Kenali Faktor Wanita Memaafkan Pelaku KDRT

Afiqah Hasna Yazid Muttaqi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
10 November 2022 13:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqah Hasna Yazid Muttaqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi kekerasan dalam hubungan (thinkstock/lolostock)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi kekerasan dalam hubungan (thinkstock/lolostock)
ADVERTISEMENT
Pernikahan yang bahagia adalah dambaan setiap orang. Namun faktanya setiap pernikahan memiliki pasang surut dalam hubungan, salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga atau yang biasa kita kenal dengan KDRT. Perempuan lebih cenderung menjadi korban KDRT daripada laki-laki. Perempuan juga lebih cenderung dituntut oleh laki-laki pelaku KDRT.
ADVERTISEMENT
Faktor-Faktor Korban KDRT Menerima dan Memaafkan Pelaku
1. Faktor Anak
Para korban kekerasan dalam rumah tangga, mereka menjadikan anak mereka sebagai tameng untuk mempertahankan hubungan mereka. Mereka menolak fakta bahwa tidak ada jaminan si pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya. Omongan pelaku bahwa dia tidak akan mengulangi perbuatannya tidak dapat menjadi jaminan.
2. Battered Woman Syndrom
Battered Woman Syndrom atau biasa disingkat BWS adalah kondisi psikologis ketika korban berhenti memberikan perlawanan kepada pelaku KDRT. Para korban berpikir mereka pantas mendapatkan perlakuan tersebut dari pelaku KDRT karena mereka merasa itu kesalahan mereka sendiri. Seseorang yang mengidap BWS diawali dengan fase denial, mereka sulit menerima bahwa dirinya telah menjadi korban KDRT. Pada umumnya mereka menyangkal perbuatan pelaku dan beraggapan pasangannya hanya kelepasan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pada fase guilt, yaitu muncul perasaan bersalah dari dalam diri korban. Mereka beranggapan kekerasan yang ia alami karena kesalahan dirinya sendiri. Berikutnya fase enlightment, fase ini korban sudah mulai menyadari bahwa kekerasan itu terjadi karena murni kesalahan pelaku. Fase yang terakhir disebut fase responbility. Keadaan dimana korban sudah paham kalau pelaku harus bertanggung jawab.
3. Rasa Malu dan Stigma Masyarakat
Tidak sedikit para korban KDRT malu karena mengalami kekerasan yang dialaminya. Karena stigma yang buruk di masyarakat ketika ada pasangan yang bercerai menimbulkan komentar negatif. Selain itu, korban KDRT juga tidak ingin mengecewakan orang tuanya ketika mengambil keputusan untuk bercerai. Banyak perempuan yang terpaksa kembali ke suami yang kasar karena mereka merasa tidak mampu mengalami masa pasca perceraian.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan alasan satu sampai tiga, terdapat persepsi bahwa sebagian laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan dan perempuan menjadi korban karena campuran faktor psikologis individu. Realitas ini menciptakan dorongan bagi perempuan untuk berlapang dada dalam menerima perlakuan kasar dari suaminya.