BIN dan Upaya Sekuritisasi Isu Radikalisme yang Keliru

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
Konten dari Pengguna
22 November 2018 23:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Badan Intelijen Negara (Foto: ANTARAFOTO)
zoom-in-whitePerbesar
Badan Intelijen Negara (Foto: ANTARAFOTO)
ADVERTISEMENT
Apa sebenarnya tujuan Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkap data 41 masjid pemerintahan dan 7 kampus yang terpapar radikalisme? Jika hanya untuk peringatan dini, rasanya rakyat tak perlu dibuat was-was karenanya. Lebih baik data itu disimpan rapat-rapat untuk kalangan BIN dan pengambil kebijakan terkait saja.
ADVERTISEMENT
Berbeda halnya jika BIN ingin melibatkan masyarakat dalam penanganan radikalisme ini. Jika demikian, maka dapat dipahami apabila BIN buka-bukaan soal data tersebut. Namun sebelum itu dilakukan, publik sekalian juga harus diberi tahu, seperti apa ‘radikalisme’ ala BIN yang mesti ikut ditangani masyarakat?
Permasalahan pertama yang muncul adalah soal pemahaman istilah radikalisme ini cenderung simplistis. Selama ini publik dibawa ke alam pikir narasi radikalisme yang digaungkan pendek-pendek lewat media sehingga terkonstruk makna sempit bernada mengerikan. Yang paling mudah tentunya mengasosiasikan istilah tersebut pada kata ‘terorisme’.
Anda sekalian yang mendengar salah satu dari istilah ‘radikalisme’ atau ‘terorisme’ disebut pasti akan berpikir keduanya berkaitan atau bahkan sama. Padahal kedua istilah tersebut punya makna yang multitafsir. Untuk terorisme mungkin lebih ajeg karena ada indikator yang lumayan jelas dan dapat dibuktikan dengan tindakan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi untuk radikalisme, bagaimana kita mengindikasikan seseorang terpapar paham radikal? Apa indikator dan ciri-cirinya? Istilah radikal sendiri bermasalah ketika dibawa di dunia yang berbeda. KBBI memberi pemaknaan istilah tersebut secara lebih netral. Mengapa tiba-tiba di hadapan BIN istilah tersebut jadi terkesan negatif, mengerikan, dan mengancam?
Permasalahan lebih lanjut yang perlu jadi hirauan yaitu bagaimana BIN melempar wacana radikalisme ke masyarakat terkesan serampangan. Kalau hanya sekadar untuk peringatan dini pada publik, rasanya tak perlu. Soalnya BIN sendiri punya tupoksi (tugas pokok dan fungsi) hanya melayani klien tunggal, yaitu presiden. Kalau mau mengungkap, harusnya lapor saja pada presiden.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi mungkin apa yang dilakukan BIN ini, dalam tinjauan studi keamanan, masuk dalam ranah sekuritisasi. Istilah yang pertama kali diungkapkan oleh Ole Waever dalam Security: A Framework for Analysis (Buzan dkk, 1998) itu merupakan upaya melabeli sesuatu agar jadi isu keamanan yang harus dihirau bersama. Di dalam sekuritisasi, siapa saja boleh berbicara mengenai apa yang aman-aman saja dan apa yang mengancam.
Dengan menyatakan bahwa masyarakat (objek referen) terancam eksistensinya karena radikalisme, BIN sebagai aktor pelaku sekuritisasi secara teoretis sedang mengeklaim hak untuk melakukan langkah luar biasa untuk memastikan situasi keamanan. Hal ini membuat kondisi politik normal berubah menjadi keadaan darurat di mana hukum-hukum tertentu pengatur tata laku masyarakat bahkan boleh diabaikan karena situasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Ada tiga langkah bagaimana sekuritisasi ini bisa berhasil. Pertama, semua pihak harus mampu mengidentifikasi ancaman terhadap eksistensinya. Kedua, bagaimana langkah penanganan yang bisa diambil. Ketiga, berefek terhadap hubungan antaraktor dengan mengabaikan hukum-hukum tertentu yang berlaku di situasi normal (Buzan dkk, 1998).
Dari cara BIN melakukan langkah pertama sekuritisasi saja sudah problematik. Bagaimana mungkin semua pihak bisa mengidentifikasi ancaman kalau ancaman yang dilempar ke publik sifatnya tidak jelas dan rahasia? Percuma mengatakan ke publik tentang data-data yang sifatnya bikin was-was, tapi publik sendiri tidak bisa menelaah dan menilai data tersebut secara terbuka.
ADVERTISEMENT
Betul seyogianya publik jadi lebih waspada terhadap adanya paparan radikalisme yang mungkin berpotensi mengancam eksistensi masyarakat. Namun karena indikator ancaman radikalisme yang dimaksud tidak dijelaskan, publik jadi bingung dan curiga. Ini yang jadi ancaman sebenarnya apa atau siapa?
Ketika langkah pertama sekuritisasi BIN terhadap isu radikalisme ini tidak dapat dipahami publik maka langkah penanganan ancaman pun tidak bisa dilakukan secara utuh melibatkan masyarakat. Padahal, dalam sekuritisasi perlu keterbukaan pandangan atas apa yang dimaksud ancaman dan bukan ancaman.
Dengan membuka informasi data ancaman radikalisme secara parsial kepada publik, publik sebagai audiens jadi tidak bisa menilai apakah itu sebenarnya merupakan ancaman atau bukan. Dalam hal ini, mungkin BIN telah melakukan langkah sekuritisasi yang keliru.
ADVERTISEMENT