Mempertanyakan Kebijakan Pemerintah tentang 'Testing COVID-19'

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
Konten dari Pengguna
3 September 2021 16:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source by unsplash
zoom-in-whitePerbesar
source by unsplash
ADVERTISEMENT
Salah satu upaya yang dilakukan untuk penanganan pandemi COVID ini adalah 3T, yakni testing, tracing, dan treatment. Upaya tersebut merupakan pemikiran yang sangat cemerlang, hanya saja dalam penerapannya sangat memuakkan. Penanganan COVID di Indonesia memang cukup memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Dari usaha 3T tersebut, ada satu hal yang membuat saya mengernyitkan dahi. Yaitu tentang testing, lebih spesifik tentang variasi tes yang dilakukan. Kita tahu bahwa tes dalam pandemi ini ada beberapa macam, seperti PCR, Rapid Antigen, sampai GeNose. Semakin akurat hasilnya, semakin mahal pula harganya.
Nah, di sini letak permasalahannya. Ketika jenis tes yang paling akurat dianggap terlalu mahal, alih-alih membuat harga tes tersebut lebih murah, solusi dari pemerintah adalah membuat alternatif tes lain yang harganya lebih murah, meski dengan tingkat keakuratan yang tidak terlalu maksimal.
Ini adalah keputusan yang menggelitik. Setidaknya bagi saya. Coba bayangkan, tujuan utama dari testing ini kan untuk mengetahui apakah masyarakat terpapar virus Corona atau tidak? Jika alat yang digunakan tidak terlalu memiliki keakuratan yang maksimal, usaha yang dilakukan akan menjadi sia-sia.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini kalau diibaratkan, seperti ketika banyak orang kelaparan dan membutuhkan makanan. Namun karena harga makanan terlalu mahal, maka solusinya adalah memberikan permen untuk setiap orang yang kelaparan karena harga permen yang harganya lebih murah meski permen tidak membuat kenyang.
Kenapa saya mengatakan kalau beberapa jenis tes tidak akurat? Karena saya sendiri pernah menjadi korban kesalahan tes alternatif ini.
Tepat 7 hari sebelum lebaran idul fitri kemarin, saya mencoba test COVID menggunakan GeNose. Selain untuk jaga-jaga kalau ada operasi di jalan, saya juga akan pulang kampung, dan mengetahui kalau saya terbebas COVID akan sangat melegakan.
Saya mencoba GeNose untuk pertama kali, pertimbangan saya adalah harga yang murah dan sudah diakui sebagai salah satu tes COVID, setidaknya tes ini boleh digunakan dalam perjalanan kereta api. Melihat fakta tersebut, saya pun akhirnya memilih tes GeNose ini.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika keluar hasilnya, saya yang merasa bugar tanpa ada gejala apa-apa ini dinyatakan positif. Saya masih sangat husnuzan dan menduga bahwa mungkin saja OTG. Saya langsung bertanya pada petugas medis tersebut tentang langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan setelah ini.
Saya diberi sedikit harapan untuk tes ulang karena bisa saja ada kesalahan teknis. Meski tes ulang artinya membayar lagi secara mandiri, saya pun mengiyakan saja untuk dilakukan tes ulang. Pada tes ulang ini saya tetap dinyatakan positif.
Alih-alih diarahkan untuk isolasi mandiri, petugas medis kembali memberikan saya harapan. Kali ini saya diberi saran untuk melakukan rapid antigen untuk mengetahui hasil yang agak akurat karena GeNose ini hanya prediksi. Tentu saja saya kaget.
ADVERTISEMENT
Setelah saya cermati, lembaran hasil tes GeNose yang saya terima memang hanya bertuliskan prediksi, bukan hasil. Saya pun bertanya-tanya, kalau sekadar prediksi, kenapa boleh digunakan dalam perjalanan? Meski demikian, saya tetap mengiyakan saja dan mendaftar untuk tes rapid antigen secara mandiri, yang berarti saya harus membayar biaya sendiri.
