Memahami Perkembangan Anak, Mencegah Potensi Anak Berkonflik dengan Hukum

Af Danny Firmansyah
ASN Pembimbing Kemasyarakatan Pertama di Bapas Kelas II Merauke
Konten dari Pengguna
8 April 2021 9:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Af Danny Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kelompok sebaya (Gambar: https://www.freepik.com/premium-photo/fingers-art-people-concept-children-bullying-their-classmate_8144472.htm#page=1&query=kids%20offender&position=5)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kelompok sebaya (Gambar: https://www.freepik.com/premium-photo/fingers-art-people-concept-children-bullying-their-classmate_8144472.htm#page=1&query=kids%20offender&position=5)
ADVERTISEMENT
Pada bulan September 2020 lalu, Balai Pemasyarakatan Kelas II Merauke mendapat permintaan yang tidak biasa dari Penyidik Kepolisian Resor Merauke, pendampingan pemeriksaan awal untuk anak di bawah usia 12 tahun. Saya selaku Pembimbing Kemasyarakatan (PK) ditunjuk oleh Kepala Bapas untuk melaksanakan tugas tersebut.
ADVERTISEMENT
Meskipun perkara Anak Berkonflik Hukum (ABH) termasuk perkara tidak biasa bagi masyarakat, namun bagi PK pendampingan untuk perkara ABH sudah menjadi tugas yang biasa untuk dilakukan sesuai dengan amanah Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Singkat kata, ABH berinisial R yang saat itu juga didampingi oleh ibunya mulai diperiksa oleh penyidik di ruang Unit PPA. Usianya baru 11 tahun, sudah harus berhadapan dengan hukum akibat perilakunya mencuri barang milik tetangganya di desa M.
Pada saat itu menjelang magrib, R ditantang oleh temannya, A (15 tahun) untuk mencuri barang di rumah pemilik kios. Tanpa menolak, R mengambil kesempatan saat pemilik kios pergi ke masjid, lalu berhasil mengambil perhiasan dan dompet di dalam rumah, padahal A tidak turut menemaninya masuk. Sial terjadi, R sudah tertangkap tangan istri pemilik rumah ketika mencoba kabur.
ADVERTISEMENT
Rupanya ini merupakan perkara kesekian kalinya bagi R melakukan pencurian. Dua minggu sebelumnya R juga sempat mencuri celengan sejumlah tiga juta rupiah di rumah yang sama, warga desa semakin gerah, perangkat desa sudah menyerah.
Bermaksud untuk memberikan efek jera, perangkat desa melaporkan ke kantor polisi. Langkah yang cukup bijak mengingat warga desa yang menjadi korban sudah banyak dan tak lagi dapat diukur kesabarannya.

Perkembangan Psikososial yang Mengarah ke Konformitas Negatif

Saat pengambilan data penelitian kemasyarakatan (litmas), diketahui jika perkembangan psikososial R tidak optimal semenjak kecil. Faktor terbesar adalah peran orang tua yang kurang dalam membimbing dan mengarahkan karakter anak.
Orang tua lebih banyak memberi hukuman ketika anak melakukan kesalahan ketimbang memberi apresiasi dan motivasi untuk mendukung tumbuh kembang anak. Hal tersebut mempengaruhi cara pandang anak dalam memaknai keluarga.
ADVERTISEMENT
Di dalam keluarga, jaminan akan terpenuhi kebutuhan psikologis anak ada pada orang tua. Orang tua selain bertugas mencari nafkah guna tercukupi pangan, sandang, dan papan, juga perlu memperhatikan pengasuhan yang berorientasi pada kasih sayang, perhatian, dan komunikasi yang baik agar setiap tahapan perkembangan psikososial anak terlampaui dengan baik.
Erik Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan, menjelaskan bahwa anak usia 6-12 tahun akan mengalami tahap di mana mereka sudah terlibat aktif dalam interaksi sosial dan belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas. Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan perasaan yang kompeten dan bangga akan prestasi yang diperoleh sebagai bagian dari identitasnya.
Dukungan dari orang tua dan guru memegang peranan kunci dalam membangun rasa percaya diri untuk memotivasi anak mendapatkan resolusi dan pengalaman baru. Jika penyelesaian di tahap ini mengalami kegagalan, anak akan merasa inferior atau rendah diri.
ADVERTISEMENT
Rasa inferior ini berlanjut pada perasaan kehilangan posisi dan eksistensinya di dalam rumah. Seperti halnya R yang mencoba mencari kenyamanan di luar rumahnya demi mendapatkan rasa percaya dirinya kembali yang kemudian didapatkan di lingkar pertemanannya. Risikonya, perilaku anak akan mengarah pada konformitas yang negatif.
Menurut David G. Myers (2012), konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan seseorang sebagai akibat dari tekanan kelompok. Tujuannya antara lain untuk dapat diterima di suatu kelompok tersebut, tidak ingin merasa diasingkan, ingin merasa benar dalam bertindak, dan mencapai status dalam kelompok sosial.
Dengan kata lain konformitas turut andil mempengaruhi perilaku anak yang menyimpang demi kepercayaan diri anak. Terlebih lagi R tidak lagi memiliki keinginan untuk bersekolah semenjak putus di bangku kelas I SD, menjadikan R sebagai kelompok yang rentan melakukan tindak kejahatan karena kurang memiliki kontrol diri dan kemampuan kognitif yang rendah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, teman dalam lingkar sebayanya dengan postur lebih besar dan usia lebih tua darinya memerankan figur superioritas atas diri R, sehingga R tidak memiliki daya untuk menolak pada awalnya lalu menjadi terbiasa di kemudian hari karena merasa potensinya diakui oleh kelompoknya dan hasil curiannya dianggap sebagai reward.
Bahkan dalam perkara terakhirnya, R bersedia mencuri meski tanpa iming-iming atau bantuan dari temannya. Hal-hal yang secara salah diajarkan dan ditiru dalam pergaulan tersebut melibatkan R dalam kenakalan dan tindak perkara pencurian yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak seusianya.

Dukungan Keluarga sebagai Kebutuhan Dasar

Bercermin dari kasus R, hendaknya para orang tua semakin memperhatikan tumbuh kembang anak-anaknya. Orang tua tidak dapat hanya berfokus pada pencarian materi. Kecukupan akan pendidikan di dalam keluarga juga menjadi modal besar bagi anak untuk menyelesaikan tahapan perkembangan psikososial.
ADVERTISEMENT
Dukungan yang berkualitas dapat ditunjukkan dengan komunikasi dan apresiasi yang sesuai dengan potensi anak. Hal ini akan menjadi dasar bagi anak dalam mengembangkan keterampilan interaksi sosial di luar keluarga, dan menjadikannya lebih mudah beradaptasi secara moral dan emosional. Dengan begitu anak akan tumbuh sebagai individu yang kompeten dan berperilaku sesuai norma.
Tentunya banyak orang tua yang mendambakan anak-anaknya mampu menyelesaikan setiap tahapan perkembangan psikososial. Tugas kita, para orang tua lah, yang perlu secara seimbang memperhatikan kebutuhan fisik dan psikologis anak. Cukupkan diri untuk menuntut anak, lebihkan hati untuk merawat mereka.
Keluarga bukan hanya sebuah bangunan berbentuk rumah. Namun juga hati di mana rasa rindu untuk pulang selalu menanti.