Apakah Kita Masih Perlu TVRI?

Afgiansyah
Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina.
Konten dari Pengguna
30 Mei 2022 21:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tayangan TVRI. Sumber: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tayangan TVRI. Sumber: Pribadi.
ADVERTISEMENT
TVRI atau Televisi Republik Indonesia sempat jadi media nomor satu di Indonesia pada dekade 1970-an hingga 1980-an ketika hanya ada satu stasiun penyiaran televisi. Saya masih ingat pada masa pertengahan hingga akhir 1980-an, TVRI punya ragam pilihan program andalan yang ditunggu. Ini bukan karena hanya satu-satunya pilihan. Diselingi berita-berita keberhasilan pemerintah orde baru yang membosankan, ada banyak ragam program berkualitas baik produksi sendiri dari dalam negeri maupun program asing mulai dari dokumenter, serial drama dari Amerika Serikat (AS), Jepang, hingga telenovela dari Brasil. Bagaimana dengan sekarang? Di tengah gempuran televisi swasta dan media online, masih perlukah kita disuguhi tayangan TVRI?
ADVERTISEMENT
Sebelum membahas tentang bagaimana TVRI bisa bertahan, saat ini televisi swasta pun sedang berusaha kuat menjaga dominasi kue iklan dari media online. Beberapa tahun terakhir media digital semakin menggerus kue iklan televisi. Di negara-negara lain bahkan media online sudah lebih berjaya dalam hal belanja iklan dibandingkan televisi.
Mengutip rilis dari Magna, lembaga riset periklanan berbasis di AS pada awal 2022 lalu, total market share belanja iklan media digital di seluruh dunia mencapai 62,2%. Sementara belanja iklan televisi di seluruh dunia hanya memperoleh market share sebesar 23,7%. Di pasar global, belanja iklan media online sudah melampaui televisi hingga 6 kali lipat dari segi penguasaan pangsa pasar. Ini bukti bagaimana industri televisi di berbagai negara di belahan dunia kepayahan menghadapi laju media online.
ADVERTISEMENT
Pelajaran dari negara-negara lain, media televisi dan media konvensional lainnya memang tidak bisa mengadang laju media digital. Hal krusial untuk dilakukan adalah mengintegrasikan strategi konten produksi media konvensional ke ranah online. Semuanya bersiap untuk melakukan transformasi ke dalam media baru sambil melakukan konvergensi. Hal ini juga tampak dilakukan oleh TVRI. Namun sejauh mana keberhasilannya?

