Menyambut Muharam: Mengulas Sejarah dan Tradisi di Indonesia

A Sayyidul Afkar
Mahasiswa Prodi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
13 Juli 2023 18:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Sayyidul Afkar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi) Menyambut Muharam dengan Mengulas Sejarah dan Tradisi di Indonesia Sebagai Awal Bulan dalam Kalender Hijriah
zoom-in-whitePerbesar
(Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi) Menyambut Muharam dengan Mengulas Sejarah dan Tradisi di Indonesia Sebagai Awal Bulan dalam Kalender Hijriah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sistem penanggalan Islam atau kalender hijriah merupakan sebuah acuan bagi umat Islam untuk mengenang peristiwa sejarah, seperti penentuan awal bulan dalam tahun hijriah maupun untuk menjalankan ibadah-ibadah tertentu, seperti puasa asyura sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Swt. dengan penuh ketaatan dan ketundukan dalam memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
ADVERTISEMENT
Dahulunya, sistem penanggalan umat manusia menggunakan peristiwa-peristiwa lokal sebagai acuan untuk menentukan waktu terjadinya proses sejarah. Namun, sistem penanggalan ini bersifat regional yang artinya tidak bisa digunakan sebagai keseragaman sistem penanggalan Islam yang menyeluruh. Dalam catatan sejarah, acuan pertama yang digunakan umat manusia untuk menentukan waktu adalah turunnya Nabi Adam as. dari surga ke dunia. Kemudian, secara periodik mengacu pada saat Nabi Nuh as. diutus oleh Allah Swt., peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim as., diutusnya Nabi Yusuf as., diutusnya Nabi Sulaiman as., hingga diutusnya Nabi Muhammad saw.
Dalam wilayah Jazirah Arab pra Islam pun banyak terjadi peristiwa-persitiwa besar, seperti penyerangan ka’bah oleh tentara gajah yang dipimpin Raja Abrahah sehingga dinamakan tahun gajah, pembangunan ka’bah, peristiwa perang fijar, dan lain sebagainya. Tentunya, di wilayah lain pun terdapat peristiwa-peristiwa besar sehingga sistem penanggalan Islam harus bersifat universal.
ADVERTISEMENT
Proses penetapan tahun hijriah sangatlah diperlukan, karena pada saat khalifah Umar bin Khattab terdapat perselisihan di dalam pemerintahan terutama urusan administratif. Dikisahkan, suatu waktu Abu Musa al-Asy’ari menyerahkan surat kepada khalifah Umar bin Khattab bahwa ada surat yang diterimanya dari sang khalifah tidak memiliki titimangsa sehingga cukup membingungkan. Berangkat dari permasalahan inilah, khalifah Umar bin Khattab merumuskan sistem penanggalan Islam yang sekarang dikenal sebagai kalender hijriah. Sebab, apabila hal ini dibiarkan akan memunculkan permasalahan-permasalahan yang serupa di kemudian hari.
Singkatnya, khalifah Umar bin Khattab mengambil Langkah dalam menyikapi permasalah administratif dengan membuat sistem penanggalan yang jelas. “Buatlah penanggalan yang sekiranya semua orang bisa mengetahuinya,” titah khalifah Umar bin Khattab (Abror, 2022). Setelah berunding sekian lamanya bersama sejumlah tokoh cendekiawan muslim, akhirnya khalifah Umar bin Khattab menyepakati bahwa sistem penanggalan Islam mengacu pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. yang terjadi pada bulan Rabiulawal 662 M.
ADVERTISEMENT
Kendati sistem penanggalan Islam dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw., akan tetapi bulan pertama dalam kalender hijriah merupakan bulan Muharam bukanlah bulan Rabiulawal. Hal ini, didasari bahwa bulan Muharam merupakan bulan setelah umat Islam menunaikan ibadah haji. Terpilihnya bulan Muharam sebagai awal bulan dalam kalender hijriah adalah karena sebagai motivasi teologis. Sebab, orang yang sepulang menunaikan ibadah haji terbebas dari dosa. Dengan hal ini, menjadi keberkahan tersendiri bagi umat Islam untuk mengawali tahun baru hijriah,
Bulan Muharam merupakan salah satu bulan yang diistimewakan oleh Allah Swt. Keistimewaan bulan ini, terlihat dalam peringatan asyura yang jatuh pada tanggal 10 muharam. Hari asyura merupakan hari bersejarah di mana cucu Nabi Muhammad saw yang bernama Husein terbunuh dalam peristiwa karbala, terbunuhnya Hasan yang diracuni, dan selamatnya Nabi Musa dari kejaran kaum Fir’aun. Dalam hal ini, Bulan Muharram dinamakan juga bulan kesedihan sehingga umat Islam disunahkan berpuasa asyura untuk mengenang dan mengambil makna mendalam atas peristiwa yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Beragam tradisi di Indonesia untuk memperingati Bulan Muharam, seperti tradisi tabot di Bengkulu, tradisi satu suro di Tanah Jawa, dan tidak melangsungkan pernikahan selama Bulan Muharam.
