Di Balik Kekhawatiran Irasional Seorang Ibu

Adrianto Sukarso
Mahasiswa prodi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta yang sedang berusaha mengembangkan kemampuan dalam menulis
Konten dari Pengguna
15 Juli 2021 19:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrianto Sukarso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang Ibu bisa mengalami kekhawatiran terkait apapun (Sumber: unsplash.com/Steven HWG)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang Ibu bisa mengalami kekhawatiran terkait apapun (Sumber: unsplash.com/Steven HWG)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siang itu bukanlah siang yang paling ramai. Maklum, cuaca terik kala itu, membuat tidak banyak orang ingin melakukan aktivitas di luar rumah. Tidak banyak kendaraan berlalu-lalang di jalan. Hanya ada segelintir pengguna motor dan mobil melintasi jalanan yang biasanya terlihat padat tanpa memandang waktu. Namun, menjelang sore hari, jalanan justru disesaki oleh puluhan kendaraan yang entah darimana datangnya.
ADVERTISEMENT
Ibu baru saja kembali dari pusat perbelanjaan. Bermodalkan motor Honda Scoopy, Ibu berhasil memuat berbagai macam belanjaan ke atas motor tersebut. Mi instan, beras, minyak, obat-obatan, vitamin hingga masker, semua lengkap. "Nanti malam pasti udah habis ini semua," celotehnya sambil menurunkan barang belanjaannya dari motor.
Benar saja. Menjelang waktu Isya, harga dari kebutuhan pokok perlahan meningkat. Obat-obatan dan juga vitamin yang biasa ditemukan di apotek terdekat, hanya tersisa sedikit sekali. Lebih buruk, masker wajah, yang umumnya hanya dipakai oleh orang-orang sakit, tidak lagi dapat ditemukan baik di minimarket, toko swalayan, atau toko obat. Semua habis terjual. Masker tidak lagi dapat ditemukan selama beberapa hari ke depan.
Apa yang Ibu lakukan merupakan panic buying. Sesuatu yang terkesan egois dan hanya mementingkan keperluan pribadi. Ibu juga mengakui bahwa itu bukanlah sesuatu yang patut ditiru oleh orang banyak. Ibu hanya bisa berdalih, bahwa yang dirinya lakukan hanyalah sebuah aksi untuk melindungi keluarganya. "Lebih baik 'bersiap' daripada menyesal," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Perlu waktu beberapa bulan, sebelum akhirnya harga barang-barang kesehatan kian normal seperti sedia kala. Multivitamin serta obat-obatan dapat kembali dengan mudah ditemukan di berbagai jenis gerai. Tidak terlihat lagi orang-orang yang hilir mudik berkunjung dari satu apotek ke apotek lainnya, demi mencari masker. Nampaknya, masyarakat perlahan mampu beradaptasi dengan keadaan.
Ironisnya, semakin nyamannya khalayak dengan situasi yang ada, semakin terlena juga mereka terhadap fakta di depan mata. Kondisi sama sekali belum terlihat membaik, namun orang-orang lambat laun mulai mengabaikan kenyataan, seakan-akan mereka sudah mendapatkan kebebasan yang sempat hilang. Di tengah delusi masyarakat akan kehidupan yang kembali normal, Ibu sama sekali tidak mempedulikan hal tersebut.
Ketika orang-orang mulai melanjutkan rutinitas mereka seperti biasa, Ibu justru mengimbau ketiga anaknya, untuk tetap berada di rumah. Kerap kali, ketika mereka ingin berpergian keluar, malah mendapat larangan dari Ibu. Beliau menganggap, bahwa semua hal bisa dilakukan dari rumah. Ibu bahkan menganggap kegiatan di luar ruangan sebagai sesuatu yang amat tidak penting, dan sebaiknya dihindari sampai keadaan benar-benar membaik.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada seorang pun yang menyukai dikurung di dalam rumah. Mereka tentunya mengharapkan agar mampu beraktivitas seperti semula. Dan Ibu paham akan hal ini. Tetapi, dirinya tidak ingin mengambil risiko, dengan membiarkan anggota keluarganya terpapar penyakit. "Ibu cuma ingin menjaga keluarga Ibu," cakapnya.
