Buku 'Belajar Mencintai Kambing' dan Apresiasi terhadap Buku Fiksi

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
Konten dari Pengguna
7 Juli 2021 11:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
By: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
By: Unsplash
ADVERTISEMENT
Ada anggapan bahwa anda akan dianggap keren jika membaca buku-buku tebal yang bergenre non fiksi seperti Madilog, Das Kapital, Aidit, dan sejenisnya. Dan akan dianggap “cupu” kalau hanya membaca buku-buku tipis seperti puisi, cerpen, atau buku fiksi lainnya. Ini adalah pemikiran yang bodoh sekali. Saya ulangi, BODOH SEKALI.
ADVERTISEMENT
Membaca buku-buku berat (non fiksi) tidak membuatmu lebih keren dari yang membaca novel atau buku fiksi lainnya. Apalagi sekadar membaca buat gaya-gayaan saja. Bacaan non fiksi itu memperkaya wawasan, sedangkan bacaan fiksi memperkaya imajinasi. Keduanya sama-sama penting.
Orang yang mengatakan kalau buku fiksi itu tidak “mengenyangkan” pasti belum baca bukunya Pramoedya Ananta Toer “Tetralogi Pulau Buru” yang sampai masuk nominasi Nobel karena saking banyaknya manfaat dari buku tersebut.
"Dikira novel itu cuma tentang cinta-cintaan yang gak mutu aja kali".
Jika ada anggapan kalau buku fiksi itu mudah ditulis karena tidak perlu penelitian, maka sebaiknya dikurung saja, kemudian lemparkan pada ikan hiu atau piranha. Bercanda, ding.
Salah satu buku fiksi yang mengenyangkan selain Tetralogi Pulau Buru adalah kumpulan cerpen yang berjudul “belajar mencintai kambing” karya Mahfud Ikhwan.
Ilustrasi membaca buku. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Buku ini merupakan kumpulan cerpen pertama beliau sebelum dinobatkan menjadi pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Buku ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu tentang belajar, tentang mencintai, dan tentang kambing.
ADVERTISEMENT
Setidaknya bagi orang yang baru pertama kali membaca kumpulan cerpen seperti saya, buku ini sangat nikmat. Mulai dari diksi, percakapan yang khas, sampai alur cerita yang random. Sehingga sedikit banyak membuat keterkejutan yang luar biasa ketika perlahan mulai paham maksudnya.
Bagian paling menarik bagi saya ada di bab 3 yaitu cerita yang dijadikan judul buku, “belajar mencintai kambing”. Pada cerita tersebut dikisahkan seorang anak kecil yang pengin dibelikan sepeda, namun bapaknya malah membelikannya kambing.
Ada kalimat ciamik yang membuat saya bertepuk tangan, yaitu “kambing bisa membuatmu lebih dewasa, sedangkan sepeda akan membuatmu tetap jadi kanak-kanak”.
Saya masih ingat, ketika kalimat tersebut saya buat story di media sosial, banyak sekali teman yang bertanya tentang identitas buku tersebut. Apalagi kebanyakan teman saya adalah penggembala kambing serta beberapa orang desa lainnya.
ADVERTISEMENT
Buku dari Mahfud Ikhwan tersebut sangat layak dibaca oleh siapa saja selain anak-anak, karena ada beberapa pembahasan yang menggunakan bahasa yang bagi saya kurang cocok dibaca untuk anak-anak. Seperti di cerita pemahat, jeritan malam, serta lelaki dan tato perempuan di bahunya.
Terakhir, setelah membaca buku fiksi dan mendapat memanfaatkannya, saya hanya ingin mengatakan kalau buku fiksi memang lebih mudah dibaca, namun tentu saja bukan berarti buku fiksi tidak mengenyangkan. Baik buku fiksi maupun non fiksi adalah bacaan yang bergizi dan memiliki banyak manfaat.
Jadi, dalam pembahasan dunia literasi, jangan pernah menyepelekan buku fiksi dengan membandingkannya dengan buku-buku non fiksi yang tebal dan ndakik-ndakik tersebut, apalagi sampai membajak atau membakarnya. Itu jahat, Dik.
ADVERTISEMENT