Pembahasan RUU Cipta Kerja Dikebut, Demi Investasi atau Eksploitasi?

Affan Syafiq
Undergraduate student at University Indonesia
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 20:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Affan Syafiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah massa buruh) saat menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cilaka di depan Gedung DPR/DPD/MPR RI (Dok TEMPO/M Taufan Rengganis)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah massa buruh) saat menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cilaka di depan Gedung DPR/DPD/MPR RI (Dok TEMPO/M Taufan Rengganis)
ADVERTISEMENT
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Pembahasan saat ini berada di tingkat pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ditargetkan sebelum 17 Agustus 2020, RUU Cipta kerja atau yang biasa dikenal Omnibus Law ini rampung dibahas.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, menekankan pemerintah dan DPR akan mempercepat pembahasan aturan tersebut. Pemerintah beralasan rancangan undang-undang ini bisa memulihkan kembali dunia usaha di tengah pandemi Covid-19.
"Kondisi sekarang sangat butuh RUU Cipta Kerja. Apakah bisa segera selesai atau 17 Agustus. Kami targetkan pembahasan optimal, mudah-mudahan bisa segera selesai," pungkas Susiwijono, dikutip dari CNBC Indonesia.
Aktivis Greenpeace melintas di depan manekin saat aksi damai menolak pembahasan RUU Cipta Kerja di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Senada yang disampaikan oleh Susiwijono, Bank Dunia sebelumnya menyampaikan bahwa RUU Cipta kerja ini dapat membantu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk bisa bangkit kembali. Hal itu terjadi karena di masa krisis, perusahaan akan memerlukan dukungan untuk memulai kembali bisnisnya dan memperluas produksi.
Kendati demikian, Bank Dunia menyebut bahwa RUU Cipta Kerja juga dapat merugikan di berbagai sektor. Oleh karena itu, alasan mengebut pembahasan rancangan undang-undang tersebut untuk memulihkan kembali dunia usaha di tengah pandemi ini hanya alibi belaka. Walaupun produk dapat memulihkan dunia usaha di tengah pandemi, tetapi dapat menciptakan kerugian yang jauh lebih besar di masa yang akan datang pada sektor ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah mengklaim tujuan dibuatnya RUU Cipta Kerja adalah memperbaiki pertumbuhan investasi yang lambat. Namun, nyatanya menurut indeks investasi (Laporan World Bank pada tahun 2018) dunia investasi Indonesia sedang membaik. Justru menurut World Economic Forum, lemahnya daya tarik investasi di Indonesia bersumber bukan dari inefisiensi birokrasi, tetapi karena tingginya perilaku fraud di kalangan birokrasi itu sendiri.
Selain itu, dalam Pasal 88D unsur inflasi tidak dimasukkan dalam perhitungan upah tahunan. Hal ini sangat beresiko, pertumbuhan ekonomi harus positif dan inflasi harus terkendali. Jika tidak, buruh rentan terkena dampak gejolak ekonomi. Dalam Pasal 45 pemerintah juga menghapus kewajiban alih fungsi teknologi (transfer knowledge) tenaga kerja asing. Padahal, selama ini transfer knowledge merupakan bagian dari FDI yang selama ini membantu meningkatkan produktivitas ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dalam klaster ketenagakerjaan, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) membeberkan sembilan alasan menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja;
ADVERTISEMENT
Pada sektor lingkungan, RUU Cipta Kerja melumpuhkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Contohnya, dihapusnya izin lingkungan demi guna memangkas birokrasi perizinan. Izin lingkungan digantikan dengan persetujuan lingkungan yang mempermudah perusahaan mengabaikan asas lingkungan yang berkelanjutan. Selain itu, aturan ini juga memperlemah AMDAL dan membatasi partisipasi publik dalam penyusunan AMDAL.
Kemudian dihapusnya pertimbangan pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang. Pengabaian asas site pacific ini akan mengakibatkan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang yang memiliki dampak buruk bagi lingkungan. Selain itu juga mengesampingkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Apabila sebelumnya KLHS digunakan sebagai acuan utama perizinan, tetapi dalam RUU Cipta Kerja hanya digunakan sebagai pertimbangan. Hal ini mengancam prinsip pembangunan berkelanjutan.
Penindakan permasalahan lingkungan juga melemah. RUU Cipta kerja gagal memahami pidana dalam kasus lingkungan dengan mengenakan sanksi pidana dalam kasus lingkungan hidup hanya dengan mengenakan sanksi pidana bagi perusakan lingkungan apabila pelaku tidak mampu menjalankan sanksi administratif.
ADVERTISEMENT
Di sektor kesehatan juga terdapat masalah serius yang menyangkut regulasi kesehatan nasional, yaitu; Pertama, penyederhanaan berbagai regulasi perizinan yang dapat mengakibatkan pengabaian kualitas pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional, serta makanan dan minuman yang beredar. Kedua, penghapusan regulasi pelabelan makanan dan minuman kemasan. Hal ini akan menghilangkan transparansi dari kandungan produk yang melanggar hak atas informasi milik konsumen.
Ketiga, ketidakjelasan bentuk sanksi pelanggaran terhaap rumah sakit, perubahan sistem klasifikasi rumah sakit, kedudukan rumah sakit sebagai badan usaha, pelonggaran regulasi akreditasi, dan pengalihan wewenang pengawasan kepada pemerintah pusat menyebabkan pengaturan rumah sakit bermasalah.
Terakhir, dalam RUU Cipta Kerja diatur bahwa untuk memasok kebutuhan kesehatan dapat melakukan impor dan bukan lagi sebagai komponen tambahan. Akibatnya, produksi pangan dalam negeri bukan lagi prioritas untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan sehingga ketersediaan lapangan pekerjaan dan keefektifan proesdur akan terganggu.
ADVERTISEMENT
RUU Cipta Kerja pun bermasalah terhadap sektor psikotropika, narkotika, dan pangan. Misalnya, sentralisasi perizinan dan pengawasan ke pemerintah pusat. Hal tersebut mengakibatkan BPOM dan OKKP kehilangan beberapa fungsi utamanya sehingga berpotensi adanya ketidakjelasan kualitas dalam kompeten pangan dan obat.
Sejak awal pun rancangan undang-undang ini terdapat miskonsepsi dimana RUU Cipta kerja atau biasanya disebut Omnibus Law dapat mengarah sebagai undang-undang payung yang mempunyai kekuatan terhadap undang-undang lainnya. Padahal, selama ini Indonesia tidak menganut UU payung karena posisi seluruh UU adalah sama.
Selain itu, ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan dapat terjadi akibat RUU Cipta Kerja ini hanya mengambil beberapa pasal saja dari undang-undang yang sudah ada. Dalam RUU Cipta Kerja juga dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dapat menggantikan posisi Undang-Undang (UU). Hal tersebut akan mengacaukan hierarki peraturan perundang-undangan yang ada selama ini
ADVERTISEMENT
RUU Cipta Kerja juga menutup akses informasi dan peran publik untuk mengakses serta ikut terlibat dalam penyusunannya. Alhasil, hal itu sangat bertentangan dengan asas keterbukaan dan partisipasi publik. Sudah sepantasnya dalam situasi dan kondisi pandemi seperti ini pemerintah membatalkan seluruh pembahasan RUU Cipta Kerja dan fokus untuk menangani virus Covid – 19.
Referensi:
Oleh : Affan Syafiq/Mahasiswa Universitas Indonesia