Waktu pun berlalu dengan amat lambat. Sejauh ini, Ibu berhasil menjaga kesehatan anggota keluarganya. Beliau tanpa lelah mengingatkan anak-anaknya agar menjaga pola hidup sehat. Berjemur, memakan sayur dan buah, tidur cukup, sudah menjadi keseharian dari keluarga Ibu. Sesekali, Ibu terpaksa melepas anak-anaknya keluar rumah, demi menyelesaikan urusan yang mereka punya. Tiap itu terjadi, tiada hentinya Ibu mengingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan.
Suatu malam, Ayah merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan badannya. Sudah beberapa hari terakhir, dia merasakan sakit-sakit seperti batuk, pilek, dan pusing. Ditemani oleh putra sulung, Ayah melakukan tes usap di sebuah klinik. Setelah 30 menit, hasil dari tes tersebut keluar. Ayah, didiagnosis positif terjangkit virus.
ADVERTISEMENT
Mendengar kabar Ayah terkena virus, Ibu dengan sigap mempersiapkan kondisi rumah untuk melakukan isolasi mandiri. Dirinya memisah segala peralatan rumah untuk Ayah. Sementara Ibu dan anak-anak menggunakan perabotan lain. Malam itu juga, Ibu memesan masker dan disinfektan, serta membuatkan jamu untuk keluarga. Dengan terjangkitnya Ayah, Ibu semakin menekankan kepada anak-anaknya agar selalu waspada akan penyakit menular.
Kendati anak-anak sudah memahami betul keadaan rumah saat itu, berkali-kali Ibu mengingatkan untuk selalu mengenakan masker serta menjaga jarak dengan Ayah. Kedisiplinan pola hidup sehat juga semakin ditekankan. Rasa khawatir yang beliau rasakan, terlihat tidak wajar, bahkan bisa dianggap berlebihan. Tetapi, yang Ibu pikirkan saat itu, hanyalah bagaimana anggota keluarga lain tidak merasakan penyakit seperti yang Ayah rasakan.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari setelah isolasi mandiri, Ibu dan ketiga anaknya pergi ke Puskesmas, untuk melakukan tes PCR. Perlu waktu 2 hari, sebelum akhirnya mereka dinyatakan negatif dari virus. Hasil tersebut tidak menurunkan kewaspadaan Ibu. Malah, Ibu tetap memaksa anak-anak tetap melakukan protokol karantina mandiri. Terlebih, Ayah masih belum sepenuhnya pulih dari penyakit.
Pun setelah Ayah kembali melakukan tes usap dan dinyatakan terbebas dari virus, Ibu masih meminta keluarganya belum menyudahi karantina mandiri. "Hasil tes usap itu nggak akurat. Daripada kalian kenapa-kenapa," pungkasnya. Ini dilakukan lagi-lagi atas dasar menjaga keluarga yang dirinya cintai.
Seorang Ibu memiliki naluri untuk melindungi keluarganya. Tidak jarang, mereka mengorbankan dirinya, agar keselamatan keluarga terjamin. Namun, sering kali pengorbanan seorang Ibu dipandang sebelah mata. Apa yang mereka lakukan dianggap berlebihan, dan terkesan tidak perlu.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran seorang Ibu terkadang tidak bisa dikontrol dan irasional. Ada kalanya, mereka menakutkan sesuatu yang bahkan belum tentu terjadi. Namun, seperti itulah cara seorang Ibu menjaga keluarganya. Karena, jika nasi sudah terjadi, tidak ada lagi yang mereka bisa lakukan, selain menyesali mengapa mereka tidak berusaha mencegah lebih keras.
(Mohammad Adrianto Sukarso, Politeknik Negeri Jakarta)