Pemberian Jamu Sebelum Masuk Mal adalah Inovasi Prokes Terbaik

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
Konten dari Pengguna
17 Maret 2021 7:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jamu.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jamu.
ADVERTISEMENT
Berbincang mengenai pandemi tentu tidak lepas dari protokol kesehatan atau biasa disingkat prokes. Prokes menjadi hal yang amat sentimental untuk dilakukan karena kegiatan umat manusia tidak bisa dihentikan secara total, atau dialihkan menjadi kegiatan online saja. Prokes yang paling umum adalah mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker. Beberapa instansi bahkan ada yang menambah dengan menjauhi kerumunan dan membatasi mobilitas.
ADVERTISEMENT
Setiap hal tentu saja mengalami perkembangan, begitu juga dengan prokes. Di awal kehadiran praktik new normal, kita tentu berkenalan dengan thermogun. Iya, alat pendeteksi suhu yang bahkan sempat ada yang percaya kalau alat tersebut memiliki sinyal yang bisa merusak otak jika sering dipancarkan di kepala.
Setelahnya ada teknologi touchless button, meski sangat layak diperdebatkan kenapa memakai kata “button” yang bermakna tombol, padahal ia merupakan sensor yang tidak ada tombolnya. Beberapa hotel dan mal yang lumayan mewah sudah menggunakan teknologi ini untuk beberapa akses seperti pada tiket masuk, serta pada lift.
Teknologi ini bahkan sangat brilian sekali saat diterapkan pada keran air untuk wudhu karena sangat bermanfaat memaksimalkan air yang digunakan agar tidak banyak air yang terbuang dengan sia-sia.
ADVERTISEMENT
Awalnya bagi saya (yang ndeso ini) tingkat paripurna dari inovasi prokes adalah milik teknologi touchless tersebut, namun saya salah, yang paling layak mendapatkan apresiasi dalam inovasi prokes COVID adalah pemberian jamu sebelum masuk mal.
Memang sih pergi ke mal ketika pandemi rasanya sedikit kurang ajar, namun hasrat pengin jalan-jalan umat manusia kadang susah dibendung, jadi prokes menjadi jalan tengah saat terjadi gejolak tersebut.
Sedikit cerita, beberapa minggu lalu secara tidak direncanakan (karena bingung mau ke mana untuk menunggu hasil lab), saya bersama kakak saya mengunjungi mal yang ada di daerah GKB Gresik. Kami ke sana dengan adrenalin yang cukup bergejolak. Ya, bagaimana, sebagai kaum yang percaya COVID, mengunjungi tempat umum menjadi pantangan tersendiri, apalagi saya belum mendapatkan vaksin meski sudah memasang twibbon “siap divaksin”.
ADVERTISEMENT
Tapi akhirnya saya agak santai karena situasi mal yang bisa dibilang sepi. Penerapan prokes di mal juga harus saya akui lebih baik ketimbang yang ada di masjid desa saya. Selain dicek suhu dan diberi hand sanitizer, saya juga diberikan jamu dan disuruh meminumnya di lokasi saat itu juga. Saya benar-benar terkejut dan sangat mengapresiasi. Bagi saya, ini adalah hal yang sangat berguna dan perlu dilakukan secara masif.
Jika Anda masih bertanya-tanya di mana letak manfaatnya, baiklah saya kasih tahu. Pertama, jamu tentu saja memiliki banyak manfaat yang menyehatkan (browsing saja kalau tidak percaya), memang sih tidak bisa menyembuhkan sakit hati ketika ditinggal kekasih, namun sangat bisa untuk menambah imun yang berguna sekali di masa pandemi yang brengsek ini.
ADVERTISEMENT
Jadi bagi Anda yang mencari obat sakit hati, dengan sangat terpaksa saya katakan jamu tidak bisa memenuhi ekspektasi Anda. Saran saya mending beli saja soto batok saja, sotone dipangan, batoke diantemno ndase yange.
Kedua, pemberian jamu di mal ini juga bisa dianggap sebagai sarana “taaruf” yang efektif antara jamu dengan generasi muda. Saya kira dengan diberikan jamu secara cuma-cuma sedikit banyak akan membantu branding jamu serta menjaring peminat jamu pemula untuk bergabung menjadi anggota penikmat jamu secara paripurna.
Pengenalan terhadap jamu akan sangat berguna agar jamu tradisional yang memiliki banyak manfaat bisa tetap lestari dan bisa bersaing dengan si hedon Chatime atau Starbucks yang harganya senilai uang makan saya 2 hari di kos.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ini yang paling penting. Karena syarat masuk mal adalah minum jamu, bagi yang tidak suka minum jamu maka akan malas untuk pergi ke mal. Ini bisa juga berdampak pada pengurangan pengunjung dengan cara yang halus, serta berdampak pada kesuksesan “dakwah” jamu tradisional sendiri. Ya, bagaimana, meski pengunjung terpaksa harus minum jamu sebelum masuk mal, jika hal itu dilakukan secara terus menerus maka pengunjung akan terbiasa, dan seperti pepatah jawa “tresno jalaran soko kulino”, karena itu saya optimis “dakwah” jamu yang ada di mal akan mencapai tingkat keberhasilannya.
***
Meski mengapresiasi pemberian jamu sebelum masuk mal, ada beberapa hal yang masih mengganjal di benak saya. Untuk pengurus mal yang saya maksud jika membaca tulisan ini, tolong berikan label pada jamu tersebut agar bagi kaum awam bisa tahu nama dari jamu yang diminum.
ADVERTISEMENT
Saya bahkan tidak yakin dengan petugas yang memberikan jamu juga paham itu jamu jenis apa karena kami hanya disuruh minum saja tanpa diberi tahu jamu apa dan apa manfaatnya. Jika dirasa capek menjelaskan pada tiap pengunjung yang datang, cetak saja identitas jamu tersebut besar-besar dan taruh di samping Anda agar pengunjung bisa membacanya secara mandiri.
Panjang umur perjuangan.
Ilustrasi jamu. Foto: Shutter Stock