Ketika dilakukan tes antigen, saya pun mendapatkan hasil negatif. Cukup lega menerima hasil tersebut, namun pikiran saya masih bertanya-tanya kenapa dalam tes GeNose dinyatakan positif?
Setelah mendatangi petugas medis dan mengajukan pertanyaan, petugas tersebut menjawab bahwa kantong yang digunakan dalam tes GeNos itu sangat sensitif, jadi hasil dari uji tersebut sangat bisa terpengaruh oleh parfum, atau hal lainnya. Jawaban ini membuat saya mengenyitkan jidat.
ADVERTISEMENT
Saya memang tidak paham dunia medis, tapi secara logika, alasan tersebut sangat tidak masuk akal. Pertama, sejak kapan parfum mengandung COVID? Maksud saya begini, ketika dikatakan parfum merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi prediksi positif dari tes GeNose, bukankah ini berarti ada zat dalam parfum yang dianggap sebagai virus Corona.
Dan kalau memang benar kalau salah satu unsur dari parfum mengandung virus Corona, bukankah sudah seharusnya pemakaian parfum ini dihentikan karena bisa menyebabkan terkena COVID? Atau kalau parfum ternyata tidak memiliki unsur Corona, maka ada yang salah dengan keakuratan tes GeNose ini.
Kedua, jika memang sudah tahu kalau prediksi dari GeNos bisa terpengaruh oleh parfum, kenapa tidak dijelaskan sejak awal agar saya tidak menggunakan parfum ketika melakukan tes GeNose? Saya memang tidak diberikan penjelasan tentang pantangan apa saja yang dilakukan sebelum melakukan tes GeNose ini.
ADVERTISEMENT
Ketiga, jika sudah tahu kalau GeNose sensitif terhadap banyak hal yang bisa mempengaruhi prediksi, bukankah ini menandakan kalau tes GeNose ini memang tidak layak dijadikan alternatif tes covid?
Hal yang membuat saya semakin yakin kalau tes GeNose ini tidak akurat adalah ketika saya bercerita ke beberapa teman saya, ternyata ada juga yang mengalami pengalaman serupa. Saya menduga banyak orang-orang lainnya yang juga mendapatkan pengalaman seperti saya.
Ini tentu masalah besar, selain mengurangi upaya dari 3T yaitu testing, karena banyak orang yang dianggap positif COVID, padahal tidak. Atau malah sebaliknya. Hal ini juga bisa dianggap masyarakat sebagai bisnis yang membuat banyak orang semakin tidak percaya dengan COVID. Dan itu cukup berbahaya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya GeNose. Rapid antigen juga perlu dipertanyakan. Selain kasus antigen bekas yang tidak diproses secara jelas. Saya juga punya cerita tentang tes jenis ini yang cukup mengecewakan.
Kakak saya pernah melakukan tes rapid antigen ini. Pada saat itu, kakak saya sudah merasa bergejala, dan bermaksud melakukan tes ini agar mendapat izin untuk isolasi mandiri dari pekerjaannya. Namun, ketika hasil dari tes ini menunjukkan kalau kakak saya ternyata negatif COVID. Karena masih tidak terima karena butuh istirahat, kakak saya melanjutkan tes PCR secara mandiri, dan tentu saja hasilnya positif.
Tes alternatif yang hasilnya tidak terlalu akurat ini bisa saja membuat kasus COVID ini tidak bisa selesai dengan cepat dan tuntas. Bagaimana pandemi bisa selesai kalau kebocoran testing ada di mana-mana?
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, kebijakan membuat testing alternatif dengan harga yang lebih murah, alih-alih membuat harga tes yang akurat menjadi murah ini akan sangat berpengaruh pada usaha penanganan pandemi COVID.
Ketidakakuratan testing yang tetap digunakan seharusnya sudah diketahui oleh pemerintah yang memiliki staf ahli, staf khusus, serta beberapa sumber daya lainnya. Dan sudah sewajarnya pemerintah melakukan evaluasi, khususnya masalah testing.