Ilustrasi tradisi tabot di Bengkulu. Dok: Instragram @puspita_nagari_
Pertama, tradisi tabot di Bengkulu merupakan acara mengenang gugurnya Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib ketika ditawan oleh tentara Yazid bin Muawiyah di Padang Karbala. Tabot berasal dari kata Arab yaitu tabut yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti. Tabot dikenal sebagai peti yang berisikan Kitab Taurat Bani Israil dengan dipercayai sebagai bentuk kebaikan apabila muncul dan malapetaka apabila hilang. Namun, saat ini tabot berupa suatu bangunan bertingkat, seperti menara masjid dengan ukuran yang beragam dan berhiaskan lapisan kertas warna warni (Rochmiatun, 2014).
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, tradisi tabot mengalami pemudaran akibat terkontaminasi dan terganggu oleh desakan otonomi daerah, pariwisata, dan otoriter pemerintahan. Hal tersebut, menjadikan upacara tradisi tabot yang awalnya untuk mengenang gugurnya cucu Nabi Muhammad saw yakni Husain pada pertempuran karbala berubah menjadi sebuah kewajiban masyarakat Bengkulu untuk sekadar melestarikan tradisi leluhur mereka.
Kedua, tradisi satu sura di Tanah Jawa menganggap bahwa Bulan Sura merupakan bulan yang tepat untuk melakukan introspeksi diri selama setahun perjalanan di dunia. Dalam hal ini, terdapat amalan-amalan yang biasa dilakukan umat Islam pada umumnya yang dapat dilaksanakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti puasa tasua dan puasa asyura.
Puasa tasua merupakan puasa sunah yang dilaksanakan pada tanggal 9 muharam yang bertujuan untuk membedakan antar umat Islam dan orang Yahudi, karena orang Yahudi pada tanggal 10 melaksanakan puasa. Sedangkan, puasa asyura merupakan puasa yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw yang dilaksanakan pada tanggal 10 muharam. Keistimewaan puasa asyura yaitu diampuninya dosa satu tahun yang lalu.
Ilustrasi kirab muharam di Keraton Surakarta. Dok: Instragram @jpnncom
Selain amalan-amalan yang dianjurkan, terdapat tradisi unik di Indonesia pada satu sura ini, seperti kirab muharam di Keraton Surakarta dengan menghadirkan kerbau putih atau bule milik Kiai Slamet, ngadulang di Sukabumi dengan melakukan perlombaan menabuh bedug, pawai obor di Banten dengan mengelilingi daerah memegang obor, dan bubur asyura dengan membuat bubur merah dan bubur putih di Tasikmalaya (Aryanti & Zafi, 2020).
ADVERTISEMENT
Ketiga, tidak melangsungkan pernikahan pada Bulan Muharam merupakan tradisi yang melekat pada penduduk Tanah Jawa karena masih meyakini adanya mitos yang turun temurun. Masyarakat meyakini bahwa melangsungkan pernikahan pada Bulan Muharam akan menyebabkan celaka dan musibah, seperti terlilit utang, sakit keras, kecelakaan, hingga meninggal dunia (Nuha et al., 2019). Namun, pada hakikatnya menikah pada Bulan Muharram diperbolehkan karena tidak ada larangan dalam Islam.
Pengaruh animisme dan dinamisme merupakan salah satu penyebab masyarakat ketakutan akan menikah di Bulan Muharam. Hal ini, menyebabkan munculnya tradisi dan keyakinan untuk tidak melangsungkan pernikahan di Bulan Muharam.
Dalam kesimpulannya, menyambut Muharam adalah momen terpenting bagi umat muslim untuk mengulas sejarah melalui tradisi-tradisinya yang beragam di Indonesia sehingga dapat menjadikan bahan introspeksi diri agar lebih baik kedepannya. Maka dari itu, dalam menyambut muharam marilah kita berkomitmen untuk terus meningkatkan ketakwaan dan terus menjaga tradisi-tradisi leluhur kita. Semoga Bulan Muharam membawa keberkahan dalam mengawali dan menjalani tahun yang baru.
ADVERTISEMENT
Referensi
Abror, M. (2022). Sejarah Penetapan Tahun Hijriah dan Muharram Sebagai Bulan Awalnya. Nuonline. https://nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-penetapan-tahun-hijriah-dan-muharram-sebagai-bulan-awalnya-ARhHD
Aryanti, R., & Zafi, A. A. (2020). Tradisi Satu Suro Di Tanah Jawa Dalam Perspektif Hukum Islam. AL IMAN: Jurnal Keislaman Dan Kemasyarakatan, 4(2), 342–361. http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/aliman/article/view/3861
Nuha, Y. M., Subarkah, S., & Hartanto, D. A. (2019). Persepsi Masyarakat Terhadap Perkawinan pada Bulan Muharram dalam Adat Jawa (Studi Kasus di Desa Medini Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus). Jurnal Suara Keadilan, 20(2), 173–187. https://jurnal.umk.ac.id/index.php/SK/article/view/5578
Rochmiatun, E. (2014). Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma Dekonstruksi. Tamaddun: Jurnal Kebudayaan Dan Sastra Islam, 14(2), 47–55. http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/tamaddun/article/view/131