news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pengalaman Menjadi Anak Kos di Lingkungan Beda Agama

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2021 10:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source by unsplash
zoom-in-whitePerbesar
source by unsplash
ADVERTISEMENT
Menjadi anak kos adalah sebuah anugrah. Saya sudah menjalani status ini selama hampir 6 tahun dan tetap saja masih berhasrat pengin ngekos, saking banyaknya hal menarik yang didapat. Ya, gimana tidak, jika kebanyakan orang memperoleh pengalaman hidupnya dari kuliah, organisasi, atau bekerja, saya beda, kebanyakan pengalaman hidup saya dapatkan dari ngekos.
ADVERTISEMENT
Apakah ini berlebihan? Tentu saja tidak. Menjadi anak kos yang hidup serba pas-pasan membuat saya harus belajar mengatur keuangan dengan cermat. Foya-foya boleh, tapi jangan selalu, bisa-bisa besok nggak bisa makan.
Selain itu, masih banyak hal yang saya pelajari ketika menjadi anak kos, seperti kemampuan memasak sederhana, menata dan merapikan kamar, sampai cara hidup rukun dengan orang yang berbeda agama. Ya, saya pernah hidup satu lingkungan kos dengan orang yang berbeda agama. Saya mendapat pengalaman unik ini ketika ngekos di Jogja. Awalnya tidak ada niat mencari kos dengan mayoritas non muslim, saya hanya mencari kos yang nyaman dan murah saja.
Kaget. Mungkin kata itu sangat cocok menggambarkan kondisi saya ketika awal kos di sana. Lah, gimana, Bapak dan Ibu kos saya kebetulan Kristen, di rumahnya mereka memelihara seekor anjing hitam yang berukuran cukup besar, lengkap dengan gaungnya yang khas ketika menyambut tamu, dan tentu saja tanpa tali pengikat.
ADVERTISEMENT
Sebelum mendapat rekening Bapak kos, awal bulan saya harus selalu mampir ke sana untuk bayar kos secara manual. Jadi di awal bulan, jantung saya serasa pengin menjerit, selain karena akan membayar uang kos, berkunjung ke rumah pemilik kos dan bertemu anjingnya yang lucu adalah tindakan yang cukup menguras mental, setidaknya bagi saya yang jarang sekali bertemu dengan hewan unik ini.
Hal yang membuat saya kaget selanjutnya adalah tidak terdengar suara azan. Iya, di kamar kosan saya memang tidak terdengar sama sekali suara azan, entah karena minoritas, sehingga azan tidak terlalu keras, atau memang kosan saya yang agak masuk.
Kenapa hal ini cukup membuat saya kaget? Sebelum ngekos, saya adalah anak rumahan. Rumah saya pun cukup dekat dengan masjid dan beberapa musala. Ketika waktu salat, maka tidak kurang 4-5 suara azan terdengar secara bergantian.
ADVERTISEMENT
Riwayat kosan saya juga berdekatan dengan masjid. Kebanyakan mantan Bapak kosan saya adalah takmir. Bahkan kosan saya yang terakhir persis berada di depan musala, kurang lebih 5 meter saja. Jadi bisa dibayangkan betapa kagetnya saya ketika tidak lagi mendengar suara azan.
Kondisi ini membuat saya mengakui betapa pentingnya aplikasi pengingat waktu salat. Dulu saya merasa buat apa sih, aplikasi pengingat waktu salat, kan di mana-mana terdengar suara azan? Setelah ngekos di sini, saya akhirnya menarik kalimat saya sendiri.
Menjadi anak kos di lingkungan beda agama memang cukup membuat saya mengalami culture shock, tidak hanya yang negatif, ada juga yang positif. Salah satunya adalah tentang rasa menghargai antar agama.
Pernah suatu saat ketika saya antre mandi untuk salat jumat, teman saya yang nonmuslim tanpa pikir panjang mempersilakan saya untuk mandi duluan agar saya tidak telat untuk jumatan. “Duluan saja, Mas, nanti jumatannya malah telat.”
ADVERTISEMENT
Ketika momen Idul Fitri, saya pun diberi ucapan secara langsung. “Baru balik, Mas? Selamat Idul Fitri ya, mohon maaf lahir dan batin”.
Jedddar! Saya agak terharu, bahkan tidak semua teman muslim saya mengucapkan selamat Idul Fitri. Ini adalah ucapan Idul Fitri pertama yang saya terima dari nonmuslim. Yah, saya selama ini memang hidup di antara satu golongan saja, sehingga cukup kaget ketika hidup berdampingan secara langsung dengan golongan yang berbeda.
Setelah mendapat perlakuan yang damai dari orang-orang yang berbeda agama, semua rasa pesimis saya terhadap persatuan pun rontok, dan berubah menjadi optimis. Saya cukup beruntung bisa mendapat kesempatan hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama, dan pengalaman tersebut amatlah berharga, setidaknya bagi saya.
ADVERTISEMENT