TV di Indonesia Masih Mendominasi

Mari kita lihat dulu bagaimana posisi media televisi dibandingkan media online di Indonesia. Berdasarkan data rilis Nielsen pada awal 2022 lalu, kue iklan untuk media masih dikuasai oleh televisi. Tercatat market share belanja iklan TV di Indonesia masih mendominasi di angka 78,2%. Sementara belanja iklan media online di Indonesia memperoleh raihan sebesar 15,9% dari total belanja iklan media. Di sini kita lihat bagaimana belanja iklan televisi masih hampir 5 kali dibandingkan media online.
ADVERTISEMENT
Memang, riset yang dilakukan Nielsen ini berlandaskan pada “gross rate”. Artinya, lembaga penelitian ini tidak mengetahui angka sebenarnya dari penjualan iklan yang dilakukan. Seperti jual beli di pasar pada umumnya, sangat lazim bagi industri media untuk memberikan diskon. Ini juga berlaku bagi media televisi. Belanja besar maka akan diberikan diskon besar. Media online pun melakukan hal yang sama untuk pengiklan dengan komitmen pemasangan iklan dalam jumlah besar. Namun setidaknya media online tertolong oleh pemasang iklan retail. Semua orang bisa memasang iklan di media online dari mulai harga yang sangat murah. Sementara televisi umumnya melayani korporasi karena harga iklan yang sangat mahal untuk per tayangannya. Di sini ada kemungkinan angka asli dari market share belanja berbeda dengan riset Nielsen berdasarkan “gross rate”.
ADVERTISEMENT
Melihat data dari Nielsen tentang belanja iklan di tahun 2021, industri televisi masih cukup berjaya di Indonesia. Artinya, masyarakat kita masih menerima paparan lebih besar dari tayangan TV dibandingkan media online. Lalu bagaimana dengan TVRI? Apakah masyarakat juga menerima paparan cukup besar dari lembaga penyiaran publik milik negara ini?
Mengutip dari website “Katadata”, berdasarkan riset Nielsen yang dirilis pada bulan April 2022 oleh Group MNC, secara keseluruhan TVRI memperoleh 1,4% dari total kepemirsaan televisi di Indonesia. Angka ini masih sedikit lebih baik dibandingkan Metro TV dengan angka 1,2%. Stasiun TV di bawah naungan MNC yaitu RCTI, MNC TV, GTV, dan iNews berhasil memperoleh khalayak paling besar di angka 44,8%.Angka ini disusul oleh pangsa pasar gabungan dua TV di bawah naungan SCM, SCTV dan Indosiar dengan perolehan 27,6%.
ADVERTISEMENT
Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI bisa dibilang memperoleh kepemirsaan yang sangat kecil dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta. Secara regulasi sebenarnya TVRI memperoleh banyak keistimewaan dari negara dibandingkan dengan televisi swasta. Namun tampaknya kelincahan dari TV swasta untuk bersaing secara komersial membuat TVRI ketinggalan setidaknya dari segi anggaran.
Lalu, mampukah TVRI bersaing meraih pemirsa dengan lembaga penyiaran swasta? Di sini kita perlu melihat praktik lembaga penyiaran publik di negara-negara lain. Inggris bisa dibilang negara paling sukses dalam menyelenggarakan penyiaran lewat British Broadcasting Corporation (BBC). Dalam sebuah artikel yang dirilis “The Guardian”, lembaga penyiaran publik di Perancis, Italia, AS, Australia, dan Rusia masih belum mampu menyaingi BBC. Konten produksi lembaga penyiaran Inggris ini pun berhasil menembus platform OTT internasional seperti Netflix dan Amazon. Di negaranya sendiri, BBC masih mendominasi 31,8% dari keseluruhan khalayak pemirsa TV diikuti oleh ITV, lembaga penyiaran swasta dengan 21,6% kepemirsaan TV di Inggris.
ADVERTISEMENT
Di sini kita melihat bagaimana lembaga penyiaran publik sangat mungkin untuk bersaing dengan TV swasta yang berorientasi komersial. Lalu bagaimana cara TVRI bisa bersaing? Apakah bisa mengikuti kesuksesan BBC di Inggris? Di sini Saya coba membandingkan antara klub sepak bola Inggris dengan klub sepak bola di Indonesia.
Walaupun klub sepak bola Inggris tidak sesering Real Madrid dari Spanyol memenangkan Liga Champion—terakhir Liverpool dipaksa takluk pada final tahun 2022, kita semua sepakat liga Inggris jadi tontonan menarik dan masyarakat kita pun menjadi penggemar setia klub sepak bola Inggris. Apakah klub sepak bola Indonesia mampu menandinginya? Saya tidak mau bicara mana yang lebih hebat atau lebih unggul. Tapi setidaknya fanatisme penggemar klub sepak bola Indonesia tidak kalah dengan orang Inggris.
ADVERTISEMENT
Persib dan Persija misalnya. Klub asal Bandung dan Jakarta ini memiliki penggemar setia yang rela bertaruh nyawa demi membela kehormatan klub kesayangannya. Belum lagi bicara pendukung klub Persebaya dari Surabaya dan Arema dari Malang. Mereka dikenal dengan pendukung berani mati walaupun bukan pada tempatnya. Di sini kita lihat bagaimana klub sepak bola lokal bisa menarik kesetiaan penggemarnya, meskipun prestasi terbaik klub sepak bola Indonesia baru sampai liga dan kompetisi di tingkat Asia, itu pun tanpa hasil juara.
Keberhasilan klub sepak bola lokal bisa jadi contoh buat TVRI. Berbekal stasiun produksi di berbagai daerah di seluruh Indonesia, lembaga penyiaran publik ini bisa memanfaatkan potensi lokal untuk menjadi pemirsa setianya. Ketimbang menyaingi TV swasta nasional dengan anggaran fantastis, TVRI bisa memaksimalkan stasiun produksi daerah menjadi rumah bagi para tokoh publik, selebriti, hingga potensi lainnya di tingkat lokal. Ini bisa membuat dicari dan digemari oleh pemirsa lokal seperti klub sepak bola kita yang tidak kalah dari klub sepak bola Inggris dari sisi fanatisme penggemarnya.
ADVERTISEMENT