikasi untuk kepentingan tertentu. Jika hal itu terulang kembali, bukan saja jalinan kerukunan sebagai bangsa akan rusak, namun juga kerugian-kerugian sosial ekonomi turut muncul sebagai imbas.
ADVERTISEMENT
Di tangan orang yang sukses menjadikan agama sebagai alat distorsi sosial, penulis teringat dengan sepenggal kalimat Marx yang menganggap agama adalah candu. Dalam konteks yang utuh, kira-kira kalimat tersebut berbunyi seperti ini: “Agama adalah keluhan dari masyarakat tertindas, hati dari dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari kondisi yang tidak berjiwa. Agama adalah opium masyarakat."
Setidaknya, ada dua esensi makna yang dapat kita renungi dari kalimat tersebut. Di satu sisi, agama menempati posisi penting sebagai sumber rujukan dalam ruang interaksi sosial ataupun pengambilan keputusan untuk merespons kondisi yang terjadi di luar kedirian individu. Namun di sisi lain, ekses yang ditimbulkan adalah hadirnya ilusi kebahagiaan di mana individu terlampau menggantungkan gambaran hidup bahagia dalam rumusan-rumusan formalistik yang diusung agama. Adanya ilusi kebahagiaan inilah yang digarap oleh orang maupun kelompok tertentu sebagai pintu masuk untuk melancarkan strategi propaganda politik sesuai dengan kepentingannya. Unsur formalitas agama kemudian dijadikan sebagai acuan daya pikat dan tolok ukur kesalehan seseorang.
ADVERTISEMENT
Gus Dur dan Kemanusiaan Universal
Tentu kita pahami bersama bahwa Gus Dur memiliki prinsip untuk selalu menempatkan kemanusiaan universal sebagai fondasi utama dalam bertindak. Tak terkecuali ketika mengejawantahkan ajaran agama dalam tataran praktik keseharian maupun dalam konteks kebangsaan. Bagi Gus Dur, tak ada yang lebih penting selain terjaminnya nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan ini harus diletakkan melampaui sekat-sekat agama, suku, ras, golongan, atau pun asosiasi politik tertentu. Apabila umat islam berkeinginan membawa ajaran agama dalam dinamika bernegara, maka arah geraknya perlu sinkron dengan nilai kemanusiaan tersebut.
Bukan hal mudah memang, namun juga bukan hal yang sulit. Dalam praktiknya kita sering kali terperangkap dalam jebakan moralitas ganda beragama. Manifestasi moralitas ganda–disebutkan oleh Gus Dur di dalam salah satu esainya–terlihat jelas dari kegairahan umat untuk berlomba mendirikan tempat ibadah dengan arsitektur megah namun tidak dibarengi mengasah kepekaan pada penderitaan manusia; juga dalam gelora melakukan ritus-ritus keagamaan tanpa merasa malu melakoni gaya hidup mewah di tengah kemiskinan yang belum usai; atau yang paling memilukan, moralitas ganda yang ditunjukkan oleh arogansi pemuka agama untuk menggerakkan massa mereka demi tujuan-tujuan yang bersifat pribadi dan eksklusif. Contoh-contoh tersebut masih dengan gampangnya kita temui hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Lantas harus bagaimana umat islam menyikapi hal ini? Gus Dur dengan sangat arif menempatkan moralitas agama sebagai cerminan laku hidup untuk berpihak pada kemanusiaan. Pemikiran Gus Dur ini berpijak pada keyakinan bahwa moralitas agama harus diekspresikan sejalan dengan tugas utama agama itu sendiri, yaitu untuk mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan. Karenanya, penting bagi umat islam untuk menampilkan wajah moralitas agama dalam bentuk keterlibatan pada perjuangan kaum tertindas, kelompok miskin, dan mereka yang dikalahkan untuk tetap memperoleh keadilan ataupun kehidupan yang layak. Ekspresi moral agama, dengan demikian, bukan hanya berfokus pada kebaikan individu ataupun umat islam sendiri, melainkan juga menargetkan perbaikan secara lebih luas dan inklusif untuk semua manusia. Di titik inilah nuansa sejuk agama islam sebagai rahmatan lil alamin akan terasa.
ADVERTISEMENT
Pandangan Gus Dur kiranya masih relevan dengan situasi saat ini. Daripada gaduh pada hal-hal yang hanya memuaskan ego internal kelompok, ada baiknya perjuangan umat islam memberikan manfaat untuk masyarakat dan pembangunan bangsa.
Banyak isu-isu kemanusiaan yang jauh lebih mendesak untuk diperjuangkan. Sebut saja praktik perampasan lahan adat oleh negara dan korporasi raksasa yang belum juga tuntas; atau hak-hak para pekerja terus-menerus dipreteli oleh kebijakan elite; krisis lingkungan hidup yang belum memperoleh perhatian ekstra dari negara; tidak meratanya aspek pembangunan sumber daya di beberapa wilayah; masih adanya rasa tidak aman bagi saudara-saudara kita dalam mengekspresikan keyakinannya di ruang publik; juga kemiskinan dan pengangguran yang masih membayangi sebagian besar masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Semua isu tersebut berdampak langsung bagi saudara kita yang lemah secara sosial, politik, maupun ekonomi. Membersamai mereka dalam kerangka perjuangan umat adalah jalan paling tepat mengartikulasikan ajaran agama untuk kehidupan bernegara. Inilah bentuk perjuangan yang dilandaskan pada moralitas agama yang tidak hanya bersifat ilusi kebahagiaan. Arah juangnya ditargetkan untuk kemaslahatan masyarakat luas yang ingin dicapai tanpa terperangkap menuruti egoisme beragama.
Gus Dur telah memberikan "panduan" untuk kita dan menunjukkan relasi teduh antara agama, kemanusiaan, dan proses bernegara. Bagi saya, panduan inilah yang mampu merepresentasikan wajah islam penuh rahmat. Bukannya wajah agama yang marah dan menakutkan sebagaimana dianut oleh sedikit orang tersebut.
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock